HARUN
YAHYA
Februari
2003
Terbitan
pertama Februari 2003
Alih
bahasa: Aryani
Penyuntingan:
Intan Taufik
ISBN xxx
xxx xxxx
IDARA
ISHAAT-E-DINIYAT (P) LTD.
168/2 Jha House, Hazrat Nizamuddin
New Delhi – 110 013 India
Tel: 6926832, 6926833
Fax: +91 11 6322787
E-mail:sales@idara.com
Semua terjemahan Al Quran dikutip dari Al Qur’an dan Terjemahannya,
Departemen Republik Indonesia,
cetakan Mujamma’ Al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf Asy Syarif, Saudi Arabia,
tahun 1415 H.
DAFTAR ISI
1.
MENGAPA TEORI EVOLUSI TIDAK ABSAH SECARA ILMIAH?
2.
BAGAIMANA KERUNTUHAN TEORI
EVOLUSI MEMBUKTIKAN KEBENARAN PENCIPTAAN?
3.
BERAPAKAH USIA UMAT MANUSIA DI
BUMI INI? MENGAPA INI BUKAN FAKTOR PENDUKUNG TEORI EVOLUSI?
4.
MENGAPA TEORI
EVOLUSI BUKANLAH “DASAR ILMU BIOLOGI”?
5.
MENGAPA ADANYA BERAGAM RAS BUKAN
BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
6.
MENGAPA PERNYATAAN “GENOM MANUSIA
99% SAMA DENGAN GENOM KERA” TIDAK BENAR, DAN HAL INI MEMBUKTIKAN BAHWA EVOLUSI
TIDAKLAH BENAR?
7.
MENGAPA
PERNYATAAN BAHWA DINOSAURUS BEREVOLUSI MENJADI BURUNG ADALAH MITOS TIDAK
ILMIAH?
8.
PEMALSUAN ILMIAH
APAKAH YANG MENJADI DASAR BAGI MITOS “EMBRIO MANUSIA MEMILIKI INSANG”?
9.
MENGAPA ANGGAPAN
“KLONING MEMBUKTIKAN KEBENARAN EVOLUSI” ADALAH SUATU TIPUAN?
10.
MUNGKINKAH
KEHIDUPAN BERASAL DARI LUAR ANGKASA?
11.
MENGAPA TEORI
EVOLUSI TIDAK DIDUKUNG OLEH FAKTA USIA BUMI YANG SUDAH EMPAT MILIAR TAHUN?
12.
MENGAPA GIGI
GERAHAM BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
13.
BAGAIMANAKAH TEORI EVOLUSI
DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING PURBA?
14.
MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI
DISAMAKAN DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?
15.
MENGAPA ANGGAPAN BAHWA TUHAN
MENCIPTAKAN MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?
16.
MENGAPA ANGGAPAN BAHWA DI MASA
DEPAN KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKTI ADALAH SALAH?
17.
MENGAPA PERISTIWA METAMORFOSIS
BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?
18
MENGAPA DNA TIDAK
MUNGKIN DIJELASKAN SEBAGAI SEBUAH “KEBETULAN”?
19
MENGAPA KEKEBALAN
BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIKA BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?
20
HUBUNGAN APAKAH
YANG TERDAPAT ANTARA PENCIPTAAN DAN ILMU PENGETAHUAN?
KEPADA
PEMBACA
Dalam semua buku
karya penulis, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keimanan dijelaskan
berdasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an, dan masyarakat diajak untuk mempelajari
dan menjalani hidup berdasarkan firman Allah. Semua pokok bahasan yang menyangkut ayat-ayat Allah
dipaparkan sedemikian rupa sehingga tak menyisakan lagi keraguan ataupun tanda
tanya dalam benak pembaca. Gaya
yang tulus, sederhana dan fasih ini menjamin pembaca dari segala umur dan kelompok
masyarakat untuk dapat memahami buku-buku ini dengan mudah. Gaya bertuturnya yang mudah dicerna dan
jernih menyebabkan buku-buku ini dapat dipahami dalam sekali baca. Bahkan
mereka yang sangat menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah agama
sekali pun akan terpengaruh oleh kenyataan-kenyataan yang dipaparkan dalam
buku-buku ini, serta tak sanggup menyangkal kebenaran isinya.
Buku ini, beserta semua karya Harun
Yahya lainnya, dapat dibaca secara perorangan maupun dibahas dalam kelompok. Para pembaca yang berminat menarik manfaat dari buku
tersebut sebaiknya membahas buku dalam kelompok. Dengan demikian,
mereka akan dapat saling bertukar pikiran, renungan, dan pengalaman mereka
masing-masing.
Selain itu,
membantu penyajian dan peredaran buku-buku ini, yang ditulis demi ridha Allah
semata, adalah amal ibadah yang tinggi nilainya bagi agama. Semua buku karya
penulis ini sangat meyakinkan. Karena itu, bagi mereka yang ingin menyampaikan pesan
agama kepada orang lain, salah satu cara yang paling mengena adalah dengan
menganjurkan orang lain agar membaca buku-buku ini.
Pembaca
diharapkan sudi meluangkan waktu sejenak untuk membaca ulasan singkat buku-buku
lain di halaman akhir buku ini, serta mengetahui kekayaan sumber bahan yang
mengulas tentang berbagai permasalahan keimanan, yang sangat bermanfaat,
sekaligus enak dibaca.
Tidak seperti
dalam sejumlah buku tertentu, dalam buku-buku karya penulis ini tidak terdapat
pandangan pribadi penulis, penjelasan berdasarkan sumber yang meragukan, maupun
gaya penyampaian yang mengabaikan perihal penghormatan dan penghargaan terhadap
kesucian. Di dalamnya tidak juga terdapat penjelasan yang bersifat melemahkan
semangat, memunculkan keraguan, ataupun memupuskan harapan, yang kesemua ini
dapat memunculkan penyimpangan di hati para pembacanya.
TENTANG PENULİS
Penulis, yang
memakai nama pena Harun Yahya, lahir di Ankara pada tahun 1956. Usai menamatkan
sekolah dasar dan menengahnya di Ankara, beliau kemudian melanjutkan pendidikan
di bidang seni di Universitas Mimar Sinan di Istanbul, serta ilmu filsafat di
Universitas Istanbul. Sejak tahun 1980-an, penulis telah menerbitkan banyak
buku tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan politik, agama dan ilmu
pengetahuan. Harun Yahya terkenal sebagai penulis yang telah menghasilkan
karya-karya sangat penting, yang mengungkapkan kepalsuan para evolusionis,
ketidakabsahan pernyataan mereka, serta menyingkapkan hubungan gelap antara
Darwinisme dengan berbagai ideologi berdarah, seperti fasisme dan komunisme.
Nama pena beliau
terdiri atas nama “Harun” dan “Yahya”, untuk mengenang kedua nabi mulia yang
berjuang mengatasi redupnya cahaya keimanan. Stempel Nabi Muhammad yang
terdapat pada sampul buku-buku Harun Yahya, menjadi lambang dan memiliki kaitan
dengan isi buku. Ini melambangkan Al Qur’an (kitab suci terakhir) dan Nabi
Muhammad, penutup para nabi. Dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, penulis
berniat membuktikan kesalahan ajaran-ajaran dasar dari ideologi tak ber-Tuhan,
dan untuk menyampaikan “risalah penutup”, dalam rangka membungkam sama sekali
berbagai tentangan terhadap agama. Stempel Nabi terakhir, yang dikaruniai
hikmah yang agung dan akhlak sempurna, digunakan sebagai tanda niatan penulis
dalam menyampaikan risalah penutup ini.
Semua karya
penulis terpusat pada satu tujuan: menyampaikan pesan Al Qur’an kepada
masyarakat, mendorong mereka agar memikirkan masalah-masalah mendasar yang
berhubungan dengan keimanan mereka (seperti keberadaan Tuhan, keesaan-Nya,
serta kehidupan sesudah mati), dan untuk mengungkap landasan berpijak yang
lemah serta ideologi-ideologi sesat dari berbagai sistem anti-Tuhan.
Harun Yahya
mendapatkan sambutan luas dari para pembacanya di banyak negara, dari India
sampai Amerika, Inggris sampai Indonesia, Polandia sampai Bosnia, serta Spanyol
sampai Brasil. Buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, Urdu, Arab, Albania, Rusia,
Serbo-Kroasia (Bosnia), Polandia, Malaya, Uygur, Turki, serta bahasa Indonesia.
Buku-bukunya dibaca dan dinikmati di seluruh dunia.
Karya-karya Harun
Yahya yang telah dinikmai dan dihargai di seluruh dunia, telah berperan penting
bagi banyak orang dalam menghidupkan kembali keimanan mereka, dan juga bagi
sebagian orang untuk memperoleh petunjuk baru dalam keimanan mereka kepada
Tuhan. Hikmah, dan ketulusan serta gaya penyampaian yang mudah dipahami
menjadikan buku-buku ini memiliki keistimewaan yang berpengaruh langsung pada
orang yang membaca atau mengkaji isinya. Karya-karya tersebut, yang tidak bisa
disanggah, memiliki sifat yang cepat mengena, menunjukkan hasil yang jelas,
serta merupakan kebenaran yang mustahil dipungkiri. Sulit bagi mereka yang
telah membaca dan merenungkan isi buku ini secara sungguh-sungguh untuk mampu
secara tulus mendukung filsafat materialistis, ateisme, maupun filsafat dan
ideologi menyimpang lainnya. Kalaupun mereka masih mendukung, hal itu sekadar
sikap kukuh yang tidak berdalih, karena buku-buku ini membongkar ideologi sesat
mulai dari akarnya. Berkat buku-buku Harun Yahya, semua gerakan yang
mengingkari Tuhan di masa kini telah dikalahkan secara ideologis.
Tidak ragu lagi,
sifat-sifat yang telah disebutkan tadi berasal dari hikmah dan kejernihan isi
Al Qur’an. Dengan rendah hati, penulis bermaksud membuka jalan bagi upaya
manusia dalam mencari jalan Tuhan yang lurus. Keuntungan materi bukanlah tujuan
diterbitkannya buku-buku ini.
Dengan demikian,
mereka yang menganjurkan masyarakat agar membaca buku-buku ini, yang membuka
mata hati dan menuntun masyarakat agar lebih berbakti sebagai hamba Allah,
telah memberikan sumbangsih yang tak ternilai.
Sementara,
sebagaimana telah terbukti oleh pengalaman yang sudah-sudah, adalah sia-sia
bila kita menyebarluaskan buku-buku lain yang membingungkan pikiran,
menyesatkan manusia ke dalam kekacauan ideologis, serta tak jelas manfaatnya
dalam mengenyahkan keraguan dalam hati. Sangatlah jelas bahwa pengaruh sekuat
itu mustahil terdapat pada buku-buku yang bertujuan menonjolkan bakat sastra
sang penulis, dan bukan bertujuan mulia menyelamatkan iman manusia. Mereka yang
meragukan ini dapat langsung menyaksikan bahwa tujuan tunggal buku-buku Harun
Yahya adalah menyelamatkan redupnya keimanan, serta menebarkan benih
nilai-nilai ajaran Al Qur’an. Keberhasilan dan akibat dari upaya ini terwujud
dalam keyakinan para pembaca.
Satu hal yang
harus diingat: Penyeab utama dari masih berlangsungnya berbagai kekejaman,
pertikaian, dan penderitaan umat manusia pada umumnya adalah merajalelanya sikap
tidak beriman kepada Tuhan, yang menjangkit secara ideologis. Cara menghadapi
semua ini adalah mengalahkan sikap tersebut secara ideologis, serta
menyampaikan berbagai sisi menakjubkan tentang ciptaan Allah, dan akhlak Al
Qur’an untuk sungguh-sungguh dijadikan pegangan hidup manusia. Jika kita lihat
keadaan dunia kini, yang menjerumuskan manusia semakin cepat ke dalam lingkaran
kekerasan, kerusakan akhlak dan pertikaian, tampak jelaslah bahwa upaya ini
harus dilaksanakan dengan cepat dan berhasil guna – sebelum terlambat.
Tak berlebihan
bila dikatakan bahwa seri buku Harun Yahya telah memegang peran penting dalam
upaya ini. Dengan izin Allah, buku-buku ini akan menjadi jalan bagi manusia
abad ke-21 untuk meraih kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan seperti yang
dijanjikan dalam Al Qur’an.
Hasil karya Harun Yahya antara lain: The New Masonic Order, Judaism
and Freemasonry, Global Freemasonry, Kabbalah and Freemasonry, Knight Templars,
Philosophy of Zionism, Kabbalah and Zionism, Islam Denounces Terrorism,
Terrorism:The Ritual of the Devil, The Disasters Darwinism Brought to Humanity,
Communism in Ambush, Fascism:The Bloody Ideology of Darwinism, The 'Secret
Hand' in Bosnia, Behind the Scenes of The Holocaust, Behind the Scenes of
Terrorism, Israel's Kurdish Card, The Oppression Policy of Communist China and
Eastern Turkestan,Palestine, Solution: The Values of the Qur'an, The Winter of
Islam and Its Expected Spring, Articles 1-2-3, A Weapon of Satan:Romanticism,
The Light of the Qur' an Destroyed Satanism, Signs from the Chapter of the Cave
to the Last Times, Signs of the Last Day, The Last Times and The Beast of the
Earth, Truths 1-2, The Western World Turns to God, The Evolution Deceit,
Precise Answers to Evolutionists, The Blunders of Evolutionists, Confessions of
Evolutionists, The Misconception of the Evolution of the Species, The Qur'an
Denies Darwinism, Perished Nations, For Men of Understanding, The Prophet Musa,
The Prophet Yusuf, The Prophet Muhammad (saas), The Prophet Sulayman, The
Golden Age, Allah's Artistry in Colour, Glory is Everywhere, The Importance of
the Evidences of Creation, The Truth of the Life of This World, The Nightmare
of Disbelief, Knowing the Truth, Eternity Has Already Begun, Timelessness and
the Reality of Fate, Matter:Another Name for Illusion, The Little Man in the
Tower, Islam and the Philosophy of Karma, The Dark Magic of Darwinism, The
Religion of Darwinism, The Collapse of the Theory of Evolution in 20 Questions,
Engineering in Nature, Technology Mimics Nature, The Impasse of Evolution I
(Encyclopedic), The Impasse of Evolution II(Encyclopedic), Allah is Known
Through Reason, The Qur'an Leads the Way to Science, The Real Origin of Life,
Consciousness in the Cell, Technology Imitates Nature, A String of Miracles,
The Creation of the Universe, Miracles of the Qur'an, The Design in Nature,
Self-Sacrifice and Intelligent Behaviour Models in Animals, The End of
Darwinism, Deep Thinking, Never Plead Ignorance, The Green Miracle:
Photosynthesis, The Miracle in the Cell, The Miracle in the Eye, The Miracle in
the Spider, The Miracle in the Gnat, The Miracle in the Ant, The Miracle of the
Immune System, The Miracle of Creation in Plants, The Miracle in the Atom, The
Miracle in the Honeybee, The Miracle of Seed, The Miracle of Hormone, The
Miracle of the Termite, The Miracle of the Human Body, The Miracle of Man's
Creation, The Miracle of Protein, The Miracle of Smell and Taste, The Miracle
of Microworld, The Secrets of DNA.
Buku anak-anak karya Harun Yahya
adalah: Wonders
of Allah's Creation, The World of Animals, The Glory in the Heavens, Wonderful
Creatures, Let's Learn Our Islam, The Miracles in Our Bodies, The World of Our
Little Friends:The Ants, Honeybees That Build Perfect Combs, Skillful Dam
Builders:Beavers.
Karya lain mengenai pokok bahasan Al
Qur’an: The
Basic Concepts in the Qur'an, The Moral Values of the Qur'an, Quick Grasp of
Faith 1-2-3, Ever Thought About the Truth?, Crude Understanding of Disbelief,
Devoted to Allah, Abandoning the Society of Ignorance, The Real Home of
Believers: Paradise, Knowledge of the Qur'an, Qur'an Index, Emigrating for the
Cause of Allah, The Character of the Hypocrite in the Qur'an, The Secrets of
the Hypocrite, The Names of Allah, Communicating the Message and Disputing in
the Qur'an, Answers from the Qur'an, Death Resurrection Hell, The Struggle of
the Messengers, The Avowed Enemy of Man: Satan, The Greatest Slander: Idolatry,
The Religion of the Ignorant, The Arrogance of Satan, Prayer in the Qur'an, The
Theory of Evolution, The Importance of Conscience in the Qur'an, The Day of
Resurrection, Never Forget, Disregarded Judgements of the Qur'an, Human
Characters in the Society of Ignorance, The Importance of Patience in the
Qur'an, General Information from the Qur'an, The Mature Faith, Before You
Regret, Our Messengers Say, The Mercy of Believers, The Fear of Allah, Jesus WillReturn,
Beauties Presented by the Qur'an for Life, A Bouquet of the Beauties of Allah
1-2-3-4, The Iniquity Called "Mockery," The Mystery of the Test, The
True Wisdom According to the Qur'an, The Struggle Against the Religion of
Irreligion, The School of Yusuf, The Alliance of the Good, Slanders Spread
Against Muslims Throughout History, The Importance of Following the Good Word,
Why Do You Deceive Yourself?, Islam: The Religion of Ease, Zeal and Enthusiasm
Described in the Qur'an, Seeing Good in All, How do the Unwise Interpret the
Qur'an?, Some Secrets of the Qur'an, The Courage of Believers, Being Hopeful in
the Qur'an, Justice and Tolerance in the Qur'an, Basic Tenets of Islam, Those
Who do not Listen to the Qur'an, Taking the Qur'an as a Guide, A Lurking
Threat:Heedlessness, Sincerity in the Qur'an, The Religion of Worshipping
People, The Methods of theLiar in the Qur' an, The Happiness of Believers
PENGANTAR
Teori evolusi
sudah berusia 150 tahun, dan juga telah berpengaruh besar pada pandangan hidup
yang dianut masyarakat. Teori ini menyatakan sebuah dusta, yaitu bahwa manusia muncul
ke dunia ini sebagai akibat faktor kebetulan, dan bahwa manusia adalah suatu
“spesies binatang”. Lebih jauh lagi, teori ini mengajarkan bahwa satu-satunya
hukum yang berlaku adalah usaha makhluk hidup, yang hanya mementingkan diri
sendiri, untuk bertahan hidup. Pengaruh gagasan ini tampak di abad kesembilan
belas dan kedua puluh: manusia semakin egois, akhlak masyarakat yang memburuk,
semakin merebaknya sikap mementingkan diri sendiri, sikap tidak
berperikemanusiaan, dan kekerasan, tumbuh berkembangnya ideologi berdarah dan
diktator seperti fasisme dan komunisme, krisis individual dan sosial karena
manusia semakin jauh dari akhlak agama.
Berbagai akibat
sosial yang disebabkan oleh teori evolusi telah dibahas dalam buku Harun Yahya
lainnya. (Lihat karya
Harun Yahya The Disasters Darwinism Brought to Humanity, Communism
Lies in Ambush, The Black Magic of Darwinism, serta The
Religion of Darwinism). Dalam buku-buku tersebut diungkapkan bahwa teori
ini, yang disebut-sebut sebagai “ilmiah”, sebenarnya sama sekali tidak memiliki
dasar ilmiah; bahwa teori tersebut hanyalah sebuah skenario yang terus
dipaksakan walaupun dihadapkan kepada semua fakta yang berbicara sebaliknya; dan
isi teori ini tak lain takhayul belaka.
Bagi mereka yang ingin memahami
seperti apa sesungguhnya teori evolusi dan “pandangan hidup” Darwinisme, yang
selama 150 tahun terakhir ini secara sistematis telah menyeret dunia ke jurang
kekerasan, kebiadaban, kekejaman, dan pertikaian, sangat dianjurkan untuk
membaca buku-buku tersebut.
Buku ini akan membahas ketidakabsahan
teori evolusi pada tingkat umum. Di sini dikupas pernyataan evolusionis tentang
beberapa hal, menggunakan beberapa pertanyaan yang sering diajukan orang, yang
belum sepenuhnya dipahami. Jawaban yang tertera dalam buku ini secara ilmiah
diperinci lebih jauh dalam buku lain karya penulis seperti The Evolution
Deceit, dan Darwinism Refuted.
1
MENGAPA TEORI EVOLUSI TIDAK ABSAH SECARA ILMIAH?
Teori evolusi
menyatakan bahwa makhluk hidup di muka bumi tercipta sebagai akibat dari
peristiwa kebetulan dan muncul dengan sendirinya dari kondisi alamiah. Teori
ini bukanlah hukum ilmiah maupun fakta yang sudah terbukti. Di balik topeng
ilmiahnya, teori ini adalah pandangan hidup materialis yang dijejalkan ke dalam
masyarakat oleh kaum Darwinis. Dasar-dasar teori ini – yang telah digugurkan
oleh bukti-bukti ilmiah di segala bidang – adalah cara-cara mempengaruhi dan
propaganda, yang terdiri atas tipuan, kepalsuan, kontradiksi, kecurangan, dan
ilusi permainan sulap.
Teori evolusi
diajukan sebagai hipotesa rekaan di tengah konteks pemahaman ilmiah abad kesembilan
belas yang masih terbelakang, yang hingga hari ini belum pernah didukung oleh
percobaan atau penemuan ilmiah apa pun. Sebaliknya, semua metode yang bertujuan
membuktikan keabsahan teori ini justru berakhir dengan pembuktian
ketidakabsahannya.
Namun, bahkan
sekarang, masih banyak orang beranggapan bahwa evolusi adalah fakta yang sudah
terbukti kebenarannya – layaknya gaya tarik bumi atau hukum benda terapung.
Sebab, seperti telah dinyatakan di muka, teori evolusi sesungguhnya sangatlah
berbeda dari yang diterima masyarakat selama ini. Oleh sebab itu, pada umumnya
orang tidak tahu betapa buruknya landasan berpijak teori ini; betapa teori ini
sudah digagalkan oleh bukti ilmiah pada setiap langkahnya; dan betapa para
evolusionis terus berupaya menghidupkan teori evolusi, walaupun teori ini sudah
“menghadapi ajalnya”. Para evolusionis hanya mengandalkan hipotesa yang tak
terbukti, pengamatan yang penuh prasangka dan tak sesuai kenyataan,
gambar-gambar khayal, cara-cara yang mampu mempengaruhi kejiwaan, dusta yang
tak terhitung jumlahnya, serta teknik-teknik sulap.
Kini, berbagai
cabang ilmu pengetahuan seperti paleontologi (cabang geologi yang mengkaji
kehidupan pra-sejarah melalui fosil – penerj.), genetika,
biokimia dan biologi molekuler telah membuktikan bahwa tak mungkin makhluk
hidup tercipta akibat kebetulan atau muncul dengan sendirinya dari kondisi alamiah.
Sel hidup, demikian dunia ilmiah sepakat, adalah struktur paling kompleks yang
pernah ditemukan manusia. Ilmu pengetahuan modern mengungkapkan bahwa satu sel
hidup saja memiliki struktur dan berbagai sistem rumit dan saling terkait, yang
jauh lebih kompleks daripada sebuah kota besar. Struktur kompleks seperti ini
hanya dapat berfungsi apabila masing-masing bagian penyusunnya muncul secara
bersamaan dan dalam keadaan sudah berfungsi sepenuhnya. Jika tidak,
struktur tersebut tidak akan berguna, dan semakin lama akan rusak dan musnah.
Tak mungkin semua bagian penyusun sel itu berkembang secara kebetulan dalam
jutaan tahun, seperti pernyataan teori evolusi. Oleh sebab itulah, rancangan
yang begitu kompleks dari sebuah sel saja, sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa
Tuhan-lah yang menciptakan makhluk hidup. (Keterangan lebih rinci dapat dibaca
dalam buku Harun Yahya, Miracle in the Cell).
Akan tetapi, para
pembela filsafat materialis tidak bersedia menerima fakta penciptaan karena
beragam alasan ideologis. Hal ini disebabkan kemunculan dan perkembangan masyarakat
yang hidup dengan berpedomankan akhlak mulia yang diajarkan agama yang sejati
kepada ummat manusia melalui perintah dan larangan Tuhan bukanlah menjadi
harapan kaum materialis ini. Masyarakat yang tumbuh tanpa nilai moral dan
spiritual lebih disukai kalangan ini, sebab mereka dapat memanipulasi masyarakat
yang demikian demi keuntungan duniawi mereka sendiri. Itulah sebabnya, kaum
materialis mencoba terus memaksakan teori evolusi – yang berisi dusta bahwa
manusia tidak diciptakan, tetapi muncul atas faktor kebetulan dan berevolusi
dari jenis binatang – serta, dengan segala cara, berupaya mempertahankan teori
evolusi agar tetap hidup. Kaum materialis meninggalkan akal sehat dan nalar,
serta mempertahankan omong-kosong ini di setiap kesempatan, walaupun bukti
ilmiah dengan jelas telah menghancurkan teori evolusi dan menegaskan fakta
penciptaan.
Sebenarnya telah
dibuktikan bahwa adalah mustahil apabila sel hidup yang pertama – atau bahkan
satu saja dari berjuta-juta molekul protein dalam sel itu – dapat muncul atas
faktor kebetulan. Ini bukan saja ditunjukkan melalui berbagai percobaan dan
pengamatan, melainkan juga melalui perhitungan probabilitas secara matematis.
Dengan kata lain, evolusi gugur di langkah pertama: yaitu dalam menjelaskan
kemunculan sel hidup yang pertama.
Sel, satuan
terkecil makhluk hidup, tidak mungkin muncul secara kebetulan dalam kondisi
primitif tanpa kendali di saat Bumi masih muda – seperti yang dipaksakan kaum
evolusionis kepada kita agar percaya. Jangankan dalam kondisi demikian, dalam
laboratorium tercanggih di abad ini sekali pun, hal itu mustahil terjadi.
Asam-asam amino, yaitu satuan pembentuk berbagai protein penyusun sel hidup,
tak mampu dengan sendirinya membentuk organel-organel di dalam sel seperti
mitokondria, ribosom, membran sel, ataupun retikulum endoplasma – apalagi
membentuk sebuah sel yang utuh. Oleh sebab itu, pernyataan bahwa sel pertama
terbentuk secara kebetulan melalui proses evolusi, hanyalah hasil rekaan yang
sepenuhnya didasarkan pada daya khayal.
Sel hidup, yang
sampai kini masih mengandung banyak rahasia, adalah satu di antara sekian
banyak kesulitan utama yang dihadapi teori evolusi.
Dilema mengkhawatirkan
lainnya (dari sudut pandang evolusionis) adalah molekul DNA yang terdapat di
dalam inti sel hidup, sebuah sistem kode yang terdiri dari 3,5 miliar satuan
berisi semua rincian makhluk hidup. DNA pertama kali ditemukan melalui
kristalografi sinar-X pada akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an, dan merupakan
sebuah molekul raksasa dengan rancangan yang luar biasa. Selama bertahun-tahun,
Francis Crick, pemenang hadiah Nobel, meyakini teori evolusi molekuler. Namun
pada akhirnya, ia sendiri pun harus mengakui bahwa molekul yang begitu rumit
tak mungkin muncul dengan sendirinya secara tiba-tiba karena kebetulan, sebagai
hasil dari sebuah proses evolusi:
Seseorang yang
jujur, dengan pemahaman keilmuan yang ada sekarang, saat ini hanya dapat
menyatakan bahwa asal mula kehidupan nampak bagaikan sebuah keajaiban.1
Evolusionis
berkebangsaan Turki, Profesor Ali Demirsoy, terpaksa memberikan pengakuan
sebagai berikut:
Sebenarnya,
kemungkinan terbentuknya sebuah protein dan asam nukleat (DNA-RNA) adalah di
luar batas perhitungan. Lebih jauh lagi, peluang munculnya suatu rantai protein
adalah sedemikian kecilnya sehingga bisa disebut astronomis (tidak mungkin). 2
Homer Jacobson,
Profesor Emeritus di bidang Ilmu Kimia, menyatakan pengakuan tentang
kemustahilan munculnya kehidupan akibat faktor kebetulan, sebagai berikut:
Petunjuk untuk
reproduksi rencana, untuk energi dan untuk pengambilan bagian-bagian dari
lingkungan sekitar, untuk urutan pertumbuhan, dan untuk mekanisme efektor yang
menerjemahkan instruksi menjadi pertumbuhan – semua itu harus ada secara
serentak pada saat tersebut [saat awal munculnya kehidupan]. Kemungkinan
kombinasi semua peristiwa itu secara kebetulan tampaknya sungguh luar biasa
kecil … 3
Catatan fosil pun
menyajikan fakta lain, yang menjadi kekalahan telak bagi teori evolusi. Dari
seluruh fosil yang telah ditemukan selama ini, tidak ada satu pun bentuk antara
(bentuk peralihan) yang ditemukan, yang seharusnya ada jika makhluk hidup
berevolusi tahap demi tahap dari spesies yang sederhana menjadi spesies yang
lebih kompleks, seperti yang dinyatakan oleh teori evolusi. Jika makhluk
seperti itu ada, seharusnya jumlahnya banyak sekali, berjuta-juta, bahkan
bermiliar-miliar. Lebih dari itu, sisa dan kerangka makhluk semacam itu haruslah
ada dalam catatan fosil. Kalau bentuk-bentuk antara ini benar-benar ada, jumlahnya
akan melebihi jumlah spesies binatang yang kita kenal di masa kini. Seluruh
dunia akan penuh dengan fosil makhluk tersebut. Para evolusionis mencari
bentuk-bentuk antara ini di semua penelitian fosil yang menggebu-gebu, yang
telah dilangsungkan sejak abad kesembilan belas. Akan tetapi, sama sekali tidak
ditemukan jejak-jejak makhluk perantara ini, meskipun pencarian telah dilakukan
dengan penuh semangat selama 150 tahun.
Singkat kata,
catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba dan dalam
wujud sempurna, bukan melalui sebuah proses dari bentuk primitif menuju tahap
yang lebih maju, seperti yang dinyatakan teori evolusi.
Kaum evolusionis
telah berusaha keras untuk membuktikan kebenaran teori mereka. Namun nyatanya,
dengan tangannya sendiri, mereka justru telah membuktikan bahwa proses evolusi
adalah mustahil. Kesimpulannya, ilmu pengetahuan modern mengungkapkan fakta
yang tak mungkin disangkal berikut ini: Kemunculan makhluk hidup bukanlah
akibat faktor kebetulan yang buta, melainkan hasil ciptaan Tuhan.
2
BAGAIMANA KERUNTUHAN TEORI
EVOLUSI MEMBUKTIKAN KEBENARAN PENCIPTAAN?
Apabila kita
bertanya bagaimana makhluk hidup muncul di muka Bumi, maka terdapat dua jawaban
yang berbeda:
Pertama, makhluk
hidup muncul melalui proses evolusi. Menurut pernyataan teori evolusi,
kehidupan dimulai dengan sel yang pertama. Sel pertama ini muncul karena faktor
kebetulan, atau karena faktor “pembentukan mandiri”, yang secara hipotetis
disebut-sebut sebagai suatu hukum alam. Berdasarkan faktor kebetulan dan hukum
alam ini pula, sel hidup ini lalu berkembang dan berevolusi, dan dengan
mengambil bentuk-bentuk yang berbeda, menghasilkan berjuta-juta spesies makhluk
hidup di Bumi.
Jawaban kedua
adalah “Penciptaan”. Semua makhluk hidup ada karena diciptakan oleh Pencipta
yang cerdas. Ketika kehidupan beserta berjuta-juta bentuknya – yang tak mungkin
muncul secara kebetulan itu – pertama kali diciptakan, makhluk hidup telah
memiliki rancangan yang lengkap, sempurna dan unggul, sama seperti yang dimilikinya
sekarang. Ini dibuktikan secara jelas dan nyata, yang mana makhluk hidup paling
sederhana sekali pun telah memiliki struktur dan sistem kompleks, yang mustahil
tercipta sebagai akibat dari faktor kebetulan dan kondisi alam.
Di luar kedua
alternatif ini, tidak ada pernyataan atau hipotesa lainnya tentang asal muasal
makhluk hidup. Menurut peraturan logika, jika satu jawaban untuk sebuah
pertanyaan – yang hanya memiliki dua alternatif jawaban – terbukti salah,
jawaban yang kedua pasti benar. Ini merupakan salah satu kaidah paling mendasar
dalam logika, disebut sebagai inferensi disjunktif (modus tollendo ponens).
Dengan kata lain,
jika terbukti bahwa makhluk hidup di Bumi tidak berevolusi melalui kebetulan,
seperti pernyataan para evolusionis, jelaslah bahwa makhluk hidup adalah karya
sang Pencipta. Para ilmuwan pendukung teori evolusi sepakat akan tidak adanya
alternatif ketiga. Salah satunya, Douglas Futuyma, menyatakan:
Organisme hanya
mungkin muncul di muka bumi dalam wujud telah terbentuk sempurna, atau tidak.
Jika tidak, berarti organisme telah terbentuk dari spesies pendahulunya melalui
suatu proses perubahan. Jika organisme muncul dalam wujud telah terbentuk sempurna,
pastilah organisme itu diciptakan oleh suatu kecerdasan mahakuasa. 4
Catatan fosil
memberikan jawaban kepada Futuyma yang evolusionis itu. Paleontologi
menunjukkan bahwa semua jenis makhluk hidup muncul di Bumi pada saat berlainan,
sekaligus dalam sekejap dan dalam wujud yang telah sempurna terbentuk.
Semua hasil
penggalian dan penelitian selama seratus tahun atau lebih, menunjukkan bahwa
–bertentangan dengan pendapat kaum evolusionis– makhluk hidup muncul secara
tiba-tiba dalam wujud sempurna tanpa cacat, atau dengan kata lain makhluk hidup
telah “diciptakan”. Bakteri, protozoa, cacing, moluska, dan makhluk laut tak
bertulang belakang lainnya, artropoda, ikan, amfibi, reptil, unggas, dan
mamalia, semua muncul seketika, lengkap dengan sistem dan organ yang kompleks.
Tidak ada fosil yang dapat disebut sebagai makhluk transisi atau tahap
perantara. Paleontologi menampilkan pesan yang sama dengan cabang ilmu lainnya:
Makhluk hidup tidak berevolusi, tetapi diciptakan. Sebagai hasilnya, pada saat
kaum evolusionis mencoba membuktikan teori mereka yang tidak berdasarkan fakta
itu, mereka justru membuktikan kebenaran penciptaan dengan tangan mereka
sendiri.
Robert Carroll,
seorang ahli paleontologi vertebrata dan seorang evolusionis yang gigih,
mengakui bahwa keinginan kaum Darwinis tidak dipenuhi oleh penemuan di bidang
fosil:
Meskipun, selama
lebih dari seratus tahun sejak meninggalnya Darwin telah dilangsungkan upaya
pengumpulan yang intensif, catatan fosil belum juga menghasilkan gambaran mata
rantai transisi yang tak terhingga jumlahnya, seperti yang ia harapkan. 5
Ledakan Zaman Kambrium sudah
cukup untuk meruntuhkan teori evolusi
Jenis makhluk
hidup dibagi-bagi oleh para ahli biologi menjadi kelompok-kelompok utama,
seperti tumbuhan, hewan, jamur, dst. Kelompok utama ini kemudian dibagi lagi
menjadi filum (dari kata phylum atau phyla). Saat menelaah
berbagai filum ini, haruslah diingat bahwa setiap filum memiliki struktur fisik
yang amat berlainan. Hewan jenis Artropoda (serangga, laba-laba, dan makhluk
lainnya yang kakinya beruas-ruas), misalnya, adalah satu filum tersendiri, dan
semua hewan dalam filum ini memiliki struktur dasar fisik yang sama. Filum
Chordata meliputi hewan yang memiliki notochord atau sumsum tulang
belakang (kolumna spinalis). Semua hewan berukuran besar, seperti ikan, unggas,
reptil, dan mamalia yang kita kenal sehari-hari, tergolong ke dalam sub-filum
Chordata yang disebut vertebrata.
Terdapat sekitar
35 filum hewan, termasuk Moluska, yang meliputi hewan bertubuh lunak, seperti
siput dan gurita, serta Nematoda, yang mencakup cacing berukuran kecil. Ciri
terpenting filum ini, seperti telah kita sebutkan tadi, adalah terdapatnya
ciri-ciri fisik yang amat berbeda. Kategori di bawah filum memiliki rancangan
tubuh yang serupa, tetapi satu filum amatlah berbeda dari filum lainnya.
Jadi,
bagaimanakah perbedaan-perbedaan ini timbul?
Pertama, mari
kita tinjau hipotesa Darwinis. Seperti kita ketahui, Darwinisme menyatakan
bahwa makhluk hidup berkembang dari satu nenek moyang yang sama, dan variasi
timbul setelah melalui serentetan perubahan kecil. Jika benar demikian, artinya
makhluk hidup yang pertama haruslah memiliki bentuk yang sama dan sederhana.
Dan menurut teori ini pula, perbedaan di antara, dan meningkatnya kerumitan
makhluk hidup, harus terjadi secara paralel seiring dengan waktu.
Menurut
Darwinisme, kehidupan haruslah berupa sebatang pohon, dengan sebuah akar
bersama, yang bagian atasnya berkembang menjadi cabang-cabang yang berbeda.
Hipotesa ini terus-menerus ditekankan dalam sumber-sumber Darwinis, di mana gambaran
tentang “pohon silsilah kehidupan” seringkali digunakan. Menurut konsep pohon
ini, awalnya harus muncul satu filum, lalu berbagai filum lain perlahan-lahan
muncul, dengan perubahan-perubahan kecil dan dalam tenggang waktu yang amat
panjang.
Itulah
pernyataan teori evolusi. Tetapi,
benarkah
itu yang terjadi?
Sama sekali
tidak. Sebaliknya, binatang sudah berwujud amat kompleks dan saling berlainan
sejak saat pertama kali muncul di Bumi. Semua filum binatang yang telah kita
ketahui muncul di saat yang sama, di tengah tenggang waktu geologis yang
dikenal sebagai Zaman Kambrium. Zaman Kambrium adalah periode waktu dalam
ilmu geologi, yang lamanya diperkirakan kurang-lebih 65 juta tahun, sekitar 570
hingga 505 juta tahun yang silam. Tetapi, kemunculan mendadak berbagai kelompok
utama hewan terjadi pada fase yang jauh lebih singkat di masa Zaman Kambrium
ini, yang sering disebut dengan “ledakan Kambrium ”. Stephen C. Meyer, P. A.
Nelson, dan Paul Chien, dalam sebuah artikel yang didasarkan pada pengkajian literatur
terperinci di tahun 2001, menyatakan “ledakan Kambrium terjadi dalam sepenggal
waktu geologis yang teramat sempit, yang lamanya tak lebih dari 5 juta tahun.” 6
Sebelum itu, tak
ada sedikit pun catatan fosil tentang makhluk hidup, selain yang bersel tunggal
serta sedikit makhluk bersel majemuk yang amat primitif. Semua filum hewan muncul
serentak dalam wujud sempurna, dalam tenggang waktu singkat Ledakan Kambrium
(Lima juta tahun adalah amat singkat dalam istilah geologi!)
Dalam bebatuan
Kambrium ditemukan fosil-fasil dari makhluk-makhluk yang amat berbeda, seperti
siput, trilobita, spons, ubur-ubur, bintang laut, kerang, dst. Kebanyakan
makhluk pada lapisan ini memiliki sistem yang rumit dan struktur yang maju,
misalnya mata, insang, dan sistem sirkulasi, yang persis sama dengan yang
terdapat pada spesimen hewan di zaman modern. Semua truktur ini
sangatlah maju dan sangat berlainan satu dengan yang lain.
Richard
Monastersky, seorang staf penulis jurnal Science News, menyatakan
tentang ledakan Kambrium, yang merupakan perangkap maut bagi teori evolusi:
Setengah miliar
tahun silam, … beragam jenis hewan yang amat kompleks, yang kita lihat
sekarang, tiba-tiba muncul. Saat itu, tepat di awal Zaman Kambrium di Bumi,
sekitar 550 juta tahun yang lalu, menandai ledakan evolusioner yang mengisi
penuh lautan dengan berbagai makhluk kompleks pertama di dunia. 7
Phillip Johnson,
seorang profesor Universitas California di Berkeley, yang juga salah seorang
kritikus Darwinisme paling menonjol di dunia, menjabarkan pertentangan antara
Darwinisme dengan kebenaran paleontologis ini:
Teori Darwinisme
meramalkan adanya sebuah “kerucut peningkatan keragaman”, yang mana organisme
hidup pertama, atau spesies hewan pertama, secara bertahap dan kontinyu menjadi
beragam dan menciptakan tingkat taksonomi yang lebih tinggi. Namun catatan
fosil binatang lebih mirip kerucut yang terbalik, yaitu banyak filum yang
berada di jenjang awal, dan setelah itu semakin berkurang. 8
Seperti
diungkapkan Phillip Johnson, yang telah terjadi bukanlah terbentuknya berbagai
filum secara bertahap. Jauh daripada itu, semua filum timbul serentak, dan
bahkan ada yang punah dalam periode selanjutnya. Munculnya makhluk hidup yang
beragam dalam wujud sempurna dan seketika, merupakan bukti penciptaan, seperti
juga diakui oleh evolusionis Futuyma. Telah kita saksikan, semua penemuan
ilmiah yang ada telah menyatakan bahwa pernyataan teori evolusi adalah salah,
serta mengungkapkan kebenaran dari penciptaan.
3
BERAPAKAH USIA UMMAT MANUSIA DI
BUMI INI? MENGAPA INI BUKAN FAKTOR PENDUKUNG TEORI EVOLUSI?
Untuk memperoleh
jawaban atas pertanyaan kapan manusia pertama kali muncul di Bumi, kita harus
meninjau kembali catatan fosil. Catatan ini menunjukkan bahwa umat manusia di
bumi sudah berusia jutaan tahun. Penemuan ini terdiri atas kerangka dan
tengkorak kepala manusia, dan jejak peninggalan berbagai bangsa yang hidup di
zaman yang berbeda. Salah satu peninggalan manusia tertua adalah “jejak kaki”
yang ditemukan oleh ahli paleontologi terkenal, Mary Leakey, tahun 1977 di
daerah Laetoli, Tanzania.
Peninggalan ini
amat menghebohkan dunia ilmiah. Menurut riset, usia lapisan tempat jejak kaki
ini ditemukan adalah 3,6 juta tahun. Russell Tuttle, yang menyaksikan jejak
kaki itu, menulis:
Jejak kaki itu
mungkin berasal dari seorang Homo sapiens yang bertubuh kecil, tanpa alas
kaki… Ciri morfologis yang dapat dikenali pada kaki makhluk yang meninggalkan
jejak tersebut tak bisa dibedakan dengan kaki manusia modern. 9
Penelitian
objektif atas jejak kaki itu mengungkapkan pemilik kaki yang sebenarnya. Dua
puluh buah tapak kaki itu, yang sudah menjadi fosil, berasal dari manusia
modern yang berusia 10 tahun, dan 27 buah tapak kaki lainnya berasal dari
manusia yang bahkan lebih muda. Kesimpulan ini dihasilkan oleh ahli
paleoantropologi terkenal seperti Don Johnson dan Tim White, yang memeriksa
tapak kaki penemuan Mary Leakey. White mengungkapkan pikirannya:
Jangan keliru …
tapak kaki itu seperti berasal dari manusia modern. Jika tapak kaki itu tampak
di pantai California masa kini, dan anak berusia empat tahun ditanyai
tentangnya, ia akan langsung menjawab bahwa ada orang yang lewat di sana. Anak
itu tak akan mampu membedakannya dengan ratusan tapak kaki lainnya yang ada di
pantai. Anda juga tak akan bisa. 10
Jejak-jejak kaki
ini menyulut sebuah perdebatan penting di kalangan evolusionis. Sebab, bila
mereka menerima pendapat bahwa jejak kaki itu berasal dari manusia, artinya
khayalan evolusionis tentang proses peralihan dari kera menuju manusia harus
gugur. Akan tetapi, di titik ini, pola pikir evolusionis yang dogmatis muncul lagi.
Sekali lagi, para ilmuwan evolusionis meninggalkan cara berpikir ilmiah demi
membela praduga mereka. Menurut mereka, jejak kaki di Laetoli itu berasal dari
makhluk serupa kera. Russell Tuttle, satu di antara para evolusionis yang
mempertahankan pernyataan ini, menulis:
Kesimpulannya,
jejak kaki berusia 3,5 juta tahun di situs G Laetoli menyerupai jejak manusia
modern yang tidak beralas kaki. Tidak ada tanda bahwa hominid Laetoli adalah biped
(makhluk yang berjalan di atas dua kaki) yang lebih rendah daripada kita. Jika
jejak kaki G itu tidak demikian tua usianya, kita akan mengira bahwa makhluk
yang menghasilkannya adalah genus kita, Homo…. Yang pasti, kita akan
mengesampingkan anggapan bahwa jejak kaki Laetoli itu berasal dari jenis Lucy, Australopithecus
afarensis. 11
Peninggalan
manusia tertua lainnya adalah reruntuhan pondok batu, yang ditemukan oleh Louis
Leakey tahun 1970-an di daerah Olduvai Gorge. Reruntuhan pondok itu berada pada
lapisan berusia 1,7 juta tahun. Sudah diketahui bahwa struktur bangunan seperti
ini, serupa dengan yang masih ada di Afrika masa kini, hanya mampu dihasilkan
oleh Homo sapiens, atau dengan kata lain, manusia modern. Yang terungkap
dari reruntuhan ini adalah, manusia hidup satu zaman dengan makhluk yang
dianggap para evolusionis sebagai makhluk serupa kera, yang mereka anggap nenek
moyangnya.
Sebuah tulang
rahang manusia berusia 2,3 juta tahun, yang ditemukan di daerah Hadar di
Ethiopia, amatlah penting untuk menunjukkan bahwa manusia sudah ada di Bumi
jauh lebih lama daripada yang diperkirakan para evolusionis. 12
Salah satu fosil
manusia tertua dan paling sempurna adalah KNM-WT 1500, yang juga dikenal
sebagai kerangka “Anak Turkana”. Fosil berusia 1,6 juta tahun tersebut digambarkan oleh
evolusionis Donald Johanson sebagai berikut:
Dia tinggi kurus, bentuk tubuh dan
proporsi tungkainya menyerupai bangsa Afrika yang tinggal di sekitar
katulistiwa zaman sekarang. Walaupun masih muda, tungkai anak ini hampir sama
dengan ukuran rata-rata lelaki dewasa kulit putih di Amerika Utara. 13
Disimpulkan, itu adalah fosil seorang
anak lelaki berusia 12 tahun, yang di masa dewasa akan mencapai tinggi 1,83 m.
Alan Walker, ahli paleoantropologi Amerika, berkata bahwa beliau ragu apakah
“ahli patologi berkemampuan standar akan mampu membedakan kerangka fosil itu
dengan manusia modern.” Tentang tengkorak kepala, Walker menulis bahwa beliau tertawa
melihatnya, karena “mirip betul dengan manusia Neanderthal.” 14
Satu fosil manusia yang paling menarik
perhatian adalah fosil yang ditemukan di Spanyol tahun 1995. Fosil itu
ditemukan di sebuah gua bernama Gran Dolina di daerah Atapuerca, Spanyol, oleh
tiga ahli paleoantropologi berkebangsaan Spanyol dari Universitas Madrid. Fosil itu berupa
anak lelaki berusia 11 tahun yang sepenuhnya mirip manusia modern. Padahal,
anak itu meninggal 800.000 tahun silam. Fosil ini mengguncang keyakinan Juan
Luis Arsuaga Ferreras, pemimpin penggalian Gran Dolina. Ferreras berkata:
Kami menduga sesuatu yang amat besar,
yang luar biasa –kau tahu, sesuatu yang primitif… Kami duga, anak dari masa
800.000 tahun yang silam akan seperti Anak Turkana. Tapi yang kami temukan
adalah wajah yang sepenuhnya modern… Bagi saya, ini amat spektakuler – inilah
jenis-jenis hal yang mengejutkan kita. Sesuatu yang amat tak terduga seperti
itu. Bukan menemukan fosil; menemukan fosil juga tak terduga, dan tak apa-apa.
Tapi hal yang paling spektakuler adalah menemukan sesuatu, yang kita duga hanya
ada di masa kini, dari masa lalu. Ini semacam menemukan sesuatu seperti –
seperti menemukan tape recorder di Gran Dolina. Sangat mengejutkan. Kita
tidak mengharapkan menemukan kaset dan tape
recorder di zaman Pleistocene Bawah. Menemukan wajah modern dari masa
800.000 tahun silam – adalah hal yang sama. Kami sangat terkejut melihatnya. 15
Telah kita lihat,
penemuan fosil telah mengungkap pernyataan “evolusi manusia” sebagai sebuah
dusta. Oleh media tertentu, pernyataan tersebut disajikan seolah itu fakta yang
sudah terbukti. Padahal, yang ada cuma teori fiktif. Para ilmuwan evolusionis
menerima hal ini, dan mengakui bahwa pernyataan “evolusi manusia” tidak
didukung oleh bukti ilmiah.
Misalnya, dengan
berkata “Kita muncul tiba-tiba dalam catatan fosil”, ahli paleontologi
evolusionis C. A. Villie, E. P. Solomon dan P. W. Davis mengakui bahwa manusia
muncul seketika, atau dengan kata lain, tanpa nenek moyang evolusioner. 16
Mark Collard dan
Bernard Wood, dua ahli antropologi evolusionis terpaksa berkata, “hipotesa
filogenetis yang ada tentang evolusi manusia tampaknya sukar dipercaya.”
dalam tulisan mereka tahun 2000. 17
Setiap penemuan
fosil baru semakin menyulitkan para evolusionis, walaupun ada surat kabar yang
senang memasang berita utama seperti “Mata rantai yang hilang telah ditemukan.”
Fosil tengkorak kepala yang ditemukan tahun 2001, yang dinamai Kenyanthropus
platyops adalah contoh paling mutakhir. Ahli paleontologi evolusionis
Daniel E. Lieberman dari Jurusan Antropologi Universitas Washington berkata
dalam artikel jurnal ilmiah terkenal, Nature, tentang Kenyanthropus
platyops:
Sejarah evolusi manusia
adalah rumit dan belum terpecahkan. Sekarang tampaknya akan semakin
membingungkan dengan ditemukannya spesies dan genus lain, dari masa 3,5 juta
tahun silam… Sifat Kenyanthropus platyops menimbulkan segala macam
pertanyaan, tentang evolusi manusia umumnya dan perilaku spesies ini khususnya.
Contohnya, mengapa makhluk ini memiliki kombinasi yang tak biasa, yaitu gigi
kecil dengan wajah lebar pipih, serta lengkung tulang pipi yang terdapat di
bagian anterior? Semua spesies hominin lain, yang dikenal memiliki wajah besar
dan tulang pipi serupa, bergigi besar-besar. Saya duga, K. platyops
pada tahun-tahun mendatang akan berperan sebagai semacam “perusak suasana”,
menyoroti kebingungan yang dihadapi oleh penelitian tentang hubungan
evolusioner antara makhluk hominin. 18
Bukti mutakhir
yang menghancurkan pernyataan teori evolusi tentang asal-usul manusia adalah
fosil baru Sahelanthropus tchadensis yang digali di negara Chad di
Afrika Tengah, musim panas 2002.
Fosil itu telah
mengacaukan dunia Darwinisme. Jurnal kelas dunia, Nature, mengakui bahwa
“Tengkorak kepala yang baru ditemukan dapat menggugurkan gagasan kita tentang
evolusi manusia.” 19
Daniel Lieberman
dari Universitas Harvard berkata “[Penemuan] ini akan memiliki dampak seperti
bom nuklir kecil.” 20
Alasannya:
walaupun fosil tersebut berumur lebih dari 7 juta tahun, strukturnya lebih
“menyerupai manusia” (menurut kriteria yang sering dipakai kaum evolusionis)
dibandingkan dengan spesies kera Australopithecus berusia 5 juta tahun
(yang dianggap sebagai “moyang tertua umat manusia”). Ini menunjukkan, mata
rantai antara spesies kera yang telah punah, berdasarkan kriteria “kemiripannya
dengan manusia“ yang teramat subjektif dan penuh praduga, sepenuhnya adalah
khayal belaka.
John Whitfield,
dalam artikelnya Oldest Member of Human Family Found (Anggota Tertua
Keluarga Manusia Telah Ditemukan) dalam jurnal Nature edisi 11 Juli
2002, memperkukuh pendapat ini mengutip Bernard Wood, ahli antropologi
evolusionis dari Universitas George Washington:
“Ketika saya mulai
kuliah kedokteran tahun 1963, evolusi manusia tampak bagai tangga,” katanya [Bernard
Wood]. Tangga itu mulai dari kera, dan meningkat menuju manusia, melalui
tahap-tahap perantara, makhluk yang semakin jauh dari rupa kera. Sekarang,
evolusi manusia mirip semak-semak. Ada sekumpulan fosil makhluk hominid…
Bagaimana hubungan antara makhluk tersebut, serta yang mana, kalau memang ada,
merupakan nenek moyang manusia, masih diperdebatkan. 21
Ulasan Henry Gee,
editor senior Nature serta ahli paleoantropologi terkemuka, tentang
fosil kera yang baru ditemukan sungguh patut disimak. Dalam tulisannya yang diterbitkan
The Guardian, Gee mengulas tentang debat seputar fosil itu dan menulis:
Apa pun hasilnya,
tengkorak kepala itu menegaskan bahwa gagasan lama tentang mata rantai yang
hilang adalah omong kosong… sekarang harusnya sudah jelas, bahwa ide mata rantai yang hilang, yang dari
awal memang amat lemah, sama sekali tak bisa dilanjutkan. 22
Seperti kita
lihat, penemuan yang semakin banyak itu menghasilkan bukti-bukti yang
mengguncangkan teori evolusi, bukan memperkukuhnya. Jika proses evolusi
demikian memang telah terjadi, seharusnya banyak ditemukan jejaknya, dan setiap
penemuan baru seharusnya memperkuat teori ini. Dalam The Origin of Species,
Darwin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan akan berkembang ke sana. Dalam
pandangan Darwin, satu-satunya hambatan teorinya dalam catatan fosil adalah
tiadanya penemuan fosil. Darwin berharap, penelitian masa mendatang akan
menghasilkan penemuan fosil yang tak terhitung jumlahnya, yang akan mendukung
teorinya. Akan tetapi, satu per satu penemuan ilmiah telah membuktikan impian
Darwin sama sekali tak berdasar.
Pentingnya sisa-sisa peninggalan yang
berkaitan dengan manusia
Penemuan terkait
dengan manusia, yang beberapa contohnya telah kita bahas di sini, mengungkapkan
kebenaran yang amat penting. Khususnya, kini terungkap bahwa pernyataan
evolusionis – bahwa nenek moyang manusia adalah makhluk serupa kera – adalah
hasil khayalan luar biasa. Karena itu, mustahil spesies kera tersebut bisa
menjadi nenek moyang manusia.
Kesimpulannya, catatan fosil membuktikan
bahwa manusia muncul di Bumi berjuta-juta tahun yang lalu, dalam wujud tepat
sama dengan manusia sekarang, dan bahwa manusia telah menghuni Bumi sekian
lamanya tanpa perkembangan evolusi sedikit pun. Jika kaum evolusionis memang
jujur dan ilmiah, seharusnya di titik ini mereka sudah membuang proses khayal
tentang kera menjadi manusia ini ke tempat sampah. Bila mereka tidak
meninggalkan pohon silsilah palsu ini, jelaslah bahwa evolusi bukan teori yang
dipertahankan atas nama ilmu pengetahuan, melainkan dogma yang terus dihidupkan
di hadapan berbagai fakta ilmiah.
4
MENGAPA TEORI EVOLUSI BUKANLAH “DASAR ILMU BIOLOGI”?
Para evolusionis
seringkali mengulang sebuah dusta yang menyatakan bahwa teori evolusi merupakan
dasar ilmu hayat atau biologi… Mereka berkata bahwa biologi tak akan berkembang
–bahkan tak akan ada– tanpa teori evolusi. Pernyataan ini sebenarnya tumbuh
dari demagogy (langkah memenangkan simpati dengan cara menggugah emosi
masyarakat – penerj.) yang disebabkan oleh rasa putus asa. Filsuf Profesor Arda
Denkel, seorang tokoh terkemuka dalam dunia ilmu pengetahuan Turki, bertutur
sebagai berikut:
Misalnya, adalah
salah bila beranggapan “Menolak teori evolusi berarti sama dengan menolak ilmu
biologi dan geologi serta penemuan di bidang fisika dan kimia.” Sebab, sebelum
inferensi semacam itu dibuat (di sini, a modus tollens), terlebih dahulu
harus ada sejumlah pengajuan penemuan di bidang biologi, geologi, kimia dan
fisika, yang menyiratkan teori evolusi. Akan tetapi, berbagai penemuan atau
pernyataan di bidang ilmu tersebut tidaklah menyiratkan kebenaran teori
evolusi. Karena itu, hal-hal tersebut tidak membuktikan evolusi. 23
Ditinjau
dari sudut sejarah ilmu pengetahuan pun, sudah langsung jelas bahwa pernyataan
ini – bahwa “evolusi adalah dasar ilmu biologi” – amatlah tidak absah, dan tak masuk
akal. Jika pernyataan ini benar, artinya sebelum teori evolusi muncul, tentu di
dunia ini tidak ada cabang-cabang ilmu biologi. Namun kenyataannya, banyak
cabang biologi yang sudah ada dan berkembang sebelum munculnya teori evolusi –
misalnya saja anatomi, fisiologi, dan paleontologi. Sebaliknya, evolusi adalah
hipotesa yang muncul sesudahnya, dan oleh kaum Darwinis dipaksakan kepada
masyarakat.
Di Uni
Soviet semasa pemerintahan Stalin, digunakan sebuah metode yang mirip dengan
metode kaum evolusionis. Di masa itu, komunisme yang menjadi ideologi resmi Uni
Soviet, menganggap bahwa “materialisme dialektik” adalah dasar setiap ilmu.
Perintah Stalin adalah semua penelitian ilmiah harus sesuai dengan materialisme
dialektik. Jadi, dalam semua buku tentang biologi, kimia, fisika, sejarah dan
politik, bahkan kesenian, harus tercantum pengantar yang mengaitkan ilmu dengan
materialisme dialektik serta pandangan Marx, Engels, dan Lenin.
Namun,
seiring runtuhnya Uni Soviet, kewajiban itu pupus. Buku pun kembali menjadi
naskah ilmiah teknis yang berisi informasi yang sama. Dengan meninggalkan omong
kosong seperti materialisme dialektik, ilmu pengetahuan tidaklah rugi. Justru,
hal ini lebih meringankan tekanan dan kewajiban-kewajiban yang dikenakan
kepadanya.
Kini,
tidak ada alasan mengapa ilmu pengetahuan harus tetap terikat pada teori
evolusi. Ilmu pengetahuan adalah didasarkan pada pengamatan dan percobaan.
Evolusi, sebaliknya, adalah sebuah hipotesa tentang masa silam yang tidak
teramati. Lebih daripada itu, pernyataan dan pengajuan oleh teori ini selalu
digugurkan oleh bukti ilmiah dan kaidah logika. Tentu, ilmu pengetahuan tidak akan
rugi bila hipotesis ini ditinggalkan. Ahli biologi Amerika G. W. Harper berkata
tentang ini:
Sering dinyatakan bahwa Darwinisme amatlah penting
bagi biologi modern. Sebaliknya, jika semua rujukan Darwinisme mendadak lenyap,
pada dasarnya biologi tidak akan berubah… 24
Kenyataannya bahkan sebaliknya, ilmu pengetahuan
akan maju dengan lebih sehat dan lebih cepat, bila terbebaskan dari paksaan
sebuah teori yang penuh dogmatisme, praduga, dusta, dan isi yang dibuat-buat.
5
MENGAPA ADANYA BERAGAM RAS BUKAN BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
Terdapat sejumlah evolusionis yang berusaha
mengajukan keragaman ras sebagai bukti kebenaran evolusi. Pada kenyataannya, pernyataan
ini sebenarnya lebih sering dikeluarkan oleh para evolusionis amatir dengan pemahaman
yang kurang memadai atas teori yang mereka dukung tersebut.
Tesis yang
diajukan oleh pendukung pernyataan itu didasarkan atas pertanyaan, “Jika,
seperti dikatakan sumber-sumber agama samawi, kehidupan memang diawali oleh
seorang lelaki dan seorang perempuan, mengapa beragam ras muncul?” Dengan kata
lain, maksud pertanyaan itu adalah, “Karena tinggi badan, warna kulit, serta
ciri fisik lain pada Adam dan Hawa hanyalah ciri fisik dua orang saja, mengapa
berbagai ras dengan ciri fisik yang sama sekali berlainan dapat muncul?”
Sebenarnya,
yang menjadi dasar semua pertanyaan atau sangkalan itu adalah kurangnya
pengetahuan tentang hukum-hukum genetika, atau ketidakperdulian mereka atas
ilmu tersebut. Agar kita dapat memahami penyebab keragaman ras di dunia kini,
kita harus lebih dahulu memahami “variasi”, suatu pokok bahasan yang terkait
erat dengan pertanyaan ini.
Variasi
adalah sebuah istilah dalam ilmu genetika, yaitu peristiwa genetis yang
menyebabkan timbulnya perbedaan ciri-ciri satu atau sekelompok individu dalam suatu
jenis atau spesies tertentu. Sumber variasi adalah informasi genetis yang
dimiliki individu dalam spesies itu. Sebagai akibat perkawinan antar individu,
informasi genetis itu bergabung dalam berbagai kombinasi pada generasi
berikutnya. Terjadi pertukaran materi genetis antara kromosom ayah dan kromosom
ibu. Jadi, gen saling bercampur-baur. Hasilnya, terdapat ciri-ciri individual
yang sangat beragam.
Ciri-ciri
fisik yang berbeda antar-ras manusia yang berbeda ditimbulkan oleh variasi yang
terdapat dalam ras manusia. Semua orang di muka bumi memiliki informasi genetis
yang pada dasarnya sama, namun ada yang bermata sipit, ada yang berambut merah,
ada yang berhidung mancung, ada yang bertubuh pendek, tergantung sejauh mana
potensi variasi informasi genetis ini.
Agar kita
memahami potensi variasi ini, cobalah bayangkan sebuah masyarakat di mana kelompok
individu berambut coklat dan bermata coklat lebih dominan, dibandingkan individu-individu
berambut pirang dan bermata biru. Lama-kelamaan, sebagai hasil dari perbauran
dan pernikahan silang, dihasilkan keturunan berambut coklat dan bermata biru.
Dengan perkataan lain, ciri fisik kedua kelompok itu akan bergabung dalam
keturunan berikutnya dan menghasilkan penampilan baru. Bila kita bayangkan ciri
fisik lainnya pun berpadu seperti itu, sangatlah jelas bahwa akan muncul
variasi yang sangat beragam.
Hal
penting yang harus dipahami di sini adalah: Setiap ciri fisik ditentukan oleh
dua buah gen. Salah satu gen mungkin lebih dominan, atau keduanya sama kuat.
Contohnya, ada sepasang gen yang menentukan warna mata seseorang – satu gen
dari ibu dan satunya lagi dari ayah. Warna mata orang tersebut ditentukan oleh
gen yang dominan. Pada umumnya, warna gelap lebih dominan daripada warna
terang. Jadi, bila seseorang memiliki gen mata coklat dan gen mata biru, maka
warna matanya akan coklat, karena yang dominan adalah gen warna mata coklat.
Namun gen yang bersifat resesif tetap diturunkan, dan mungkin muncul pada masa
(generasi – terj.) selanjutnya. Dengan kata lain, pasangan ayah dan ibu yang
keduanya bermata coklat dapat memperoleh anak bermata hijau. Hal ini disebabkan karena gen warna
tersebut bersifat resesif dan terdapat pada kedua orangtua.
Kaidah ini berlaku juga untuk ciri-ciri
fisik lain beserta gen-gen pengaturnya. Ratusan, bahkan ribuan ciri fisik,
seperti telinga, hidung, bentuk mulut, tinggi badan, struktur tulang, dan
struktur, bentuk serta sifat dari sebuah organ, kesemuanya diatur dengan cara
yang serupa. Berkat hal ini, informasi tak terhingga yang terdapat di dalam
struktur genetis dapat diturunkan ke generasi berikutnya, tanpa harus tampak
dari luar. Adam, manusia pertama, dan Hawa, mampu menurunkan informasi yang
kaya dalam struktur genetis mereka kepada keturunan mereka, walau yang tampak
dari luar hanya sebagian saja. Isolasi geografis yang terjadi sepanjang sejarah
manusia telah mengakibatkan ciri-ciri fisik tertentu terkumpul dalam suatu
kelompok. Lama-kelamaan, masing-masing kelompok memiliki ciri tubuh yang khas,
misalnya struktur tulang, warna kulit, tinggi badan, dan volume tengkorak
kepala. Akhirnya, terbentuklah beragam ras.
Akan
tetapi, tentunya waktu yang panjang tidak akan merubah satu hal. Tak menjadi
soal, apa pun tinggi, warna kulit dan volume otak, seluruh ras adalah bagian
dari spesies manusia.
6
MENGAPA PERNYATAAN “GENOM
MANUSIA 99% SAMA DENGAN GENOM KERA” TIDAK BENAR, DAN HAL INI MEMBUKTIKAN BAHWA
EVOLUSI TIDAKLAH BENAR?
Banyak sumber-sumber
evolusionis yang dari waktu ke waktu menyatakan bahwa manusia dan kera memiliki
kesamaan sebesar 99% pada informasi genetis keduanya, dan bahwa ini adalah
bukti evolusi. Pernyataan evolusionis ini terutama terpusat pada simpanse, dan menyatakan
bahwa jenis kera inilah yang terdekat dengan manusia, dan oleh karena itu
terdapat hubungan kekerabatan di antara keduanya. Namun, ini adalah bukti palsu
yang diajukan kaum evolusionis yang memanfaatkan ketidaktahuan orang awam akan
masalah ini.
Pernyataan
tentang adanya kesamaan
99% adalah
propaganda menyesatkan
Sudah sekian lamanya
kaum evolusionis menyebarluaskan tesis –yang belum terbukti– yang menyatakan
bahwa terdapat sangat sedikit perbedaan genetis antara manusia dan simpanse.
Dalam setiap bahan bacaan evolusionis, Anda dapat membaca kalimat semacam “kita
99% sama persis dengan simpanse” atau “hanya 1% DNA yang menjadikan kita
manusia”. Walaupun belum ada perbandingan yang pasti antara genom manusia dan
simpanse, ideologi Darwinis mendorong mereka untuk percaya bahwa terdapat
sangat sedikit perbedaan di antara kedua spesies itu.
Sebuah studi di tahun 2002 mengungkapkan
bahwa propaganda evolusionis dalam perihal ini – seperti dalam banyak perihal
lainnya – adalah sepenuhnya tidak benar. Manusia dan simpanse tidaklah “99%
sama” seperti kata dongeng evolusionis. Kesamaan genetis ternyata tak sampai 95%.
Dalam berita CNN.com berjudul “Manusia, simpanse lebih berbeda daripada yang
diduga”, dikatakan:
Terdapat perbedaan
yang lebih banyak antara simpanse dan manusia daripada yang semula diyakini,
demikian menurut sebuah studi genetis.
Para ahli biologi telah lama meyakini bahwa gen
manusia dan simpanse sekitar 98,5% sama persis. Tetapi Roy Britten, seorang
biologiwan di California Institute of Technology, berkata dalam sebuah studi
yang diterbitkan minggu ini bahwa cara baru pembandingan gen memperlihatkan
bahwa kesamaan genetis antara manusia dan simpanse hanyalah sekitar 95 persen.
Britten mengambil kesimpulan ini berdasarkan sebuah
program komputer yang membandingkan 780.000 dari 3 miliar pasang basa dari
heliks DNA manusia dengan yang ada pada simpanse. Ia menemukan lebih banyak ketidakcocokan
daripada yang ditemukan para peneliti sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa
sedikitnya 3,9 persen basa DNA adalah berbeda.
Ini membuatnya berkesimpulan bahwa terdapat sekitar
5% perbedaan genetis mendasar antara kedua spesies. 25
New Scientist, sebuah majalah ilmiah terkemuka sekaligus
pendukung gigih Darwinisme, melaporkan hal yang sama berikut, dalam tulisan
yang berjudul “Perbedaan DNA manusia dengan simpanse kini tiga kali lebih
besar”:
Ternyata kita lebih berbeda daripada dugaan
semula, demikian menurut hasil perbandingan terkini atas DNA manusia dan
simpanse. Telah lama diyakini bahwa kita memiliki 98,5 persen kesamaan bahan
genetis dengan saudara terdekat kita. Sekarang, tampaknya ini tidak benar. Nyatanya,
kita memiliki kesamaan bahan genetik tak sampai 95%, yang berarti peningkatan
tiga kali lipat dalam hal variasi antara kita dengan simpanse. 26
Ahli biologi Boy Britten, serta para evolusionis
lain, terus mengkaji hasil tersebut berdasarkan teori evolusi, walaupun
sebenarnya tidak ada alasan ilmiah untuk itu. Teori evolusi tidak didukung oleh
catatan fosil maupun data genetis atau biokimia. Sebaliknya, bukti menunjukkan
bahwa berbagai makhluk hidup muncul di Bumi secara tiba-tiba tanpa adanya nenek
moyang evolusioner, dan bahwa sistem kompleks pada makhluk hidup itu
membuktikan adanya “rancangan cerdas”.
DNA manusia juga serupa dengan DNA
ayam, cacing dan nyamuk!
Sebagai tambahan, protein-portien dasar seperti
yang telah diungkapkan di atas adalah molekul vital yang serupa dan umum
dijumpai bukan saja pada simpanse, melainkan juga pada banyak makhluk hidup
yang amat berbeda. Struktur protein pada semua spesies ini amat serupa dengan
protein pada manusia.
Sebagai contohnya, analisa genetis yang
diterbitkan dalam New Scientist telah mengungkapkan 75% kesamaan
antara DNA cacing nematoda dan DNA manusia.27 Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa
perbedaan antara cacing tersebut dengan manusia hanya sebesar 25%!
Sebaliknya, dalam sebuah penemuan lain yang juga
telah terbit di media, dinyatakan bahwa hasil pembandingan antara gen lalat
buah genus Drosophila dengan gen
manusia menunjukkan kesamaan sebesar 60%. 28
Bila makhluk hidup selain manusia dikaji, tampak
tidak ada hubungan molekuler seperti yang dikemukakan para evolusionis.29 Fakta ini menunjukkan bahwa konsep kesamaan bukanlah bukti evolusi.
Sebab timbulnya kesamaan: “Satu
Rancangan Untuk Semua”
Tentu saja wajar apabila tubuh manusia memiliki
kesamaan molekuler dengan makhluk hidup lainnya, karena molekul penyusun tubuh
makhluk hidup adalah sama, air dan udara yang dikonsumsi adalah sama, makanan
makhluk hidup tersusun dari molekul yang sama. Tentu saja, metabolisme makhluk
hidup, dan dengan begitu sekaligus susunan genetisnya, akan serupa satu sama
lain. Akan tetapi hal ini bukan bukti bahwa makhluk hidup berasal dari satu
nenek moyang.
“Kesamaan materi” ini bukan hasil proses evolusi,
melainkan hasil “kesamaan rancangan”, yaitu makhluk hidup diciptakan
berdasarkan satu rencana yang sama.
Untuk menjelaskan hal tersebut, kita dapat
mengambil contoh berikut: semua bangunan di dunia ini terbuat dari bahan yang
serupa (batu-bata, besi, semen, dst.). Akan tetapi, tidak berarti satu bangunan
berevolusi dari bangunan lainnya. Bangunan-bangunan itu didirikan secara
terpisah dengan menggunakan bahan-bahan yang sama. Demikian pula halnya dengan
makhluk hidup.
Namun, tentu saja struktur makhluk hidup yang
kompleks itu tidak bisa dibandingkan dengan apa yang ada pada jembatan.
Makhluk hidup tidak tercipta sebagai hasil peristiwa-peristiwa
kebetulan tanpa disengaja, seperti pernyataan teori evolusi, tetapi merupakan
hasil ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Pemilik pengetahuan dan kearifan yang
tak terhingga.
7
MENGAPA PERNYATAAN BAHWA DINOSAURUS BEREVOLUSI MENJADI
BURUNG ADALAH MITOS TIDAK ILMIAH?
Teori evolusi
adalah sebuah dongeng yang diciptakan berdasarkan harapan bahwa yang mustahil
akan menjadi kenyataan. Dalam cerita ini, burung menempati tempat yang
istimewa. Dibandingkan semua yang ada, burung memiliki organ luar biasa, yakni
sayap. Selain istimewa dari segi struktural, sayap burung juga menakjubkan dari
segi fungsinya. Begitu menakjubkan, sehingga selama beribu-ribu tahun, umat
manusia memiliki cita-cita untuk bisa terbang, dan beribu-ribu ilmuwan dan
peneliti berupaya untuk menirunya. Meskipun sejumlah upaya sangat sederhana
pernah dikerahkan, barulah pada abad ke-dua puluh, manusia berhasil membuat
mesin yang mampu terbang. Burung sudah melakukan hal ini – yang oleh manusia
baru terwujud melalui akumulasi teknologi selama beratus-ratus tahun – sejak
jutaan tahun yang lalu, sejak burung tercipta. Lagi pula, anak burung dapat
memiliki kemampuan untuk terbang setelah mencobanya beberapa kali saja. Banyak
sifat-sifat burung yang begitu sempurna, sehingga tak mungkin disaingi oleh
teknologi paling modern sekali pun.
Teori evolusi bersandar
pada komentar-komentar berprasangka dan pemutarbalikkan kebenaran untuk
menjelaskan kemunculan makhluk hidup dan seluruh keberagamannya. Apabila sudah
menyangkut makhluk hidup seperti burung, ilmu pengetahuan pun sepenuhnya
disingkirkan, dan diganti dengan kisah fantasi evolusionis. Alasan dari semua
ini adalah sejenis makhluk yang oleh kaum evolusionis dinyatakan sebagai nenek
moyang dari burung. Teori evolusi menandaskan bahwa nenek moyang dari burung
adalah dinosaurus, anggota kelompok reptil. Pernyataan ini memunculkan dua
pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, “bagaimana dinosaurus mulai menumbuh-kembangkan
sayap?” Kedua, “mengapa tidak ada jejak prekembangan semacam itu dalam catatan
fosil?”
Berkenaan dengan
bahasan tentang bagaimana dinosaurus berubah menjadi burung, para evolusionis telah
lama memperdebatkannya, dan mengajukan dua teori. Yang pertama adalah teori
“kursorial”. Menurut teori ini, dinosaurus berubah menjadi burung dengan cara
melompat dari tanah ke udara. Adapun para pendukung teori kedua tidaklah
sependapat dengan teori kursorial ini. Mereka berkata, mustahil dinosaurus
berubah menjadi burung dengan cara demikian. Menurut teori kedua ini,
dinosaurus yang hidup di dahan pepohonan berubah menjadi burung karena berusaha
melompat dari dahan ke dahan. Ini biasa disebut sebagai teori “arboreal”.
Bagaimana dinosaurus bisa melompat ke udara? Jawabannya sudah tersedia: “Karena
mencoba menangkap serangga terbang.”
Akan tetapi, kita
harus ajukan pertanyaan berikut ini kepada mereka yang berkata bahwa sebuah
sistem penerbangan beserta sayapnya dapat muncul pada tubuh seekor dinosaurus:
Bagaimanakah sistem terbang pada seekor lalat – yang jauh lebih efisien
daripada helikopter yang kemudian dibentuk mengikuti sistem terbang pada lalat
– terbentuk? Anda akan pahami bahwa kaum evolusionis tak memiliki jawabannya. Sudah
pasti teramat tidak masuk akal bahwa suatu teori yang tak sanggup menjelaskan
sistem terbang pada makhluk sekecil lalat, akan sanggup menjelaskan proses
perubahan dinosaurus menjadi burung.
Karena itulah,
para ilmuwan yang berpikir secara benar pun sepakat, bahwa satu-satunya segi
ilmiah pada teori tersebut adalah nama-nama yang berbahasa Latin. Pada intinya,
munculnya kemampuan terbang hewan reptil hanyalah khayalan.
Kaum evolusionis,
yang berpendapat bahwa dinosaurus berubah menjadi burung, haruslah mampu
memperoleh buktinya dalam catatan fosil. Jika dinosaurus memang berubah menjadi
burung, harus terdapat makhluk setengah burung-setengah dinosaurus yang hidup
di masa lampau, serta meninggalkan jejaknya dalam catatan fosil. Sudah
bertahun-tahun lamanya, para evolusionis menyatakan bahwa seekor burung yang
disebut “Archaeopteryx” merupakan bukti transisi tersebut. Akan tetapi
pernyataan ini tak lain adalah sebuah penipuan besar.
Penipuan tentang Archaeopteryx
Archaeopteryx, makhluk
yang dianggap sebagai nenek moyang burung modern oleh para evolusionis, hidup
sekitar 150 juta tahun silam. Menurut teori ini, ada sejenis dinosaurus
berukuran kecil, misalnya Velociraptors dan Dromaesaurs, yang
berevolusi, yaitu menumbuhan sayap dan lalu mulai terbang. Jadi, Archaeopteryx
dianggap sebagai bentuk peralihan, yang muncul dari dinosaurus – nenek
moyangnya – lalu mulai terbang untuk pertama kalinya.
Tetapi, kajian
terakhir atas fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak
memiliki dasar ilmiah. Archaeopteryx bukan bentuk peralihan, melainkan
spesies burung yang sudah punah, yang tidak jauh berbeda dengan burung modern.
Hingga beberapa
waktu yang lalu, pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung”
yang belum sanggup terbang sempurna merupakan pandangan yang umum diterima di kalangan
kaum evolusionis. Tiadanya tulang dada atau sternum pada makhluk ini, dianggap sebagai bukti terpenting
bahwa kemampuan terbangnya tidak sempurna. (Sternum adalah tulang tempat menempel otot-otot untuk terbang,
yang terletak di bawah toraks.
Di zaman sekarang, tulang dada terdapat pada semua jenis burung, baik yang
dapat terbang maupun tidak, bahkan terdapat juga pada kelelawar, yang tergolong
mamalia terbang.)
Akan tetapi,
fosil Archaeopteryx ketujuh, yang ditemukan tahun 1992, menjadi bukti
penentang argumen tadi. Alasannya adalah, dalam fosil yang baru saja ditemukan
ini, terdapat tulang dada yang selama ini dianggap tak ada oleh kaum
evolusionis. Dalam jurnal Nature, fosil ini digambarkan sebagai berikut:
Spesimen Archaeopteryx
yang baru saja ditemukan menampakkan tulang sternum yang berbentuk persegi,
yang sudah lama diperkirakan ada, tetapi belum pernah didokumentasikan. Ini
menjadi tanda akan kekuatan otot terbangnya, walaupun kemampuan terbang-jauhnya
masih dipertanyakan. 30
Penemuan ini
meruntuhkan tiang utama yang melandasi pernyataan bahwa Archaeopteryx
adalah makhluk setengah burung, yang tak mampu terbang sempurna.
Lagi pula,
struktur bulu burung ini merupakan salah satu bukti terpenting bahwa Archaeopteryx
adalah burung sejati yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeopteryx,
yang tidak simetris, tidak bisa dibedakan dari bulu burung zaman modern.
Ini menandakan bahwa burung ini benar-benar bisa terbang. Seperti kata ahli
paleontologi ternama, Carl O. Dunbar, “Dilihat dari bulunya, jenis [Archaeopteryx]
jelas termasuk kelompok burung.” 31 Ahli
paleontologi Robert Carroll menjelaskan hal ini lebih lanjut:
Geometri bulu
yang berfungsi untuk terbang pada Archaeopteryx adalah sama persis dengan
bulu burung modern yang dapat terbang, sedangkan bulu pada unggas yang tak bisa
terbang adalah simetris. Pola yang dengannya bulu-bulu tersebut tersusun pada
sayapnya juga masih termasuk dalam kelompok burung modern… Menurut Van Tyne dan
Berger, bentuk dan ukuran relatif sayap Archaeopteryx serupa dengan yang
ada pada burung yang biasa menembus rapatnya pepohonan, misalnya burung unggas yang sudah didomestikasi,
merpati, burung rawa, burung
pelatuk, dan kebanyakan burung layang…
Bulu yang berfungsi untuk terbang ini telah berada dalam keadaan yang sama selama sedikitnya 150 juta
tahun … 32
Fakta lain yang
terungkap lewat struktur bulu Archaeopteryx adalah metabolismenya yang
tergolong berdarah panas. Seperti telah dibahas tadi, reptil dan – walaupun ada
pendapat kaum evolusionis yang menentang ini – dinosaurus tergolong hewan
berdarah dingin, yang suhu tubuhnya berubah tergantung suhu lingkungan. Lain
halnya pada hewan berdarah panas, yang suhu tubuhnya diatur secara homeostatis
(tidak bergantung pada suhu lingkungan di luar tubuh – penerj.). Fungsi bulu
burung yang amat penting adalah pemeliharaan suhu tubuh yang senantiasa tetap. Fakta
bahwa Archaeopteryx memiliki bulu membuktikan bahwa makhluk ini adalah
burung sejati berdarah panas yang perlu menjaga panas tubuhnya; tidak demikian
halnya pada dinosaurus.
Anatomi Archaeopteryx dan
kesalahan kaum evolusionis
Terdapat dua hal
yang menjadi landasan kaum evolusionis dalam menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan,
yaitu adanya cakar pada sayap dan giginya.
Memang benar bawa
Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya, dan gigi dalam paruhnya.
Tapi kedua ciri ini tidak berarti Archaeopteryx berkerabat dengan
reptilia. Di samping itu, terdapat dua spesies burung masa kini, touraco
dan hoatzin, yang juga memiliki cakar pada sayapnya yang digunakan untuk
bertengger pada dahan pohon. Kedua makhluk ini adalah burung seutuhnya, tanpa
ciri-ciri reptil. Karenanya, adalah sama sekali tidak berdasar untuk mengatakan
bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan, hanya karena sayapnya
bercakar.
Gigi yang
terdapat dalam paruh Archaeopteryx bukanlah pula tanda bahwa burung ini
adalah makhluk transisi. Kaum evolusionis telah keliru ketika menyatakan bahwa
gigi-gigi tersebut adalah ciri khas yang berasal dari reptil. Hal ini
disebabkan gigi bukanlah ciri khas reptil. Di zaman sekarang, terdapat reptil
yang bergigi, dan ada pula yang tidak. Lagi pula, Archaeopteryx bukanlah
satu-satunya burung yang bergigi. Memang benar, di masa kini tidak ada lagi
burung yang bergigi. Namun, dalam catatan fosil, tampak bahwa di masa hidup Archaeopteryx
dan di masa sesudahnya, dan bahkan hingga belum lama ini, terdapat sekelompok
burung yang dapat digolongkan sebagai “burung bergigi”.
Hal terpenting di
sini adalah, struktur gigi Archaeopteryx dan burung bergigi lainnya sama
sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus, yang dianggap sebagai nenek
moyang hewan jenis burung. Ahli ornitologi ternama, L. D. Martin, J. D.
Stewart, dan K. N. Whetstone, mengamati bahwa pada Archaeopteryx dan
burung sejenis lainnya, terdapat gigi yang tidak bergerigi, bagian bawahnya
menyempit, dan akarnya melebar. Sedangkan pada dinosaurus theropoda, yang
dinyatakan sebagai nenek moyang burung, terdapat gigi yang bergerigi dan
berakar lurus.33 Para
peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki Archaeopteryx dengan
dinosaurus. Dilaporkan bahwa tak ada kesamaan antara keduanya.34
Penelitian para
ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M. K. Hecht, dan A. D. Walker, telah
mengungkapkan adanya salah tafsir pada pernyataan John Ostrom – ahli terkemuka
di bidang ini, yang berpendapat bahwa Archaeopteryx berevolusi dari
dinosaurus – serta ahli lainnya yang melihat kesamaan antara tungkai kaki Archaeopteryx
dan dinosaurus.35 Sebagai
contohnya, A. D. Walker telah melakukan analisis bagian telinga Archaeopteryx,
dan menemukan bahwa keadaannya adalah amat serupa dengan burung modern. 36
Dalam bukunya, Icons
of Evolution, ahli biologi Amerika Jonathan Wells berkomentar bahwa Archaeopteryx
telah dijadikan sebuah lambang penting dari teori evolusi. Padahal, bukti-bukti
menunjukkan bahwa makhluk tersebut bukanlah nenek moyang primitif dari burung.
Menurut Wells, salah satu buktinya adalah dinosaurus theropoda – yang dianggap
sebagai nenek moyang Archaeopteryx – sebenarnya lebih muda daripada Archaeopteryx:
“Reptil berkaki dua yang berlari di muka bumi, dan memiliki ciri-ciri yang
diperkirakan terdapat pada nenek moyang Archaeopteryx, baru muncul
sesudahnya.”37
Semua penemuan
ini menjadi pertanda bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai transisi,
melainkan hanya sejenis burung yang dapat digolongkan sebagai “burung bergigi”.
Menghubungkan makhluk ini dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidak absah.
Dalam artikel berjudul “The Demise of the ‘Birds Are Dinosaurs’ Theory”
(Gugurnya Teori “Burung adalah Dinosaurus”), ahli biologi Amerika Richard L.
Deem menulis tentang pernyataan evolusi burung-dinosaurus dan Archaeopteryx:
Hasil penelitian
terakhir menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari digit
(bakal jari –terj.) I, II, dan III, sedangkan sayap burung, walaupun
strukturnya tampak mirip, berasal dari digit II, III, dan IV… Terdapat sejumlah
kesulitan lain yang mengganjal teori “burung adalah dinosaurus” ini. Tungkai
depan theropoda jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada
tungkai sayap Archaeopteryx. “Bakal sayap” yang kecil pada theropoda
tidaklah begitu meyakinkan, terutama mengingat tubuh dinosaurus tersebut cukup
berat. Hewan theropoda umumnya tidak memiliki tulang pergelangan tangan berbentuk sabit, dan memiliki
sejumlah bagian penyusun pergelangan yang tidak memiliki homologi dengan tulang-tulang
Archaeopteryx. Selain itu, hampir pada seluruh hewan theropoda, saraf VI
keluar dari tempurung otak melalui samping, bersama-sama beberapa saraf
lainnya; sedangkan pada burung, saraf VI keluar dari depan tempurung otak,
melalui lubangnya tersendiri. Di samping itu, terdapat pula masalah kecil:
sebagian besar jenis theropoda muncul setelah Archaeopteryx. 38
Sekali lagi,
fakta-fakta tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Archaeopteryx maupun
burung-burung purba lainnya yang sejenis bukanlah makhluk peralihan. Catatan fosil tidak menunjukkan bahwa
berbagai spesies burung mengalami evolusi dari satu jenis ke jenis lainnya.
Sebaliknya, catatan fosil membuktikan, burung-burung jenis modern di masa kini
dan beberapa jenis burung purba seperti Archaeopteryx pernah hidup dalam
satu zaman. Memang benar bahwa sebagian dari burung purba seperti Archaeopteryx
dan Confuciusornis telah punah, tetapi fakta bahwa hanya sebagian saja
dari spesies-spesies yang dulu pernah hidup bisa bertahan hingga masa kini
tidak berarti dengan sendirnya mendukung teori evolusi.
Bukti Terbaru: Kajian atas Burung Unta
menggugurkan Cerita Burung-Dino
Pukulan baru bagi
pernyataan teori “burung berevolusi dari dinosaurus” datang dari penelitian
embriologi burung unta. Dr. Alan Feduccia dan Dr. Julie Nowicki dari
Universitas North Carolina di Chapel Hill, telah meneliti beberapa butir telur
burung unta yang hidup, dan lagi-lagi menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada
kaitan evolusi antara burung dan dinosaurus. Sebuah portal ilmiah bernama
EurekAlert, yang dikelola oleh American Association for the Advancement of
Science, (AAAS) melaporkan:
Dr. Alan Feduccia dan
Dr. Julie Nowicki dari Universitas North Carolina (UNC) di Chapel Hill… membuka
beberapa butir telur burung unta yang hidup, dan menemukan hal yang mereka
yakini sebagai bukti bahwa burung tak mungkin merupakan keturunan dinosaurus…
Apa pun yang menjadi nenek
moyang unggas di masa lalu, makhluk it pastilah berjari lima,
dan bukan tangan berjari tiga seperti dinosaurus theropoda,” kata Feduccia … “Para ilmuwan sepakat, bahwa dinosaurus memperoleh tangan
dengan jari kesatu, kedua dan ketiga… Penelitian kami atas embrio burung unta
menunjukkan secara meyakinkan bahwa pada unggas, yang berkembang hanyalah jari
kedua, ketiga dan keempat, yang pada manusia setara dengan jari telunjuk, jari
tengah dan jari manis, dan kami punya foto-foto sebagai buktinya,” kata
Feduccia, dosen dan mantan ketua jurusan biologi di UNC. “Ini memunculkan masalah
baru bagi mereka yang bersikeras menyatakan bahwa dinosaurus adalah nenek
moyang dari burung modern. Sebagai contohnya, bagaimana ‘tangan’ unggas yang
berjari kedua, ketiga dan keempat, berevolusi jadi jari kesatu, kedua dan
ketiga? Ini dapat dikatakan mustahil.“39
Dalam laporan yang sama, Dr. Feduccia
juga memberi ulasan penting atas ketidakabsahan – serta kedangkalan – teori
“burung berevolusi dari dinosaurus”:
“Terdapat permasalahan-permasalahan
yang mustahil dipecahkan dengan teori itu,” katanya [Dr. Feduccia]. “Selain
hasil penelitian kami, terdapat juga masalah penentuan zaman. Makhluk yang
sekilas mirip dinosaurus-burung itu hidup sekitar 25 juta hingga 80 juta tahun
setelah munculnya burung tertua, yaitu 150 juta tahun yang silam.”
“Jika seseorang melihat kerangka ayam dan
kerangka dinosaurus dengan menggunakan teropong, keduanya akan tampak serupa.
Tetapi, pemeriksaan yang lebih dekat dan teliti mengungkapkan banyak
perbedaan,” kata Feduccia. “Dinosaurus theropoda, misalnya, memiliki gigi yang bergerigi
dan melengkung. Tetapi burung-burung yang ada pertama kali mempunyai gigi
lurus, tak bergerigi, dan menyerupai paku. Kedua jenis hewan
ini juga berbeda dalam proses pertumbuhan dan pergantian gigi.”40
Bukti ini
mengungkapkan, bahwa “dino-bird” (burung-dinosaurus) hanyalah sekadar
lambang atau ikon Darwinisme:
sebuah mitos yang dipertahankan hanya demi keyakinan dogmatis atas teori
tersebut.
Fosil burung-dinosaurus palsu ciptaan kaum evolusionis
Dengan runtuhnya
pernyataan evolusionis dalam hal fosil burung purba Archaeopteryx, teori
evolusi kini menghadapi jalan buntu mengenai asal-usul burung. Karena itu,
sebagian kaum evolusionis terpaksa menggunakan cara klasik – pemalsuan. Di
tahun 1990-an, beberapa kali diberitakan kepada masyarakat bahwa “fosil makhluk
setengah-burung dan setengah-dinosaurus telah ditemukan.” Media massa
evolusionis memasang gambar-gambar makhluk yang disebut “burung dinosaurus” ini
dan sebuah kampanye ke seluruh dunia pun dilancarkan. Tetapi, segera diketahui bahwa
kampanye ini didasarkan pada kontradiksi dan pemalsuan.
Tokoh pertama
dalam kampanye ini adalah Sinosauropteryx, seekor dinosaurus yang
ditemukan di Cina pada tahun 1996. Fosil itu diperkenalkan ke seluruh dunia sebagai “dinosaurus
berbulu burung”, dan ditampilkan sebagai berita utama. Akan tetapi, pengkajian
terperinci di bulan-bulan berikutnya mengungkapkan bahwa struktur yang digembar-gemborkan
oleh kaum evolusionis sebagai “bulu burung” sebenarnya adalah bukan bulu
burung.
Inilah penyajian berita itu dalam
artikel berjudul Plucking the Feathered Dinosaur dalam jurnal Science:
Tepat satu tahun silam, para ahli
paleontologi sibuk memperbincangkan foto yang disebut “dinosaurus berbulu
burung”, yang diedarkan di ruang pertemuan tahunan Perhimpunan Paleontologi
Vertebrata. Spesimen Sinosauropteryx dari Formasi Yixian di negeri Cina menempati
halaman depan The New York Times, dan dianggap oleh sebagian kalangan
sebagai bukti bahwa dinosaurus merupakan asal-usul dari burung. Tapi pada
pertemuan paleontologi vertebrata tahun ini, di Chicago bulan lalu,
kesimpulannya agak lain: Struktur itu bukanlah bulu burung modern, kata sekitar
selusin ahli paleontologi Barat yang telah menyaksikan spesimen itu … ahli
paleontologi Larry Martin dari Universitas Kansas, Lawrence, berpendapat bahwa
struktur tersebut adalah serat kolagen yang terurai lepas di bawah kulit –
jadi, tak ada kaitannya sama sekali dengan burung.41
Satu lagi hiruk pikuk “burung-dino” membahana
di tahun 1999. Satu lagi fosil yang ditemukan di negeri Cina ditampilkan
sebagai “bukti utama evolusi”. Majalah National Geographic, sumber kampanye
ini, telah membuat dan mengedarkan gambar khayal “dinosaurus berbulu burung”
berdasarkan rekaan fosil itu. Di beberapa negara, gambar itu menjadi berita
utama. Spesies yang dikatakan hidup 125 juta tahun yang lalu ini, segera diberi
nama ilmiah Archaeoraptor liaoningensis.
Namun, fosil itu
adalah palsu dan disusun secara lihai dari lima buah spesimen terpisah. Setahun
kemudian, sekelompok peneliti, tiga diantaranya ahli paleontologi, membuktikan
pemalsuan itu dengan bantuan tomografi komputer sinar-X. Burung-dino itu adalah
hasil rekayasa evolusionis Cina. Beberapa orang amatir negeri Cina membentuk
burung-dino itu dari 88 buah tulang dan batu dengan bantuan lem dan semen.
Penelitian menunjukkan, Archaeoraptor ini dibentuk dengan menggunakan
bagian depan kerangka burung purba, dan tubuh serta ekornya dibentuk dari
tulang empat spesimen yang berbeda. Artikel dalam jurnal ilmiah Nature
menjelaskan pemalsuan itu sebagaimana berikut:
Fosil Archaeoraptor
diumumkan sebagai “mata rantai yang hilang” serta dianggap sebagai bukti
terkuat yang mungkin, setelah Archaeopteryx, yang membuktikan bahwa
unggas memang hasil evolusi dari beberapa jenis dinosaurus pemakan daging.
Tetapi, Archaeoraptor terungkap sebagai sebuah pemalsuan, yang berupa
gabungan sejumlah tulang yang berasal dari burung primitif dan seekor dinosaurus
dromaeosaurid yang tidak bisa terbang… Spesimen Archaeoraptor,
yang dilaporkan sebagai hasil koleksi dari Formasi Jiufotang Kretasea Awal di
Liaoning, diselundupkan dari negeri Cina dan lalu dijual di Amerika Serikat di
pasar komersial… Kami simpulkan, bahwa Archaeoraptor terdiri dari dua
spesies atau lebih, dan disusun setidaknya dari dua, mungkin lima, spesimen
yang berbeda… 42
Jadi, bagaimana
mungkin National Geographic bisa menyajikan pemalsuan ilmiah
besar-besaran ke seluruh dunia sebagai “bukti utama kebenaran evolusi”?
Jawabannya terselubung dalam khayalan evolusioner di kalangan redaksi majalah
itu. National Geographic secara membabi-buta mendukung Darwinisme, dan
tak ragu menggunakan alat propaganda apa pun yang dianggapnya mendukung teori
itu. Akhirnya majalah ini tersangkut dalam “skandal manusia Piltdown” kedua.
Para ilmuwan
evolusionis juga menyadari sikap fanatik National Geographic. Dr. Storrs
L. Olson, kepala Departemen Ornitologi di Smithsonian Institute yang
ternama, mengumumkan bahwa sebelumnya ia telah mengingatkan bahwa fosil itu
palsu. Akan tetapi, para eksekutif majalah itu tak menghiraukannya. Dalam
suratnya untuk Peter Raven dari National Geographic, Olson menulis:
Sebelum terbitnya
artikel “Dinosaurus Memperoleh Sayap” dalam majalah National Geographic
edisi Juli 1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang
saya ke National Geographic Society agar melihat-lihat foto fosil-fosil
Cina serta memberi komentar atas ceritanya. Saat itu, saya berupaya menekankan
fakta yang mendukung kuat sejumlah sudut pandang alternatif yang ada selain
dari yang hendak disajikan National Geographic. Akan tetapi, akhirnya telah
menjadi jelas di hadapan saya bahwa National Geographic tidak tertarik
pada apa pun selain dogma yang ada, yaitu burung adalah hasil evolusi
dinosaurus.43
Dalam pernyataan
di USA Today, Olson berkata, “Masalahnya
adalah, saat itu fosil tersebut telah diketahui oleh National Geographic sebagai
palsu, tetapi informasi itu tidak diungkapkan.”44 Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa National
Geographic mempertahankan pemalsuan itu, walaupun tahu bahwa fosil yang
sedang diberitakan olehnya sebagai bukti evolusi adalah palsu.
Harus dijelaskan
di sini, bahwa tindakan National Geographic bukanlah pemalsuan pertama
demi mempertahankan teori evolusi. Banyak kejadian serupa sesudah teori itu
pertama kali diajukan. Ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel, membuat gambar
embrio yang palsu untuk mendukung Darwin. Para evolusionis Inggris memasang
rahang orang utan pada tengkorak kepala manusia, dan selama 40 tahun
memamerkannya di British Museum sebagai “manusia Piltdown, bukti terbesar
kebenaran evolusi.” Para evolusionis Amerika menampilkan “manusia Nebraska”
dari sebuah gigi babi. Di seluruh dunia, gambar palsu yang disebut-sebut
sebagai “rekonstruksi”, yang sebenarnya tidak pernah ada, telah dianggap
sebagai “makhluk primitif” atau “manusia kera”.
Singkat kata,
kaum evolusionis telah mengulangi metode pemalsuan kasus manusia Piltdown.
Mereka menciptakan sendiri bentuk peralihan yang tidak mampu mereka temukan.
Dalam sejarah, peristiwa ini menunjukkan betapa propaganda internasional telah
menipu demi teori evolusi, dan para evolusionis bersedia melakukan segala macam
dusta demi mempertahankannya.
8
PEMALSUAN ILMIAH APAKAH YANG MENJADI DASAR BAGI MITOS
“EMBRIO MANUSIA MEMILIKI INSANG”?
Tesis yang
menyatakan bahwa makhluk hidup melalui berbagai tahapan di dalam rahim induknya,
yang dapat dianggap sebagai bukti evolusi, menempati kedudukan istimewa di
antara pernyataan-pernyataan tanpa bukti dari teori evolusi. Hal ini
dikarenakan tesis ini, yang dikenal sebagai “rekapitulasi“dalam literatur
evolusi, lebih dari sekedar penipuan ilmiah: ini adalah pemalsuan ilmiah.
Takhayul rekapitulasi Haeckel
Istilah “rekapitulasi” adalah
ringkasan dari pernyataan “ontogeni merekapitulasi filogeni”, yang diajukan
oleh ahli biologi evolusioner, Ernst Haeckel di akhir abad kesembilan belas. Teori
Haeckel ini menyatakan bahwa perkembangan embrio mengulangi proses evolusi yang
dialami oleh “nenek moyang” mereka di zaman purba. Menurut teori ini, embrio
manusia dalam rahim sang ibu pada awalnya menampilkan ciri-ciri fisik seekor
ikan, lalu reptil, dan terakhir manusia. Pendapat ini mencetuskan pernyataan
bahwa embrio memiliki “insang“ dalam tahap pertumbuhannya.
Akan tetapi, ini semua hanyalah
takhayul. Perkembangan ilmiah yang telah dicapai, sejak rekapitulasi
didengungkan untuk pertama kali, telah memungkinkan diujinya keabsaan
pernyataan tersebut. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa doktrin rekapitulasi tidak memiliki landasan apa pun selain khayalan dan penafsiran
keliru yang sengaja dilakukan kaum evolusionis.
Kini telah diketahui bahwa apa
yang disebut-sebut “insang” itu, yang tumbuh pada tahap awal perkembangan
embrio manusia, sebenarnya adalah fase awal dari saluran telinga tengah,
kelenjar timus dan paratiroid. Bagian embrio yang diserupakan sebagai “kantung
kuning telur” ternyata adalah kantung yang berfungsi untuk menghasilkan darah
bayi. Bagian yang disebut-sebut sebagai “ekor” oleh Haeckel dan pengikutnya,
sebenarnya adalah tulang belakang yang tampak mirip ekor karena terbentuk lebih
dulu daripada tungkai kaki.
Inilah fakta-fakta yang diakui
secara luas dalam dunia ilmiah, dan bahkan kaum evolusionis sendiri
mengakuinya. George Gaylord Simpson, salah satu pendiri neo-Darwinisme,
menulis:
Haeckel salah menyatakan prinsip
evolusioner yang dipakai. Sekarang dengan mantap telah dikukuhkan bahwa
ontogeni tidak mengulangi filogeni. 45
Berikut ini tercantum dalam
artikel New Scientist
tertanggal 16 Oktober 1999:
[Haeckel] menamakan ini sebagai hukum
biogenetika, dan gagasan ini kemudian secara luas disebut sebagai rekapitulasi.
Faktanya, hukum Haeckel yang tegas itu tak lama kemudian terbukti keliru.
Misalnya, embrio manusia tahap awal tidak pernah memiliki insang yang
berfungsi seperti ikan, dan tak pernah melewati tahapan-tahapan yang menyerupai
kera atau reptil dewasa. 46
Dalam artikel terbitan American Scientist, kita
membaca:
Sungguh, hukum biogenetika itu
sudah benar-benar mati. Hukum ini
akhirnya dihilangkan dari buku teks biologi pada tahun lima puluhan. Sebagai sebuah pokok pengkajian
teoritis yang serius, hukum ini ini sudah punah di tahun dua puluhan… 47
Sebagaimana telah kita saksikan, sejak pertama kali
muncul, berbagai perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa rekapitulasi sama
sekali tidak memiliki dasar-dasar ilmiah. Walaupun demikian, berbagai
perkembangan yang sama tersebut menunjukkan bahwa rekapitulasi bukan sekedar
suatu penipuan ilmiah, melainkan sebuah “pemalsuan” murni.
Gambar palsu Haeckel
Ernst Haeckel, yang pertama kali mengajukan gagasan
rekapitulasi, telah menerbitkan sejumlah gambar untuk mendukung teorinya. Haeckel
membuat gambar-gambar yang telah dipalsukan, untuk menampilkan kesan bahwa
embrio manusia dan ikan memiliki kemiripan! Ketika dusta ini terungkap, dia
hanya dapat membela diri dengan cara berkata bahwa para evolusionis lain telah
melakukan kesalahan serupa:
Setelah pengakuan yang memalukan atas “pemalsuan” ini,
saya sepatutnya menganggap diri saya tercela dan tak berguna, seandainya saya
tidak merasa terhibur oleh adanya ratusan “orang hukuman” yang senasib dengan
saya, di antaranya terdapat para pengamat paling terpercaya dan para ahli
biologi paling terhormat. Kebanyakan dari semua gambar yang ada pada buku-buku
pelajaran, makalah dan jurnal biologi terbaik, hingga tingkat yang sama,
menanggung dakwaan “pemalsuan”, karena semua gambar itu tidak pasti, banyak
sedikitnya sudah diubah-ubah, diatur dan dirancang. 48
Jurnal ilmiah Science edisi 5 September, 1997,
menerbitkan artikel yang mengungkapkan bahwa gambar embrio Haeckel adalah hasil
penipuan. Tuisan itu, yang diberi judul “Haeckel’s Embryos: Fraud
Rediscovered” (Embrio-Embrio Haeckel: Pemalsuan yang Terungkap Lagi) menyatakan
berikut ini:
Kesan yang diberikan [oleh gambar-gambar Haeckel],
yang menyatakan bahwa semua embrio itu persis sama, adalah salah, ungkap
Michael Richardson, seorang ahli embriologi di Fakultas Kedokteran St. George’s di
London… Demikianlah, ia dan rekan-rekannya melakukan sendiri suatu penelitian
pembandingan, memeriksa ulang dan memotret beberapa embrio, yang berasal dari
spesies dan umur yang kira-kira setara dengan gambar Haeckel. Nyatalah bahwa semua
embrio itu “seringkali tampak benar-benar berbeda luar biasa”, lapor Richardson dalam Anatomy
and Embryology, terbitan bulan Agustus.49
Kemudian, dalam artikel yang sama
ini, informasi berikut ini terungkap:
Haeckel tidak saja menambah dan
mengurangi sejumlah bagian, lapor Richardson dan rekan-rekannya, tetapi ia juga
memalsukan ukurannya untuk melebih-lebihkan kesamaan di antara spesies, meskipun
terdapat perbedaan ukuran sebesar 10 kali. Terlebih, Haeckel menyamarkan
perbedaan dengan cara tidak menyebutkan nama spesies dalam banyak kasus,
seakan-akan satu contoh saja sudah benar-benar cukup untuk mewakili satu kelompok
hewan secara keseluruhan. Nyatanya, Richardson dan rekan-rekannya mencermati,
bahkan embrio hewan dari jenis-jenis yang erat hubungannya sekali pun, misalnya
ikan, agak berlainan dalam rupa serta jalur perkembangannya. “[Gambar-gambar
Haeckel] ini tampaknya sedang menjadi salah satu pemalsuan paling terkenal
dalam biologi,” Richardson menyimpulkan. 50
Patut dicatat, walaupun pemalsuan
Haeckel ini sudah terungkap tahun 1901, selama hampir satu abad gambar tersebut
masih terus ditampilkan dalam berbagai terbitan evolusionis, seakan-akan
merupakan hukum ilmiah yang sudah terbukti. Dengan mengedepankan ideologi
mereka daripada ilmu pengetahuan, mereka yang menganut keyakinan evolusionis
secara tak sadar telah menyatakan pesan penting: Evolusi bukanlah ilmu
pengetahuan, melainkan dogma yang terus mereka coba pertahankan, walaupun fakta
ilmiah membuktikan sebaliknya.
9
MENGAPA ANGGAPAN “KLONING MEMBUKTIKAN KEBENARAN EVOLUSI” ADALAH SUATU
TIPUAN?
Kemajuan ilmiah seperti kloning
tak ada kaitannya sama sekali dengan evolusi. Oleh sebab itu, pertanyaan
“apakah kemajuan teknologi seperti kloning membuktikan kebenaran evolusi?”
sebenarnya mengungkapkan adanya propaganda murahan yang dilakukan kaum
evolusionis agar masyarakat menerima teori ini. Kloning tidak memiliki keterkaitan dengan
teori evolusi, karenanya bukanlah menjadi bidang bahasan
evolusionis profesional. Walaupun demikian, sebagian pendukung fanatik evolusi
yang bersedia melakukan apa saja, terutama dari kalangan media massa, mencoba
menjadikan masalah yang sama sekali tidak berkaitan seperti kloning, sebagai
bahan propaganda evolusi.
Apa sebenarnya arti melakukan kloning
pada makhluk hidup?
DNA makhluk hidup yang akan
digandakan (dibuat tiruannya), diambil dari sel tubuh bagian mana saja dari
organisme yang dimaksud. DNA tersebut lalu diletakkan di dalam sel telur
makhluk hidup lain dari spesies yang sama. Segera setelah itu, telur diberikan
kejutan (listrik – penerj.) sehingga telur tersebut langsung mulai membelah
diri. Embrio yang dihasilkan kemudian diletakkan dalam rahim suatu makhluk
hidup, tempat di mana embrio tersebut akan terus membelah diri. Para ilmuwan
lalu menantikan perkembangan dan kelahiran embrio tersebut.
Mengapa kloning tidak memiliki kaitan
apa pun dengan evolusi?
Kloning dan evolusi adalah dua
konsep yang amat berbeda. Teori evolusi dibangun atas dasar anggapan yang
menyatakan bahwa materi tak-hidup berubah menjadi materi hidup secara
kebetulan. (Tak ada bukti ilmiah sedikit pun bahwa hal ini dapat terjadi.)
Kloning, sebaliknya, adalah menghasilkan salinan makhluk hidup dengan
menggunakan bahan genetis dari sel makhluk itu sendiri. Organisme baru
itu berasal dari satu sel tunggal. Proses biologis dipindahkan ke laboratorium
dan berulang di sana. Dengan kata lain, tak ada apa pun dalam proses semacam
itu yang terjadi secara kebetulan – yang merupakan dasar teori evolusi – juga
bukan “materi tak-hidup yang menjadi hidup”.
Proses kloning
sama sekali bukanlah bukti evolusi. Namun sebaliknya, adalah bukti suatu hukum
biologi yang sama sekali meniadakan evolusi. Hukum tersebut adalah kaidah
terkenal yang menyatakan bahwa “kehidupan hanya dapat berasal dari kehidupan”,
yang dikemukakan oleh ilmuwan ternama Louis Pasteur di akhir abad kesembilan
belas. Digunakannya kloning sebagai bukti evolusi, meskipun kenyataan
menunjukkan sebaliknya, menunjukkan adanya penipuan yang dilakukan media massa.
Kemajuan dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan selama 30 tahun terakhir menunjukkan
kemunculan makhluk hidup tidak bisa dijelaskan sebagai peristiwa kebetulan.
Kesalahan ilmiah evolusionis, serta pernyataan sepihak, telah didokumentasi
dengan baik, dan teori evolusi tidak bisa dipertahankan dalam lingkup ilmiah. Fakta ini telah memaksa
para evolusionis untuk mencari penyelesaian di bidang lain. Oleh sebab itu
dalam beberapa tahun terakhir, secara fanatik, kemajuan ilmiah seperti kloning
dan bayi tabung telah digunakan sebagai bukti evolusi.
Kaum evolusionis tidak lagi dapat
berbicara kepada masyarakat atas nama ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan
mereka berlindung di balik kesenjangan pemahaman ilmiah yang ada di masyarakat.
Mereka berharap cara ini akan memperpanjang masa berlaku teori evolusi,
meskipun hal ini hanya akan menyebabkan teori ini lebih terpuruk lagi. Seperti
halnya kemajuan ilmiah lainnya, kloning adalah kemajuan ilmiah teramat penting
dan menyingkapkan bukti yang mengungkapkan fakta penciptaan mahluk hidup.
Pemahaman Keliru Lainnya tentang
Kloning
Salah paham lain yang sering
terjadi di kalangan orang awam adalah kloning dapat “menciptakan manusia”. Akan
tetapi, kloning tidak dapat diartikan demikian. Kloning merupakan penambahan
informasi genetis yang telah tersedia, ke dalam mekanisme reproduksi yang juga
telah ada sebelumnya. Dalam proses ini tidak terjadi penciptaan mekanisme
ataupun informasi genetis yang baru. Informasi genetis diambil dari seseorang
yang sudah ada sebelumnya dan kemudian disisipkan ke dalam rahim seorang
wanita.Hal ini menyebabkan anak yang nantinya dilahirkan merupakan “kembar
identik” dari orang yang menjadi sumber informasi genetisnya.
Banyak orang, yang tidak
sepenuhnya memahami kloning, memiliki gagasan-gagasan yang tidak masuk akal.
Sebagai contoh, mereka membayangkan sebuah sel yang diambil dari seorang lelaki
berusia 30 tahun, dapat menjadi seorang lelaki berusia 30 tahun pula dalam hari
yang sama. Hal semacam ini hanya ada di dalam fiksi ilmiah, dan tidak mungkin,
serta takkan pernah dapat terlaksana. Kloning pada dasarnya adalah menyebabkan
lahirnya seorang “kembar identik” melalui metoda alamiah (dengan kata lain
melalui rahim seorang ibu). Hal ini tidak ada kaitannya dengan teori evoulisi,
ataupun dengan konsep “menciptakan manusia”.
Menciptakan manusia atau makhluk
hidup lain – dengan kata lain, membuat sesuatu yang tadinya tak ada menjadi ada
– adalah kekuasaan Allah semata. Kemajuan ilmiah menegaskan hal ini dengan
menunjukkan bahwa penciptaan tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Hal ini
dinyatakan dalam sebuah ayat Al Qur’an:
Allah Pencipta langit dan bumi,
dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah" Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah,
2:117)
10
MUNGKINKAH MAKHLUK HIDUP BERASAL DARI LUAR ANGKASA?
Ketika Darwin pertama kali
mengajukan teorinya di pertengahan abad kesembilan belas, ia tak pernah
menyebutkan bagaimana awal mula makhluk hidup terjadi – atau dengan kata lain,
asal usul sel hidup pertama. Para ilmuwan di awal abad kedua puluh, yang
meneliti asal usul makhluk hidup, mulai menyadari bahwa teori ini tidak absah.
Struktur yang kompleks dan sempurna pada makhluk hidup memberikan kesempatan
bagi banyak ilmuwan untuk memahami kebenaran penciptaan. Perhitungan matematis,
percobaan serta pengamatan ilmiah menunjukkan bahwa makhluk hidup tak mungkin
merupakan “hasil kebetulan”, seperti yang dinyatakan oleh teori evolusi.
Seiring dengan runtuhnya
pernyataan bahwa peristiwa kebetulan merupakan penyebab terjadinya kehidupan,
serta semakin disadarinya bahwa kehidupan ini “direncanakan”, beberapa ilmuwan
mulai mencari asal usul makhluk hidup di luar angkasa. Ilmuwan paling terkenal
yang mencetuskan hal ini adalah Fred Hoyle dan Chandra Wickramasinghe. Keduanya
membuat skenario yang isinya menyatakan adanya suatu kekuatan yang “menyemai
benih” kehidupan di angkasa. Menurut skenario ini, benih-benih kehidupan
tersebut dibawa mengarungi kehampaan angkasa oleh awan-awan gas atau debu, atau
mungkin oleh asteroid, dan akhirnya sampai di bumi. Dan makhluk hidup pun
dimulai di sini.
Pemenang Hadiah Nobel, Francis
Crick, yang bersama James Watson menemukan struktur heliks ganda (pilinan ganda) pada DNA, adalah salah satu dari
mereka yang mencari asal usul makhluk hidup di luar angkasa. Crick sadar bahwa
tak mungkin hidup bermula secara kebetulan, tetapi ia menyatakan bahwa
kehidupan di bumi dimulai oleh kekuatan cerdas “yang berasal dari angkasa
luar”.
Seperti telah kita lihat, gagasan
bahwa kehidupan berasal dari luar angkasa telah mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan
ternama. Masalah ini bahkan dibahas dalam tulisan dan debat tentang asal usul
kehidupan. Pada dasarnya, gagasan mengenai pencarian kehidupan di angkasa luar
dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertentangan ilmiah
Kunci pengujian atas pernyataan
bahwa “kehidupan bermula di angkasa luar” terletak dalam penelitian
meteor-meteor yang mencapai Bumi serta gumpalan gas dan debu di angkasa luar.
Hingga saat ini belum ditemukan bukti akan adanya benda angkasa yang mengandung
makhluk luar bumi yang akhirnya memulai kehidupan di Bumi. Selain itu, hingga
saat ini pun belum ada penelitian yang telah mengungkapkan adanya makromolekul
kompleks seperti itu ditemukan dalam mahluk hidup.
Lebih jauh lagi, zat yang
terdapat dalam meteorit tidak bersifat asimetris, seperti seharusnya
makromolekul yang dimiliki oleh makhluk hidup. Misalnya, secara teoritis, asam
amino (bahan dasar penyusun protein; protein adalah bahan dasar penyusun
makhluk hidup) bentuk levo dan dekstro (“isomer optis”) seharusnya
terdapat dalam jumlah yang kurang-lebih setara. Akan tetapi, dalam protein,
hanya terdapat asam amino levo. Distribusi yang asimetris ini tidak
terdapat dalam molekul organik kecil (molekul berdasar karbon yang terdapat
pada makhluk hidup) yang ditemukan dalam meteorit. Yang terakhir ini
terdapat dalam bentuk levo dan dekstro.51
Hal ini bukanlah
hambatan terakhir bagi pernyataan bahwa zat dan benda luar angkasa lah yang
memulai kehidupan di Bumi. Mereka yang setuju dengan pendapat ini harus mampu
menjelaskan, mengapa proses seperti itu tidak terjadi di masa sekarang, padahal
Bumi masih dihujani berbagai meteorit hingga saat ini. Kajian atas meteorit
tersebut tidak mengungkapkan “penyemaian benih” apa pun yang dapat mendukung
pendapat ini.
Pertanyaan lainnya
adalah: kalaupun memang makhluk hidup dibentuk oleh sebuah kecerdasan di
angkasa luar, yang lalu tiba di Bumi, lalu bagaimana cara terbentuknya jutaan
spesies di Bumi? Inilah permasalahan besar yang harus dihadapi oleh pendapat
ini.
Di samping semua
kendala tadi, di alam semesta ini belum pernah ditemukan jejak peradaban atau
makhluk hidup, yang kemungkinan telah memulai kehidupan di Bumi. Bahkan
pengamatan di bidang astronomi, yang telah mengalami kemajuan sangat pesat
selama 30 tahun terakhir ini, tidak memberikan petunjuk apa pun tentang adanya
peradaban seperti itu.
Ada apa di balik pendapat tentang asal usul
dari angkasa luar (ekstra-terestrial)?
Sebagaimana telah
kita pahami, teori yang menyatakan bahwa kehidupan di Bumi bermula dari angkasa
luar ini tidak memiliki dasar ilmiah yang mendukungnya. Tidak ada
penemuan-penemuan ilmiah yang membenarkan atau mendukungnya. Akan tetapi,
ketika para ilmuwan yang mengusulkan gagasan ini mulai melihat ke arah
tersebut, mereka melakukannya karena mereka telah merasakan suatu kebenaran.
Kebenaran itu
adalah: sebuah teori yang menyatakan bahwa makhluk hidup di Bumi tercipta
sebagai hasil ketidaksengajaan tidak dapat dipertahankan lagi. Telah disadari
bahwa kerumitan yang tersingkap pada makhluk-makhluk hidup di Bumi hanya
mungkin diciptakan oleh perancangan cerdas. Nyatanya, bidang-bidang keahlian
dari para ilmuwan pencari asal usul kehidupan di angkasa luar ini menjelaskan
penolakan mereka terhadap alur pikir teori evolusi.
Keduanya adalah
ilmuwan kelas dunia: Fred Hoyle adalah ahli astronomi dan bio-matematika,
sedangkan Francis Crick adalah ahli biologi molekuler.
Satu hal penting
harus dipertimbangkan adalah para ilmuwan yang mengacu pada angkasa luar untuk
menemukan asal usul kehidupan itu tidak menghasilkan penjelasan baru tentang
masalah tersebut. Ilmuwan seperti Hoyle, Wickramasinghe, dan Crick, mulai
mencari asal usul di luar angkasa karena mereka sadar bahwa kehidupan tidak
mungkin dihasilkan oleh peristiwa kebetulan. Karena makhluk hidup di Bumi mustahil
tercipta secara kebetulan, mereka harus menerima adanya sumber rancangan cerdas
di angkasa luar.
Akan tetapi,
teori yang mereka ajukan (berkenaan dengan asal usul rancangan cerdas ini)
bersifat kontradiktif dan tak bermakna. Fisika dan astronomi modern
mengungkapkan bahwa alam semesta ini berasal dari ledakan besar 12–15 miliar
tahun yang silam, yang dikenal dengan nama teori Big Bang atau “Dentuman
Besar”. Semua materi di alam semesta ini berasal dari ledakan itu. Oleh karena
itu, gagasan mencari asal usul kehidupan dalam makhluk hidup yang berbasis
materi di ruang angkasa, harus disertai penjelasan, bagaimana makhluk hidup itu
bisa tercipta. Hal ini berarti bahwa teori yang diajukan tidaklah memecahkan
masalah, tetapi malah mundur selangkah. (Untuk
keterangan terperinci, baca buku Harun Yahya berjudul The Creation of
Universe dan Timelessness and the Reality of Fate).
Seperti telah kita lihat, pendapat tentang “kehidupan
berasal dari angkasa luar” tidak mendukung evolusi, tetapi merupakan pendapat
yang mengungkapkan kemustahilan teori evolusi, dan menerima bahwa satu-satunya
penjelasan yang masuk akal adalah penciptaan melalui rancangan cerdas. Para ilmuwan yang mendukung pendapat ini, pada awalnya
melakukan analisis yang tepat, tapi lalu menempuh jalur yang salah, sehingga
mengambil langkah konyol untuk mencari asal usul makhluk hidup di angkasa luar.
Jelaslah bahwa gagasan tentang asal mula kehidupan
dari “angkasa luar (ekstra-terestrial)” tidak dapat menjelaskan asal usul
makhluk hidup. Bahkan, bilapun untuk sekejap kita menerima hipotesa adanya
“ekstra-terestrial” ini, tetaplah jelas bahwa tak mungkin makhluk
“ekstra-terestrial” tersebut tercipta secara kebetulan, tapi merupakan hasil
dari rancangan cerdas. (Hal ini disebabkan karena hukum fisika dan kimia adalah
seragam di seluruh semesta ini, jadi tak mungkin hidup muncul secara
kebetulan). Ini menunjukkan bahwa Tuhan, yang melampaui batas materi dan waktu,
dan memiliki kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang tidak terbatas,
telah mencipta alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya.
11
MENGAPA TEORI EVOLUSI
TIDAK DIPERKUKUH OLEH USIA BUMI YANG SUDAH EMPAT MILIAR TAHUN?
Kaum evolusionis mendasarkan skenario mereka pada
pengaruh alam dan kebetulan. Salah satu dari konsep yang paling mereka andalkan
dalam hal ini adalah konsep “waktu yang panjang”. Sebagai contoh, ilmuwan
Jerman, Ernst Haeckel, yang mendukung Darwin,
menyatakan bahwa sebuah sel hidup dapat berasal dari lumpur biasa. Bersamaan dengan ditemukannya struktur
sel hidup yang teramat rumit di abad ke-20, semakin jelaslah ketidakcerdasan
pernyataan Haeckel itu. Tapi, kaum evolusionis terus-menerus menutupi kebenaran
dengan konsep “waktu yang cukup panjang”.
Dengan cara tersebut, mereka berniat
melepaskan diri mereka sendiri dengan melemparkan masalah ke dalam keraguan,
dan bukan menjawab pertanyaan bagaimana makhluk hidup timbul secara kebetulan.
Dengan menampilkan kesan bahwa berlalunya rentang masa yang panjang dapat
menjadi sesuatu yang menguntungkan dari sudut pandang kemunculan makhluk hidup
dan meningkatnya keanekaragaman, mereka mengemukakan faktor waktu sebagai
sesuatu yang selalu menguntungkan. Sebagai contohnya, profesor evolusionis
Turki, Yaman Ors berkata: “Jika Anda ingin menguji kebenaran teori evolusi,
bubuhkan campuran zat yang tepat ke dalam air, tunggulah beberapa juta tahun,
maka anda akan melihat kemunculan beberapa sel.” 52
Pernyataan itu betul-betul tidak masuk akal. Tak ada
bukti bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Munculnya makhluk hidup dari zat
tak-hidup sebenarnya adalah takhayul dari Abad Pertengahan. Di zaman itu,
masyarakat beranggapan bahwa makhluk hidup muncul secara tiba-tiba, disebut
juga sebagai generatio spontanea atau “kemunculan tiba-tiba yang tanpa
disengaja”. Menurut keyakinan masyarakat ini, angsa berasal dari pepohonan,
kambing dari semangka, bahkan berudu berasal dari air yang terbentuk di awan
lalu turun ke bumi sebagai hujan. Di tahun 1600-an, masyarakat percaya bahwa
tikus dapat lahir dari campuran gandum dan sepotong kain kotor, dan bahwa lalat
dapat terbentuk ketika lalat mati dicampur dengan madu.
Namun, Francesco Redi,
ilmuwan Italia, membuktikan bahwa tikus tidaklah berasal dari campuran gandum
dan kain kotor, serta lalat tidak berasal dari campuran lalat mati dengan madu.
Makhluk hidup tidak berasal dari zat tak-hidup, seperti madu atau kain kotor,
melainkan sekadar menjadikan benda-benda itu sebagai perantara. Misalnya,
seekor lalat hidup akan bertelur pada bangkai lalat, dan tak lama kemudian
sejumlah lalat baru pun muncul. Dengan kata lain, kehidupan berasal dari
kehidupan, bukan dari zat atau benda mati. Di abad ke-19, Louis Pasteur,
ilmuwan Prancis, membuktikan bahwa bakteri tidak berasal dari benda mati. Hukum
ini, yaitu “kehidupan hanya berasal dari kehidupan” adalah salah satu dasar
biologi modern.
Mengingat kondisi pada abad ke-17,
adanya keyakinan yang aneh seperti yang telah dibahas di atas dapat kita
maklumi karena pengetahuan para ilmuwan saat itu belumlah memadai. Akan tetapi
di zaman kini, saat ilmu dan teknologi maju pesat, dan berbagai percobaan dan
pengamatan menunjukkan bahwa makhluk hidup mustahil berasal dari zat atau benda
mati, amatlah mengejutkan bila seorang evolusionis seperti Yaman Ors masih juga
mempertahankan pernyataan seperti itu.
Ilmuwan modern telah berulang kali
menunjukkan bahwa hal sedemikian mustahil terjadi. Mereka telah melaksanakan
percobaan-percobaan yang diatur sedemikian rupa, di laboratorium canggih,
menirukan kondisi saat makhluk hidup pertama kali muncul, tapi itu semua
sia-sia.
Apabila atom-atom fosfor, kalium,
magnesium, oksigen, besi, dan karbon, yang semuanya penting bagi makhluk hidup,
digabungkan, yang timbul hanyalah gumpalan zat tak-hidup. Akan tetapi, kaum
evolusionis menyatakan bahwa ada sekumpulan atom yang bergabung dan mengatur
diri sedemikian rupa, dalam jangka waktu tertentu, dalam perbandingan paling
sesuai, di saat dan tempat yang tepat, dengan segala kaitan yang diperlukan.
Selanjutnya mereka nyatakan bahwa hasil pengaturan yang tepat dari atom-atom
tak hidup tersebut, dan dengan semua proses yang berlangsung tanpa gangguan,
muncullah manusia yang mampu melihat, mendengar, bicara, merasakan, tertawa,
bersuka-cita, menderita, merasakan perasaan sakit dan suka cita, tertawa,
mencintai, berbelas kasih, manghayati irama musik, menikmati makanan, membangun
peradaban, serta melakukan penelitian ilmiah.
Akan tetapi, sudah jelas bahwa
walaupun semua persyaratan dan kondisi yang ditetapkan para evolusionis
dipenuhi, serta berjuta-juta tahun sudah berlalu, percobaan seperti itu akan
gagal.
Para evolusionis mencoba menutupi fakta
ini dengan penjelasan tipuan seperti “Segala hal adalah mungkin dengan
berlalunya waktu”. Ketidakabsan pernyataan ini, yang didasarkan penggunaan
“gertak“ di dalam dunia ilmiah, sangatlah jelas. Ketidakabsahan ini dapat dilihat
dengan lebih jelas bila dilihat dari sudut pandang lain. Dalam sebuah contoh
sederhana, mari kita tinjau faktor waktu dalam keadaan yang menguntungkan dan
yang merugikan. Bayangkanlah sebuah perahu kayu di pantai, beserta seorang
kapten yang dari awal memelihara kapal itu, memperbaiki, membersihkan,
mengecatnya. Selama sang kapten tetap berminat pada kapal tersebut, kapal itu
akan tambah menarik, aman dan terawat.
Lalu, mari kita bayangkan kapal
tersebut ditinggalkan. Kali ini, pengaruh matahari, angin, hujan, pasir dan
badai akan menyebabkan kapal itu rusak, lapuk, dan akhirnya terbuang tanpa
guna.
Satu-satunya perbedaan di antara kedua
skenario tadi adalah, pada kasus pertama, ada peristiwa campur-tangan yang
cerdas, ahli, dan sangat berpengaruh. Waktu yang berlalu hanya akan bermanfaat,
apabila dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang cerdas. Jika tidak, waktu akan
berpengaruh merusak, dan bukan memperbaiki atau membangun. Hal ini merupakan
sebuah hukum ilmiah. Hukum entropi, yang dikenal sebagai “Hukum Termodinamika
Kedua”, menyatakan bahwa semua sistem di alam semesta ini menuju ke arah
kehancuran, penguraian, dan pembusukan apabila ditinggalkan begitu saja dalam
kondisi alamiah.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa
panjangnya umur Bumi adalah faktor yang menghancurkan pengetahuan serta
keteraturan, dan menambah kekacauan. Jadi amat bertentangan dengan pendapat
evolusionis. Munculnya sistem yang teratur yang didasarkan pada pengetahuan
hanya dapat terjadi akibat adanya keterlibatan yang cerdas.
Pada saat mendongeng tentang
berubahnya satu spesies menjadi spesies lain, para pendukung evolusi berlindung
di balik tameng “semua itu terjadi dalam jangka waktu teramat panjang”. Dengan
begitu, mereka menyatakan bahwa di masa lalu berbagai hal tersebut terjadi sedemikian
rupa, yang belum pernah dibuktikan oleh percobaan atau pengamatan mana pun.
Walaupun demikian, segala hal di dunia dan alam semesta berjalan mengikuti
hukum yang tetap. Hal ini tidak berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai
contoh, benda jatuh ke muka Bumi akibat gravitasi. Benda tidak akan jatuh ke
atas dengan berjalannya waktu, bahkan dalam waktu bertriliun-triliun tahun
sekalipun. Anak kadal tetaplah kadal. Hal ini terjadi karena informasi genetis
yang diturunkan adalah selalu informasi kadal, dan secara alami tidak ada
informasi tambahan yang bisa ditambahkan. Informasi dapat berkurang ataupun
musnah, tetapi sungguh mustahil sesuatu apa pun dapat ditambahkan. Ini
disebabkan penambahan informasi ke dalam sebuah sistem membutuhkan keterlibatan
dan kendali dari luar yang berpengetahuan dan cerdas. Alam sendiri tidak
memiliki sifat-sifat seperti itu.
Pengulangan yang terjadi dengan
berjalannya waktu, dan fakta bahwa hal ini sering terjadi, tidaklah mengubah
apa pun. Sekalipun bertriliun-triliun tahun sudah berlalu, seekor burung tidak
akan menetas dari telur kadal. Seekor kadal berukuran panjang, atau yang pendek
– yang kuat ataupun yang lemah – akan selalu berupa kadal. Spesies yang berbeda
tidak akan muncul darinya. Konsep “waktu yang sangat panjang“ merupakan sebuah
tipuan yang bertujuan untuk mengeluarkan permasalahan ini dari luar lingkup
percobaan dan pengamatan. Tidak ada bedanya antara 4, 40 atau 400 miliar tahun
berlalu. Sebab tidak ada hukum ataupun kecenderungan alamiah yang dapat merubah
kemustahilan-kemustahilan sebagaimana yang dipaparkan dalam teori evolusi
menjadi hal yang benar-benar mungkin.
12
MENGAPA GIGI GERAHAM
BUNGSU BUKANLAH BUKTI KEBENARAN EVOLUSI?
Salah satu tipuan penting dari teori evolusi adalah
pernyataan yang berkaitan dengan organ vestigial (organ persisaan). Evolusionis
menyatakan bahwa terdapat sejumlah organ dalam makhluk hidup yang kehilangan
fungsinya seiring dengan waktu, dan kemudian lenyap. Dengan berpedoman pada hal
ini, kaum evolusionis mencoba mengirimkan pesan, “Jika tubuh makhluk hidup
adalah hasil penciptaan, maka seharusnya di dalamnya tidak terdapat organ yang
tak berfungsi”.
Naskah terbitan kaum evolusionis di awal abad ke-20
menyatakan bahwa tubuh manusia memiliki sekitar seratus buah organ yang sudah
tidak berguna lagi. Di antaranya adalah usus buntu, tulang ekor, amandel,
kelenjar pineal, telinga bagian luar, kelenjar timus, dan geraham bungsu. Akan
tetapi, ilmu kedokteran telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dasawarsa
setelah itu. Akibatnya, tampaklah bahwa gagasan organ vestigial hanyalah
takhayul. Daftar panjang buatan kaum evolusionis pun berkurang secara tajam.
Kelenjar timus ternyata adalah organ yang menghasilkan sel sistem kekebalan
yang penting, dan kelenjar pineal berfungsi menghasilkan hormon-hormon penting.
Terungkap pula bahwa tulang ekor
berfungsi untuk menopang tulang-tulang sekitar pinggul, dan telinga bagian luar
berfungsi penting dalam mengenali dari arah mana bebunyian berasal. Singkat
kata, terungkap bahwa ketidaktahuan adalah satu-satunya pijakan yang menopang
gagasan tentang “organ vestigial”.
Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali
menunjukkan bahwa konsep organ semacam itu adalah keliru. Namun, sebagian kaum
evolusionis masih memanfaatkan pernyataan ini. Walaupun ilmu kedokteran telah
membuktikan bahwa hampir semua organ itu (yang tadinya disebut-sebut sebagai
“vestigial”) ternyata memiliki fungsinya masing-masing, dugaan evolusi yang
tidak berdasar masih menyelimuti satu atau dua organ.
Salah satu yang paling menonjol adalah geraham bungsu.
Dalam naskah evolusionis masih tercantum anggapan bahwa gigi ini adalah bagian
tubuh manusia yang telah kehilangan semua fungsinya. Sebagai buktinya, kaum
evolusionis menyatakan bahwa gigi-gigi geraham bungsu ini memunculkan masalah
pada sebagian besar orang, dan proses mengunyah tidak terganggu ketika
gigi-gigi tersebut dicabut.
Banyak dokter gigi, karena terpengaruh pernyataan
evolusionis bahwa gigi bungsu tidak berfungsi, telah berpandangan bahwa
pencabutan gigi bungsu sesuatu yang biasa, dan mereka tidak melakukan usaha
pemeliharaan yang sama padanya seperti pada gigi yang lain.53 Akan
tetapi penelitian di tahun-tahun terakhir menunjukkan, gigi bungsu memiliki
fungsi mengunyah, sama seperti gigi lain. Selain itu, penelitian menunjukkan
bahwa anggapan “gigi bungsu mengganggu posisi gigi lain” adalah sama sekali tak
beralasan.54 Sekarang ini kritik ilmiah, tentang bagaimana masalah
gigi bungsu ini bisa diatasi bukan dengan cara pencabutan, semakin meningkat.55
Faktanya, kesepakatan ilmiah menyatakan bahwa gigi geraham bungsu berfungsi
mengunyah, sama dengan gigi lain, dan tidak ada pembenaran ilmiah yang
mendukung keyakinan bahwa gigi geraham bungsu tidak memiliki kegunaan.
Jadi, mengapa gigi geraham bungsu menimbulkan gangguan
pada banyak orang? Berdasarkan penelitian para ahli di bidang ini, permasalahan
gigi bungsu di masyarakat terjadi secara berbeda-beda, tergantung zaman. Kini
diketahui bahwa gangguan gigi bungsu jarang terdapat di masyarakat
pra-industri. Khususnya selama beberapa ratus tahun terakhir ini, manusia lebih
menyukai makanan lunak daripada yang keras, sehingga pertumbuhan rahang manusia
pun terganggu. Akhirnya diketahui, ternyata masalah gigi bungsu berasal dari
gangguan pertumbuhan rahang akibat pola makan.
Diketahui pula, ternyata perilaku makan masyarakat
juga berpengaruh buruk pada gigi lainnya. Sebagai contoh, meningkatnya konsumsi
makanan dengan kadar gula dan asam yang tinggi telah meningkatkan kerusakan
gigi. Tapi, fakta itu tidak menjadikan kita berpikir bahwa semua gigi kita
mengalami “atrofi” (pengecilan atau penyusutan). Hal yang sama juga berlaku
pada gigi geraham bungsu. Masalah pada gigi geraham bungsu berasal dari
kebiasaan makan, bukan dari “atrofi” evolusioner apa pun.
13
BAGAIMANAKAH TEORI EVOLUSI DIRUNTUHKAN OLEH STRUKTUR
YANG KOMPLEKS PADA MAKHLUK PALING PURBA?
Dalam catatan fosil, makhluk hidup membentuk untaian
atau rantai. Bila kita perhatikan rantai ini dari makhluk paling purba sampai
yang paling muda, tampaklah bahwa makhluk hidup muncul dalam bentuk
mikroorganisme, hewan laut tak bertulang belakang (invertebrata), ikan, amfibi,
reptil, unggas, dan mamalia. Pendukung teori evolusi membahas rantai ini dengan
penuh praduga, sambil berupaya menyajikannya sebagai bukti teori evolusi.
Mereka menyatakan bahwa makhluk hidup berkembang dari bentuk sederhana menuju
bentuk yang lebih kompleks, dan selama proses ini berlangsung, beraneka ragam
makhluk hidup pun tercipta. Misalnya, para evolusionis mengemukakan, fakta
tidak ditemukannya fosil manusia pada pengkajian terhadap lapisan fosil berusia
300 juta tahun merupakan salah satu bukti kebenaran evolusi. Profesor Aykut Kence,
seorang evolusionis Turki, berkata:
Anda ingin menggugurkan teori
evolusi? Jika demikian, pergilah dan cari beberapa fosil manusia dari zaman
Kambrium! Siapa pun yang berhasil menemukannya akan meruntuhkan teori evolusi,
bahkan memenangkan hadiah Nobel atas penemuannya.56
Perkembangan makhluk hidup dari bentuk sederhana
(primitif) ke bentuk rumit (kompleks) adalah pemikiran khayal
Mari kita bayangkan cara berpikir
evolusionis yang terdapat dalam kata-kata Profesor Kence. Perkembangan makhluk
hidup dari bentuk primitif ke bentuk kompleks adalah praduga evolusionis yang
tak benar sedikit pun. Profesor biologi asal Amerika, Frank L. Marsh, yang
mengkaji pernyataan kaum evolusionis, dalam bukunya Variation and Fixity in Nature menyatakan makhluk hidup tak dapat disusun dalam sebuah urutan yang senantiasa
bersambung tanpa putus dari bentuk sederhana ke bentuk rumit.57
Dalam hal ini, pernyataan
evolusionis sebenarnya dapat diruntuhkan oleh fakta kemunculan mendadak dari
hampir seluruh filum hewan yang dikenal sekarang di Zaman Kambrium. Bahkan,
semua hewan yang muncul secara tiba-tiba tersebut sudah memiliki struktur tubuh
yang rumit, tidak sederhana – hal ini benar-benar berlawanan dengan asumsi
evolusionis.
Trilobita yang termasuk filum
Arthropoda, adalah makhluk sangat rumit dengan cangkang keras, memiliki tubuh
yang bersendi, dan organ-organ kompleks.. Catatan fosil telah memungkinkan pengkajian
yang sangat terperinci terhadap mata trilobita. Mata trilobita terdiri atas
beratus-ratus faset kecil, yang masing-masing terdiri atas dua lapisan lensa.
Struktur mata ini adalah keajaiban nyata perancangan. David Raup, profesor
geologi di Universitas Harvard, Rochester, dan Chicago, berkata, “Trilobita
yang hidup 450 juta tahun yang silam telah memiliki rancangan optimal yang di
zaman kini memerlukan insinyur optik yang terlatih baik dan imajinatif untuk
mengembangkannya.” 58
Sisi menarik lainnya di seputar
bahasan ini adalah, lalat di zaman sekarang memiliki struktur mata yang serupa.
Dengan kata lain, struktur demikian itu sudah ada selama 520 juta tahun
terakhir ini.
Pemandangan luar biasa tentang
Zaman Kambrium sangat sedikit diketahui di saat Darwin menulis The Origin of Species. Setelah masa
Darwin, barulah orang tahu, bahwa menurut catatan fosil, makhluk hidup muncul
dengan seketika di Zaman Kambrium, dan trilobita serta hewan invertebrata lain
hadir di muka bumi secara bersamaan. Dalam bukunya, Darwin tak mampu membahas
sepenuhnya mengenai hal ini. Namun, ia memang membahas sedikit tentang itu
dalam bab berjudul “On the sudden appearance of groups of allied species in the
lowest known fossiliferous strata“ (Timbulnya secara serentak kelompok-kelompok
spesies yang saling terkait dalam lapisan fosil terendah yang diketahui), ia
menulis di sini tentang Zaman Silur (di masa Darwin, zaman ini mencakup pula
zaman yang kini kita sebut Kambrium):
Misalnya, saya tidak dapat
meragukan bahwa semua trilobita zaman Silur merupakan keturunan yang berasal
dari sejenis hewan krustasea (bangsa udang), yang tentunya telah hidup jauh
sebelum Zaman Silur, dan mungkin jauh berbeda dari hewan mana pun yang telah
dikenal … Karena itu, jika teori saya
benar, tak pelak lagi bahwa jauh sebelum lapisan Silur paling bawah
terbentuk, waktu yang amat panjang telah berlalu, mungkin sama atau jauh lebih
panjang daripada selang waktu antara zaman Silur dengan masa kini; dan selama
rentang masa yang sungguh panjang ini, namun belum banyak dikenal, dunia ini
dipenuhi makhluk hidup. Saya tak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas
pertanyaan mengapa kita tidak menemukan bekas-bekas dari zaman purba yang
sungguh panjang ini.59
Darwin berkata, “Jika teori saya
benar, tak pelak lagi bahwa dunia ini dipenuhi makhluk hidup sebelum Zaman
Silur.” Untuk menjawab pertanyaan, mengapa tidak terdapat fosil makhluk-makhluk
itu, ia mencoba menjawab di sepanjang bukunya, dengan menggunakan alasan
“catatan fosil yang sangat terbatas”. Tapi kini, catatan fosil sudah lengkap,
dan menunjukkan bahwa makhluk Zaman Kambrium tak memiliki nenek moyang.
Artinya, kita harus menolak kalimat Darwin yang diawali dengan “… jika teori
saya benar”. Hipotesa Darwin tidak absah; karena itu, teorinya salah.
Makhluk hidup tidak berkembang
dari bentuk sederhana ke bentuk yang kompleks. Pada saat pertama kali muncul,
makhluk hidup sudah teramat kompleks. Contoh lain dari hal ini adalah ikan hiu,
yang menurut catatan fosil sudah ada sejak sekitar 4000 juta tahun yang lalu.
Hewan ini memiliki berbagai ciri istimewa yang tidak dimiliki hewan lain yang
tercipta jutaan tahun setelahnya, misalnya pertumbuhan gigi (regenerasi)
setelah gigi yang lama tanggal. Contoh lainnya adalah kemiripan yang
mengejutkan antara mata mamalia dan gurita yang telah hidup di Bumi
berjuta-juta tahun sebelum mamalia.
Contoh-contoh tersebut
memperjelas bahwa spesies makhluk hidup tidak dapat disusun berurutan secara
baik dari bentuk primitif ke bentuk kompleks.
Fakta itu juga ditampilkan oleh
hasil penelitian terhadap segi bentuk, fungsi, dan genetika makhluk hidup.
Misalnya, bila kita cermati catatan fosil pada tingkat terendah, dilihat dari
segi bentuk dan ukuran, tampak bahwa banyak makhluk (misalnya dinosaurus) yang
berukuran jauh lebih besar daripada yang muncul kemudian.
Demikian juga bila kita cermati
dari segi fungsional makhluk hidup. Pada perkembangan struktur, telinga adalah
contoh yang meruntuhkan pendapat “makhluk hidup berkembang dari bentuk primitif
menuju kompleks”. Hewan amfibi memiliki rongga telinga-tengah. Akan tetapi
reptil, yang muncul sesudah amfibi, mempunyai sistem yang jauh lebih sederhana.
Pada reptil, sistem ini berdasarkan satu tulang kecil saja, tanpa ruang
telinga-tengah.
Kajian genetika menunjukkan hasil
serupa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah kromosom tak ada
kaitannya dengan kompleksitas tubuh hewan. Misalnya, manusia memiliki 46 buah
kromosom, kopepoda memiliki 6 buah, dan radiolaria (hewan yang berukuran
mikroskopis) memiliki tepat 800 buah.
Makhluk hidup diciptakan pada saat yang
paling “sesuai” baginya
Penelitian catatan fosil
sesungguhnya menunjukkan, makhluk hidup muncul di masa yang paling cocok
baginya. Tuhan telah menciptakan makhluk hidup secara luar biasa. Makhluk hidup
diciptakan tepat sesuai dengan keadaan yang akan dihadapinya saat muncul di
Bumi.
Mari kita lihat contoh berikut
ini: Bumi di kala fosil bakteri tertua muncul, yakni sekitar 3,5 miliar tahun
yang silam. Kondisi suhu dan atmosfer waktu itu sama sekali tidak cocok untuk
mendukung kehidupan makhluk berstruktur kompleks ataupun manusia. Demikian juga
zaman Kambrium, yang menurut Kence, apabila ditemukan fosil manusia pada masa
itu, teori evolusi akan runtuh. Periode ini, sekitar 530 juta tahun silam,
benar-benar tak cocok bagi manusia. (Saat itu tak ada hewan di darat).
Keadaan serupa juga tampak pada
hampir seluruh zaman sesudahnya. Penelitian catatan fosil menunjukkan bahwa
kondisi yang dapat mendukung kehidupan manusia baru tercapai beberapa juta
tahun yang silam. Hal yang sama ini berlaku pula pada seluruh makhluk hidup
lainnya. Setiap kelompok makhluk hidup muncul apabila kondisi yang mendukung
bagi kehidupannya telah tercapai, dengan kata lain, “bila waktunya sudah
tepat”.
Kaum evolusionis menentang fakta
ini sekuat tenaga. Mereka mengatakan bahwa kondisi pendukung itu sendirilah
yang telah memunculkan makhluk hidup. Padahal, terciptanya “kondisi pendukung”
hanyalah tanda bahwa “saat yang tepat telah tiba”. Makhluk hidup hanya dapat
muncul melalui sebuah campur tangan yang memiliki kesadaran – dengan kata lain,
melalui penciptaan oleh kekuatan hebat di luar alam.
Karena itu, munculnya makhluk
hidup secara bertahap bukanlah bukti evolusi, melainkan bukti kebijaksanaan dan
pengetahuan Tuhan yang tak terhingga, Yang menciptakan makhluk hidup. Setiap
kelompok makhluk hidup diciptakan untuk menyiapkan kondisi yang sesuai bagi
kemunculan kelompok makhluk hidup berikutnya. Dan bagi kita, keseimbangan
ekologis dengan seluruh makhluk hidup disiapkan terlebih dahulu dalam rentang
waktu yang cukup panjang.
Di lain pihak, kita harus ingat
bahwa periode panjang itu hanya dirasakan “panjang” oleh kita. Bagi Tuhan, itu
hanyalah “sesaat” saja. Konsep waktu hanya berlaku bagi makhluk, bukan
Pencipta. Tuhan, Pencipta waktu itu sendiri, tidaklah terikat oleh waktu.
(Lihat lebih jauh dalam buku Harun Yahya: Timelessness
and the Reality of Fate)
Jika kaum evolusionis hendak
menunjukkan bahwa satu spesies berubah menjadi spesies lain, tak ada gunanya
berkata bahwa makhluk hidup muncul di Bumi selangkah demi selangkah. Bukti yang
harus mereka kemukakan adalah fosil makhluk peralihan yang menghubungkan
antarspesies makhluk hidup yang berbeda ini. Teori yang menyatakan bahwa
invertebrata berubah menjadi ikan, ikan menjadi reptil, reptil menjadi burung dan
mamalia, harus didukung fosil sebagai buktinya. Darwin sadar akan hal itu dan
menuliskan bahwa fosil semacam ini harus ditemukan dalam jumlah tak terhitung
banyaknya, walaupun sejauh ini tidak pernah ditemukan satu pun. Selama 150
tahun setelah teori Darwin diajukan, fosil makhluk peralihan belum pernah
ditemukan. Seperti yang diakui oleh Derek W. Ager, seorang evolusionis ahli
paleontologi, catatan fosil menunjukkan “bukan
evolusi bertahap, melainkan sebuah ledakan tiba-tiba sekelompok makhluk hidup
di atas kepunahan kelompok yang lain.”60
Sebagai kesimpulan, sejarah
kehidupan menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul bukan sebagai hasil peristiwa
kebetulan, melainkan diciptakan tahap demi tahap, dalam periode yang amat
panjang. Ini amat sesuai dengan keterangan tentang penciptaan dalam Al Qur’an,
yang di dalamnya Tuhan berfirman bahwa Dia menciptakan alam semesta dan semua
makhluk hidup dalam “enam hari”:
Allah-lah
yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain
daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.
Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. As Sajdah, 32:4)
Kata “hari” dalam ayat itu, atau yawm dalam bahasa Arab, juga berarti
selang waktu yang panjang. Dengan kata lain, Al Qur’an menyebutkan bahwa
kehidupan diciptakan dalam beberapa masa yang berbeda, tidak sekaligus.
Penemuan di bidang geologi di zaman modern memberikan gambaran yang menegaskan
hal ini.
14
MENGAPA MENYANGKAL TEORI EVOLUSI
DISAMAKAN DENGAN MENOLAK PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN?
Kata “evolusi” akhir-akhir ini
sering digunakan dalam beberapa makna. Di antaranya, kini ada penambahan aspek
sosial, sehingga, sekarang “evolusi” juga bisa berarti kemajuan umat manusia
dan perkembangan teknologi. Tak ada yang salah dengan konsep “evolusi” bila
digunakan dalam makna tersebut. Tak diragukan, umat manusia akan menggunakan
kecerdasan, kepandaian, dan kekuatannya untuk berkembang, seiring berjalannya
waktu. Dari generasi ke generasi, pengetahuan umat manusia semakin berkembang.
Dengan cara yang sama, hal ini tidak membuktikan kebenaran teori evolusi itu
sendiri – yang mengatakan bahwa makhluk hidup tercipta secara kebetulan – dan
juga tidak sedikit pun bertentangan dengan kebenaran fakta penciptaan.
Akan tetapi, kaum evolusionis
mempermainkan arti kata ini. Konsep yang benar, dikacaukan dengan konsep yang
palsu. Sebagai contoh, pernyataan “Dalam perjalanan panjang umat manusia,
sebagai makhluk sosial, pengetahuan, budaya, dan teknologi yang dihasilkan,
manusia selalu tetap berkembang” adalah benar. (Walaupun demikian, kita harus
ingat bahwa seiring dengan waktu, yang dapat terjadi bukan saja kemajuan,
melainkan juga kemunduran. Dari sudut sosiologi, ada masa-masa kemajuan,
keterhentian, dan kemunduran). Akan tetapi, pernyataan “Makhluk hidup
berkembang dan berubah dengan berlalunya waktu, seperti halnya manusia telah
mengalami perkembangan dan kemajuan” adalah salah. Sebagai makhluk berpikir,
pengetahuan manusia meningkat dan diwariskan turun-temurun, sehingga
terus-menerus tercapai kemajuan; ini adalah masuk akal dan ilmiah. Akan tetapi,
sama sekali tidak masuk di akal apabila dikatakan bahwa makhluk hidup
berkembang dan berevolusi melalui ketidaksengajaan dan kebetulan, dengan
mengikuti kehendak kondisi-kondisi alamiah yang tidak terkendali dan tanpa
kesadaran.
Semua ilmuwan terbesar dalam kemajuan ilmiah
adalah penganut fakta penciptaan (kreasionis)
Tak menjadi soal, betapapun keras
upaya kaum evolusionis dalam menampilkan diri mereka sebagai pemuncul gagasan
seperti inovasi (pembaruan) dan kemajuan, sejarah telah membuktikan bahwa
pencetus yang sebenarnya dari inovasi dan kemajuan adalah selalu para ilmuwan
beriman yang meyakini penciptaan oleh Tuhan.
Kita dapat menyaksikan adanya
ilmuwan yang beriman di setiap titik kemajuan ilmiah. Leonardo da Vinci, Copernicus,
Kepler, dan Galileo, yang memulai era baru dalam ilmu astronomi, Cuvier, pendiri paleontologi, Linnaeus, pendiri sistem penggolongan
modern untuk flora dan fauna, Isaac
Newton, penemu hukum gravitasi, Edwin
Hubble, yang menemukan adanya galaksi dan pemuaian alam semesta, serta
banyak lagi, dan banyak lainnya yang meyakini Tuhan dan percaya bahwa alam
semesta dan makhluk hidup adalah ciptaanNya.
Salah satu ilmuwan terbesar di
abad kedua puluh, Albert Einstein,
berkata:
Saya tak
dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa keimanan yang kuat. Situasi ini dapat
dilukiskan sebagai: Ilmu tanpa agama adalah lumpuh…61
Max Planck, pendiri fisika modern
berkebangsaan Jerman, berkata:
Siapa pun yang secara
sungguh-sungguh telah terlibat dalam kerja ilmiah jenis apa pun juga, akan
sadar bahwa di atas pintu gerbang memasuki kuil ilmu pengetahuan tertera
kalimat: Engkau harus beriman. Ini
adalah sifat yang tak dapat dilepaskan dari seorang ilmuwan.62
Sejarah ilmu pengetahuan
menunjukkan bahwa perubahan dan kemajuan adalah hasil karya para ilmuwan yang
berpaham kreasionis (meyakini penciptaan). Selain itu, tentu saja, berbagai
kemajuan dalam ilmu pengetahuan di abad ke-20 dan ke-21 telah secara khusus
menyajikan bukti yang amat banyak atas kebenaran fakta penciptaan. Teknologi
dan ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan kita untuk menemukan fakta bahwa
alam semesta tercipta dari ketiadaan, dengan kata lain, “diciptakan”. Segenap
dunia ilmiah sepakat bahwa alam semesta tercipta dan berkembang sebagai akibat
sebuah ledakan titik tunggal. Dengan demikian, hancurlah sudah model alam
semesta “tak hingga”, yang tidak memiliki awal ataupun akhir, yang diyakini
oleh kaum materialis karena kondisi ilmu pengetahuan yang masih terbelakang di
abad ke-19. Kini disadari bahwa alam semesta diciptakan, seperti tercantum
dalam Al Qur’an, dan alam memiliki awal dan batasan serta mengembang seiring
dengan waktu. Al Qur’an menyatakan fakta ini sebagai berikut:
Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman? (QS. Al Anbiyaa’ , 21:30)
Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar
meluaskannya. (QS. Adz Dzaariyaat, 51:47)
Lagi-lagi, kemajuan ilmiah di
abad ke-20 lah yang memungkinkan kita menemukan semakin banyak bukti
penciptaan. Mikroskop elektron mengungkapkan struktur sel, satuan terkecil
pembentuk makhluk hidup, beserta bagian-bagiannya. Penemuan DNA menunjukkan
kecerdasan dan pengetahuan yang tidak terhingga yang terdapat di dalam sel.
Kemajuan ilmu biokimia dan fisiologi menunjukkan cara kerja sempurna di tingkat
molekul pada tubuh, serta rancangan yang amat hebat, yang tak mungkin dapat
dijelaskan dengan apa pun selain penciptaan.
Bertolak belakang dari semua itu,
adalah keterbelakangan ilmu pengetahuan 150 tahun yang lalu yang menyediakan
lahan subur bagi tumbuhnya teori evolusi.
Sebagai kesimpulan, adalah
mustahil menganggap mereka yang meyakini penciptaan dan terus menghadirkan
berbagai bukti baru tentang penciptaan ini sebagai kaum yang menolak kemajuan,
perkembangan, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, mereka itulah pendukung
terbesar bagi ketiga hal tersebut. Mereka yang sesungguhnya menolak kemajuan
adalah mereka yang menutup mata terhadap semua bukti ilmiah yang sudah ada
serta terus mempertahankan teori evolusi, yang sebenarnya tak lain hanya
merupakan angan kosong.
15
MENGAPA BERPIKIR BAHWA TUHAN
MENCIPTAKAN MAKHLUK HIDUP MELALUI PROSES EVOLUSI ADALAH SALAH?
Secara ilmiah telah dibuktikan
bahwa rancangan menakjubkan yang tampak di seluruh makhluk hidup dan benda mati
di alam semesta ini tidaklah mungkin muncul menjadi ada akibat kekuatan alamiah
buta dan ketidaksengajaan. Meskipun demikian, sebagian orang menyatakan, memang
benar bahwa terdapat sang Pencipta, tetapi Dia menciptakan kehidupan melalui
proses evolusi.
Sudah sangat jelas bahwa Tuhan
Yang Mahakuasa telah mencipta seluruh alam semesta dan makhluk hidup. Adalah
keputusanNya untuk mencipta secara seketika ataupun bertahap. Kita hanya dapat
memahami kejadiannya melalui informasi yang Tuhan berikan kepada kita (dengan
kata lain, melalui ayat Al Qur’an), serta melalui bukti ilmiah yang tampak
jelas di alam ini.
Jika mencermati kedua sumber
tersebut, kita tidak menyaksikan adanya peristiwa “penciptaan melalui evolusi”.
Tuhan telah menurunkan berbagai
ayat dalam Al Qur’an yang membahas tentang penciptaan manusia, kehidupan, dan
alam semesta. Tak satu pun di antara ayat tersebut yang berisi keterangan
tentang penciptaan melalui evolusi. Dengan kata lain, tak satu pun ayat yang
berkata bahwa makhluk hidup tercipta akibat proses evolusi dari satu makhluk
menjadi makhluk lain. Sebaliknya, diungkapkan dalam ayat-ayat itu, bahwa
kehidupan dan jagat raya ini tercipta melalui perintah Tuhan: “Jadilah!”
Penemuan ilmiah pun telah
memperlihatkan bahwa penciptaan melalui proses evolusi adalah mustahil. Catatan
fosil menunjukkan bahwa beraneka ragam spesies muncul bukan melalui evolusi
satu dari yang lainnya, melainkan secara terpisah, secara tiba-tiba, serta
dilengkapi dengan seluruh struktur mereka masing-masing yang khas. Dengan kata
lain, penciptaan bagi setiap spesies adalah berbeda.
Jika terdapat sesuatu seperti
“penciptaan melalui evolusi”, kita sudah seharusnya dapat melihat buktinya saat
ini. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu menurut peraturan tertentu, di
dalam kerangka hukum sebab-akibat. Misalnya, sudah pasti Tuhan yang menjadikan
kapal dapat terapung di air. Akan tetapi, apabila kita mempelajari penyebabnya,
kita akan memahami bahwa penyebabnya adalah diciptakannya pada air kekuatan
yang menopang kapal. Tidak ada sesuatu pun kecuali kekuatan Tuhan yang
memungkinkan burung dapat terbang. Akan tetapi, bila kita mempelajari bagaimana
ini terjadi, kita akan menemukan adanya hukum aerodinamika. Oleh sebab itulah,
jika makhluk hidup memang diciptakan melalui proses bertahap, maka seharusnya
terdapat sistem yang dilengkapi hukum-hukum dan kemajuan-kemajuan di bidang
genetika, yang dapat menjelaskan peristiwa tersebut. Lebih lanjut, kita akan
mengenal adanya hukum biologi, kimia dan fisika yang lain. Akan terdapat bukti
dari penelitian laboratorium yang menunjukkan bahwa satu makhluk hidup dapat
berubah menjadi makhluk lain. Selain itu, dari berbagai riset tersebut,
dimungkinkan pengembangan enzim, hormon, dan molekul sejenis yang tak dimiliki
suatu spesies, agar spesies tersebut dapat memanfaatkannya. Tambahan lagi,
kemajuan tersebut akan memungkinkan diciptakannya berbagai struktur dan organel
baru yang belum pernah dimiliki spesies itu.
Kajian-kajian laboratorium akan
mampu menunjukkan contoh-contoh makhluk yang telah melalui proses mutasi, serta
memperoleh manfaat dari proses tersebut. Kita juga akan mampu melihat mutasi
itu diwariskan kepada generasi berikutnya, serta benar-benar menjadi bagian
dari spesies. Selain itu pula, akan terdapat jutaan fosil makhluk peralihan
dari masa silam, dan di masa kini akan ada makhluk hidup yang tahapan
transisinya belum selesai. Pendek kata, seharusnya terdapat berbagai contoh
proses seperti ini, yang tak terhitung banyaknya.
Akan tetapi, tak ada satu pun bukti
bahwa satu spesies dapat melakukan perubahan menjadi spesies lainnya. Seperti
telah kita lihat, data fosil menunjukkan bahwa semua spesies makhluk hidup
muncul secara tiba-tiba tanpa nenek moyang. Fakta ini, selain menghancurkan
teori evolusi (yang menyatakan kehidupan muncul berdasarkan peristiwa
kebetulan), juga menunjukkan ketidakabsahan pendapat bahwa Tuhan menciptakan
makhluk hidup, dan kemudian makhluk tersebut berubah melalui proses.
Tuhan menciptakan makhluk hidup
secara supernatural, melalui satu perintah “Jadilah!” Ilmu pengetahuan modern
menegaskan fakta ini, dan membuktikan bahwa makhluk hidup muncul secara
tiba-tiba di Bumi.
Para pendukung gagasan “Mungkin
saja Tuhan menciptakan makhluk hidup di Bumi melalui proses evolusi” sebenarnya
sedang mencoba membangun “titik temu” antara penciptaan dan Darwinisme. Akan
tetapi ini adalah suatu kesalahan yang mendasar. Mereka tidak menyadari dasar
logika Darwinisme dan filsafat yang dijunjungnya. Darwinisme bukanlah terdiri
atas gagasan perubahan spesies. Sebenarnya, Darwinisme adalah suatu upaya untuk
menjelaskan asal-usul makhluk melalui penyebab-penyebab yang bersifat materi
belaka. Dengan kata lain, Darwinisme berupaya agar masyarakat menerima pendapat
bahwa makhluk hidup adalah hasil kerja alam, dan melapisi pendapat itu dengan
polesan ilmiah. Tak mungkin ada “titik temu” atau “satu landasan pijak bersama”
antara filsafat naturalistik (ajaran yang tidak mengakui adanya kekuatan lain
selain alam) dengan keyakinan kepada Tuhan. Adalah salah apabila kita berusaha
mencari titik temu seperti itu, bersikap menyerah kepada Darwinisme, dan
menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti tampak dari 150 tahun sejarah teori
ini, Darwinisme adalah tulang punggung filsafat materialistis dan ateisme.
Pencarian titik temu tidak akan pernah dapat mengubah fakta ini.
16
MENGAPA ANGGAPAN “DI MASA DEPAN
KEBENARAN TEORI EVOLUSI AKAN TERBUKI” ADALAH SALAH?
Ketika mereka sudah tersudut, ada
di antara para pendukung teori evolusi yang mengandalkan kata-kata: “Bahkan
kalau pun penemuan ilmiah masa kini tidak menegaskan kebenaran evolusi, teori
ini akan terbukti dengan perkembangan ilmu yang terjadi di masa yang akan
datang.”
Ini adalah titik awal pengakuan
kekalahan kaum evolusionis di arena ilmiah. Bila kita membaca yang tersirat,
maka kita akan mendapatkan: “Ya, kami,
para pendukung evolusi, mengakui bahwa berbagai penemuan di bidang ilmiah tidak
mendukung teori kami. Oleh sebab itulah, tidak ada alternatif lain bagi kami
selain menunda perihal ini ke masa depan.”
Akan tetapi, ilmu pengetahuan
tidak bekerja dengan cara berpikir seperti demikian. Seorang ilmuwan seharusnya
tidak lebih dahulu meyakini sebuah teori secara buta, sambil berharap, suatu
saat nanti, bukti atas kebenaran teori itu akan muncul. Ilmu pengetahuan memeriksa
semua bukti yang ada, lalu menyimpulkannya. Karena itu, para ilmuwan seharusnya
menerima adanya fakta “rancangan”, atau dengan kata lain fakta penciptaan, yang
telah dibuktikan secara ilmiah.
Akan tetapi, propaganda dan
bujukan evolusionis masih mampu mempengaruhi orang, terutama yang tidak begitu
paham tentang teori ini. Oleh sebab itu, ada baiknya bila ketiga pertanyaan
berikut ini dijawab secara lengkap dan jelas:
Kita dapat menguji keabsahan
teori evolusi dengan tiga pertanyaan dasar:
1. Bagaimana sel hidup pertama muncul?
2. Bagaimana satu spesies dapat berubah menjadi spesies
lain?
3. Adakah bukti dalam catatan fosil bahwa makhluk hidup
memang melalui proses seperti itu?
Sejumlah besar penelitian selama
abad ke-20, telah dilakukan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas -
pertanyaan yang harus dijawab oleh teori evolusi. Akan tetapi,
penelitian-penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa teori evolusi
tidak dapat menjelaskan tentang kehidupan. Ini terlihat jelas dalam pembahasan
yang lebih mendalam dari ketiga pertanyaan di atas:
1. Pertanyaan tentang
munculnya “sel pertama” adalah persoalan sulit yang paling mematikan bagi
pendukung teori evolusi. Hasil berbagai penelitian yang berkenaan dengan hal
ini menunjukkan bahwa kemunculan sel pertama tidak dapat dijelaskan oleh konsep
“kebetulan”. Fred Hoyle menyatakan hal itu sebagai berikut:
Peluang munculnya makhluk hidup
dengan cara ini adalah sebanding dengan peluang angin tornado yang menyapu
lahan penimbunan barang-barang bekas dan kemudian merakit sebuah pesawat Boeing
747 dari bahan-bahan yang ada di dalamnya. 63
Berikut ini adalah sebuah contoh
untuk melihat kontradiksi pada kaum evolusionis. Ingatlah contoh terkenal dari
William Paley, dan bayangkanlah seseorang yang seumur hidupnya belum pernah
melihat jam dinding. Orang itu hidup di pulau terpencil, dan suatu hari
menemukan sebuah jam dinding. Bagi orang yang belum pernah melihat sebuah jam
dinding dari jarak 100 meter, dia tidak bisa menentukan apa benda tersebut
sebenarnya, dan mungkin tidak bisa membedakannya dari fenomena alam lain yang
disebabkan oleh angin, pasir dan tanah. Namun ketika orang tersebut semakin
dekat, hanya dengan melihatnya, dia akan menyadari bahwa jam itu adalah hasil
suatu rancangan. Ketika lebih dekat lagi, dia tidak akan ragu sedikit pun.
Tahap berikutnya, mungkin dia memeriksa berbagai bagian dari jam tersebut, dan
juga sentuhan seni yang tampak jelas padanya. Ketika dia membuka tutup mesin
jam dan mencermatinya, dia akan melihat bahwa di dalam jam tersebut terdapat
akumulasi pengetahuan yang lebih besar, dibandingkan dengan apa yang terlihat
dari luar. Benda ini adalah hasil kecerdasan. Setiap langkah penelitian
selanjutnya akan menjadikan analisis ini semakin pasti.
Sebagaimana paparan di atas,
kebenaran tentang makhluk hidup muncul ke permukaan seiring dengan ilmu
pengetahuan yang semakin maju. Kemajuan ilmiah telah mengungkapkan kesempurnaan
makhluk hidup, baik di tingkat sistem, organ, jaringan, sel, maupun di tingkat
molekul. Dengan semakin mendalamnya pengetahuan kita tentang semua hal
tersebut, kita mampu melihat dengan lebih jelas sisi yang menakjubkan dari
rancangan-rancangan yang ada. Evolusionis abad ke-19, yang beranggapan bahwa
sel adalah suatu gumpalan mungil karbon, berada pada situasi yang sama dengan
orang yang melihat jam dinding dari jarak 100 meter seperti dalam cerita di
atas. Tapi di masa kini, sangatlah sulit untuk menemukan satu pun ilmuwan yang
tidak mengakui bahwa masing-masing bagian dari sel adalah sebuah hasil karya
dan seni serta rancangan yang sangat hebat. Bahkan pada membran dari sebuah sel
yang kecil, yang memiliki sifat “penyaring selektif”, terdapat kecerdasan dan
rancangan yang luar biasa. Membran tersebut mengenali berbagai atom, protein,
dan molekul yang berada di sekelilingnya, seolah-olah memiliki pikirannya
sendiri. Membran hanya akan membiarkan partikel-partikel yang dibutuhkan masuk
ke dalam sel. (Untuk lebih jauh lagi, bacalah karya Harun Yahya, Consciousness in the Cell). Tidak
seperti jam dinding tadi (yang kecerdasan rancangannya masih terbatas),
organisme hidup adalah bukti kecerdasan dan rancangan yang menakjubkan.
Penelitian-penelitian atas struktur makhluk hidup yang semakin mendalam dan
luas ini, yang sejauh ini baru saja mengungkapkan sebagian kecil dari
rancang-bangun dan fungsinya, bukanlah membuktikan evolusi, melainkan
memungkinkan kita untuk memahami kebenaran penciptaan dengan lebih baik.
2. Kaum evolusionis
berpendapat, bahwa satu spesies dapat berubah menjadi spesies lain, melalui
mutasi dan seleksi alam. Seluruh penelitian yang telah dilakukan dan berkaitan
dengan masalah ini, menunjukkan bahwa kedua mekanisme tidak memiliki pengaruh
evolusioner yang demikian. Colin Patterson, seorang ahli paleontologi senior
Museum Natural History di London,
menekankan fakta ini sebagai berikut :
Tak ada
yang pernah menghasilkan satu spesies melalui mekanisme seleksi alam. Tidak seorang pun
hampir pernah menghasilkannya, dan kebanyakan debat neo-Darwinisme sekarang
adalah seputar masalah ini.64
Penelitian tentang mutasi menunjukkan bahwa proses
tersebut tidak bersifat evolusioner. Ahli genetika dari Amerika, B. G. Ranganathan,
berkata:
Pertama, mutasi sejati amat
jarang terjadi di alam ini. Kedua, kebanyakan mutasi adalah berbahaya, karena
perubahan struktur gen terjadi secara acak, bukan teratur. Perubahan acak apa
pun pada sistem dengan tingkat keteraturan tinggi akan merusak, bukan
memperbaiki. Contohnya, bila gempa bumi mengguncangkan sebuah struktur yang
teratur, misalnya sebuah gedung, akan terjadi perubahan acak dalam kerangka
bangunan tersebut yang, dalam segala kemungkinan, tidak akan memunculkan
perbaikan.65
Seperti yang telah kita saksikan,
apa yang disebutkan dalam teori evolusi sebagai mekanisme pembentuk spesies
baru, sebenarnya sama sekali tidak berdampak dan justru merusak. Sekarang, kita
memahami bahwa kedua mekanisme ini – yang diajukan di saat ilmu dan teknologi
belum mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuktikan ketidakabsahan
pendapat yang hanya merupakan khayal ini – tidak memiliki pengaruh perkembangan
maupun evolusi.
3. Fosil juga menunjukkan bahwa
makhluk hidup tidaklah muncul sebagai akibat proses evolusi. Makhluk hidup
muncul secara tiba-tiba, sebagai hasil “rancangan” yang sempurna. Semua fosil
yang telah ditemukan menegaskan hal ini. Niles Eldredge, ahli paleontologi dari
Universitas Harvard dan pengawas di American
Museum of Natural History menjelaskan bahwa tak mungkin fosil yang dapat
ditemukan di masa depan akan dapat mengubah keadaan ini:
Catatan fosil meloncat-loncat,
dan semua bukti yang ada menunjukkan bahwa catatan itu benar adanya:
celah-celah yang kita lihat menunjukkan kejadian sebenarnya dalam sejarah
makhluk hidup – bukan artefak catatan fosil yang tidak lengkap. 66
Robert Wesson, seorang pakar asal
Amerika lain, menyatakan dalam bukunya Beyond
Natural Selection di tahun 1991, bahwa “celah-celah dalam catatan fosil
adalah nyata dan luar biasa”. Ia menjelaskan pernyataannya sebagai berikut:
Celah-celah dalam catatan fosil
itu memang sungguhan. Ketiadaan catatan akan percabangan yang penting sungguh
luar biasa. Spesies-spesies biasanya terdapat dalam keadaan tetap, atau nyaris
tetap, untuk jangka waktu yang lama; jarang terlihat adanya evolusi suatu
spesies menjadi spesies yang baru, atau tidak pernah terlihat adanya evolusi
suatu genus menjadi genus yang baru.
Yang ada adalah pergantian satu
oleh yang lain, dan perubahan bisa dikatakan berlangsung mendadak. 67
Kesimpulannya, setelah sekitar
150 tahun berlalu sejak pertama kalinya teori evolusi diusulkan, sejak itu pula
penemuan-penemuan di bidang ilmiah selalu menunjukkan bukti-bukti yang
menentangnya. Semakin diteliti, semakin banyak bukti yang menunjukkan
penciptaan yang sempurna, dan kian dipahami bahwa kemunculan makhluk hidup dan
variasinya akibat faktor kebetulan adalah mustahil. Setiap penelitian
mengungkapkan bukti baru akan adanya rancangan pada makhluk hidup, sehingga
fakta penciptaan semakin jelas. Sejak masa Darwin, setiap dasawarsa yang
berlalu kian mengungkapkan ketidakabsahan teori evolusi.
Singkatnya, kemajuan ilmiah tidak
mendukung teori evolusi. Oleh sebab itu, perkembangan di masa depan juga tak
akan mendukung, malah akan semakin memperjelas ketidakabsahan teori ini.
Tidak benar apabila dikatakan
bahwa evolusi adalah sesuatu yang belum bisa dijawab atau diterangkan oleh ilmu
pengetahuan. Juga tidak benar bahwa evolusi bisa dibuktikan di masa yang akan
datang. Ilmu pengetahuan modern telah menyangkal teori evolusi di segala
bidang, dan menunjukkan bahwa dari sudut pandang mana pun, proses evolusi
mustahil terjadi. Adanya upaya untuk mempertahankan kepercayaan ini dengan
mengatakan bahwa evolusi akan dibuktikan di masa depan, merupakan hasil dari
pola pikir khayal dan mimpi kaum Marxist dan lingkungan materialis yang melihat
evolusi sebagai penyokong ideologi mereka. Mereka, dengan demikian, hanyalah
mencoba menghibur diri dari rasa putus asa.
Karena itu, gagasan bahwa
“evolusi akan terbukti di masa depan” tak berbeda dengan berkata “di masa depan
akan terbukti bahwa Bumi terletak di punggung seekor gajah”.
17
MENGAPA PERISTIWA METAMORFOSIS
BUKANLAH BUKTI KEBENARAN TEORI EVOLUSI?
Beberapa jenis hewan mengalami
perubahan fisik agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan kondisi alam yang
berubah-ubah. Proses ini dikenal sebagai metamorfosis. Mereka yang tak begitu
memahami biologi, serta mereka yang mendukung teori evolusi, kadang-kadang
mencoba menggambarkan proses itu sebagai bukti evolusi. Sumber-sumber yang
menyatakan metamorfosis sebagai “contoh evolusi” adalah omong kosong. Hal ini
merupakan hasil propaganda dangkal dan sempit, yang bertujuan menyesatkan
mereka yang kurang paham tentang perihal ini, pendukung evolusi yang masih
baru, serta guru-guru biologi Darwinis yang tidak benar-benar tahu masalahnya.
Para ilmuwan yang dianggap ahli dalam bidang evolusi, dan memahami kebuntuan
dan pertentangan dalam teori ini, seringkali bersikap segan bila harus
mengungkapkan pernyataan yang menggelikan ini. Sebab, mereka tahu betapa
pendapat tersebut tidak masuk akal …
Kupu-kupu, lalat dan lebah adalah
beberapa contoh hewan yang dikenal mengalami proses metamorfosis. Katak, yang
mula-mula hidup di air lalu pindah ke darat, merupakan contoh yang lain. Hal
ini tak ada kaitannya dengan evolusi, karena teori evolusi berusaha menjelaskan
proses munculnya keberagaman di antara makhluk hidup melalui peristiwa mutasi
yang terjadi secara tidak disengaja. Akan tetapi, metamorfosis tidak memiliki
kesamaan apa pun dengan pernyataan tersebut. Metamorfosis merupakan proses yang
sudah direncanakan, dan tidak ada kaitannya dengan mutasi ataupun faktor kebetulan.
Metamorfosis tidaklah disebabkan oleh kebetulan. Penyebab proses ini adalah
data genetis yang sudah menjadi bagian terpadu makhluk tersebut sejak lahir.
Misalnya, katak memiliki informasi genetis yang memungkinkannya hidup di darat
serta di bawah permukaan air. Bahkan saat masih berbentuk larva, seekor nyamuk
memiliki informasi genetis tentang bentuk pupa dan dewasa. Hal serupa juga
terdapat pada semua hewan yang mengalami metamorfosis.
Metamorfosis adalah bukti
penciptaan
Penelitian ilmiah terakhir
tentang metamorfosis telah menunjukkan bahwa peristiwa metamorfosis adalah
proses rumit yang dikendalikan oleh beberapa gen yang berlainan. Dalam
metamorfosis katak, misalnya, proses yang menyangkut ekor dikendalikan oleh
lebih dari dua belas gen. Artinya, proses
pembentukan ekor terjadi berkat adanya kerja sama antara beberapa bagian. Ini
merupakan proses biologi yang menunjukkan ciri irreducible complexity, atau “kerumitan tak tersederhanakan”, yang
berarti metamorfosis adalah bukti akan adanya penciptaan.
Irreducible
complexity adalah konsep dalam
dunia ilmiah yang diungkapkan oleh Profesor Michael Behe, ahli biokimia yang
dikenal atas penelitiannya yang membuktikan ketidakabsahan teori evolusi. Arti
konsep ini adalah organ dan sistem kompleks berfungsi sebagai hasil kerja sama
berbagai bagian penyusunnya, dan jika saja satu bagian terkecil tidak
berfungsi, maka seluruh sistem atau organ akan berhenti pula. Struktur yang
rumit ini tidak mungkin muncul secara kebetulan, berubah sedikit demi sedikit seperti
yang diungkapkan oleh teori evolusi. Yang terjadi dalam peristiwa metamorfosis
adalah irreducible complexity
(kerumitan tak tersederhanakan). Proses metamorfosis terjadi melalui
keseimbangan dan pewaktuan hormon yang sangat teliti, yang dipengaruhi oleh
beragam gen. Kesalahan terkecil sekali pun akan mengakibatkan kematian makhluk
hidup tersebut. Oleh sebab itu, tidak mungkin proses serumit ini dapat terjadi
secara kebetulan dan bertahap. Karena kesalahan sekecil apa pun akan
mengakibatkan kematian hewan tersebut, adalah mustahil menjelaskan peristiwa
ini dengan mekanisme “trial and error”
(coba-coba) atau seleksi alam, seperti pendapat evolusionis. Tidak ada satu pun
makhluk yang dapat bertahan berjuta-juta tahun, untuk menunggu bagian tubuh
yang diperlukannya muncul secara kebetulan.
Mengingat semua hal di atas, jelaslah bahwa
metamorfosis tidak membuktikan kebenaran teori evolusi, seperti yang
diasumsikan oleh sebagian orang yang kurang paham tentang metamorfosis.
Sebaliknya, apabila kita renungkan betapa rumitnya proses dan sistem pengendali
metamorfosis, hewan-hewan yang mengalami metamorfosis adalah bukti yang jelas
akan fakta penciptaan.
18
MENGAPA DNA TIDAK MUNGKIN DIJELASKAN SEBAGAI SEBUAH
“KEBETULAN”?
Dengan tingkat ilmu pengetahuan yang telah dicapai
kini, kita menyaksikan bahwa berbagai rancangan dan sistem kompleks yang jelas
terdapat dalam makhluk hidup tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagai
contohnya, berkat pencapaian Proyek Genom Manusia (Human Genome Project) belakangan ini, kita dapat melihat rancangan
yang menakjubkan serta kandungan informasi yang sangat banyak yang terdapat di
dalam gen manusia.
Dalam kerangka proyek tersebut, ilmuwan dari berbagai
negara - dari Amerika serikat sampai Cina - telah 10 tahun bekerja untuk memecahkan
3 miliar kode kimia yang terdapat di dalam DNA. Sebagai hasilnya, kini hampir
semua informasi dalam gen manusia telah disusun secara berurut.
Walaupun kemajuan yang telah
dicapai sangatlah menggairahkan dan merupakan perkembangan yang penting, seperti
Dr. Fancis Collins, pimpinan Proyek Genome Manusia katakan, bahwa ini hanyalah
langkah pertama dalam memecahkan kode informasi yang terkandung di dalam DNA.
Guna memahami mengapa diperlukan
waktu 10 tahun dan ratusan ilmuwan untuk menyingkapkan kode-kode pembentuk
informasi ini, kita harus lebih dahulu memahami besarnya informasi yang
terkandung dalam DNA.
DNA menyingkapkan adanya sumber
pengetahuan yang tak terhingga
DNA dari satu sel manusia saja
sudah berisi informasi yang cukup untuk mengisi ensiklopedi yang terdiri dari
sejuta halaman. Kita tidak mungkin habis membacanya dalam seumur hidup. Jika
seseorang mulai membaca satu kode DNA per detik, tanpa henti, sepanjang hari,
setiap hari, akan diperlukan waktu 100 tahun. Sebab, ensiklopedia tersebut
berisi hampir tiga miliar kode yang berbeda-beda. Jika kita tulis semua
informasi DNA pada kertas, maka panjangnya akan membentang dari Garis
Katulistiwa mencapai Kutub Utara. Ini berarti sekitar 1000 jilid buku – lebih
dari cukup untuk mengisi satu perpustakaan yang besar.
Lebih dari itu, semua informasi
ini terkandung dalam inti setiap sel. Artinya, bila setiap individu terdiri
dari sekitar 100 triliun buah sel, maka akan terdapat 100 triliun versi dari
perpustakaan yang sama.
Bila dibandingkan dengan jumlah
informasi yang telah dicapai pengetahuan manusia hingga saat ini, kita tidak
mungkin memberikan contoh yang setara besarnya. Sebuah gambaran yang sulit
untuk dipercaya: 100 triliun x 1000 buku! Ini lebih banyak dibandingkan jumlah
butir pasir di dunia. Lebih jauh lagi, jika kita kalikan jumlah tersebut dengan
enam miliar yang kini hidup di Bumi, ditambah miliaran yang telah hidup sebelum
kita, angka yang didapatkan akan berada di luar jangkauan pemahaman kita.
Jumlah informasi itu mencapai ketakterhinggaan.
Beberapa contoh ini menunjukkan
betapa dahsyatnya informasi yang begitu dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Kini manusia memiliki komputer canggih yang dapat menyimpan
informasi dalam jumlah amat besar. Akan tetapi, bila kita bandingkan DNA dengan
komputer tersebut, kita akan takjub menyaksikan bahwa teknologi paling mutakhir
– hasil timbunan seluruh usaha dan ilmu pengetahuan manusia berabad-abad –
belum mencapai kapasitas penyimpanan satu buah sel pun.
Gene Myers adalah salah satu
pakar paling terkemuka di Celera Genomics, yakni perusahaan pelaksana Proyek
Genome Manusia. Perkataannya sehubungan dengan hasil proyek tersebut merupakan
sebuah pernyataan tentang pengetahuan dan rancangan hebat yang terdapat dalam
DNA: “Apa yang betul-betul menakjubkan
saya adalah arsitektur kehidupan … Sistem ini teramat kompleks. Seolah ini
telah dirancang … Ada kecerdasan luar biasa di sana.”68
Sisi menarik lainnya adalah semua
makhluk hidup di planet ini telah diciptakan menurut paparan kode yang ditulis
dalam bahasa yang sama ini. Tidak ada bakteri, tumbuhan ataupun hewan yang
tercipta tanpa DNA. Terlihat jelas bahwa seluruh kehidupan muncul sebagai hasil
berbagai pemaparan yang menggunakan satu bahasa, dan berasal dari sumber
pengetahuan yang sama.
Hal ini membawa kita kepada satu
kesimpulan yang jelas. Semua kehidupan di bumi, hidup dan berkembang biak
menurut informasi yang diciptakan oleh satu kecerdasan tunggal.
Hal ini menjadikan teori evolusi
sama sekali tak berarti. Sebabnya adalah, dasar teori evolusi adalah
“kebetulan”, sedangkan peristiwa kebetulan tidak mampu menciptakan informasi.
Jika suatu hari ditemukan sebuah ramuan obat yang sanggup melawan kanker
tertulis di sehelai kertas, umat manusia akan bergabung untuk mencari tahu
siapa ilmuwan yang terkait, serta bahkan memberikan penghargaan kepadanya. Tak
seorang pun akan berpikir, “Jangan-jangan ramuan obat itu kebetulan tertulis
akibat tumpahan tinta di kertas itu.” Setiap orang yang berakal dan mampu
berpikir jernih akan beranggapan bahwa ramuan itu ditulis oleh seseorang yang
telah mengkaji ilmu-ilmu kimia, fisiologi manusia, kanker dan farmakologi,
secara mendalam.
Pernyataan evolusionis, bahwa
informasi pada DNA timbul secara kebetulan, sangatlah tidak masuk akal. Hal ini
setara dengan mengatakan bahwa ramuan obat pada kertas tersebut juga tertulis
secara kebetulan. DNA mengandung rumus molekul terperinci dari 100.000 jenis
protein dan enzim, sekaligus perintah yang cermat namun rumit tentang
pengaturan penggunaan zat-zat tersebut selama produksi. Disamping itu, juga
terkandung rencana produksi berbagai hormon pembawa-pesan serta tata-cara
komunikasi antar-sel tempat di mana zat-zat tersebut digunakan, serta segala
jenis informasi lain yang rumit dan tertentu.
Pernyataan yang mengatakan bahwa
DNA – beserta semua informasi di dalamnya – tercipta secara kebetulan, atau
terjadi karena sebab-sebab alamiah, adalah cermin ketidakpahaman atas
permasalahan yang ada atau keyakinan buta materialis. Gagasan yang mengatakan
bahwa sebuah molekul seperti DNA – beserta kandungan informasinya yang
menakjubkan dan strukturnya yang kompleks – dapat dihasilkan secara kebetulan,
tidak pantas dianggap serius. Tidaklah mengherankan, para evolusionis berusaha
memberi penjelasan dangkal perihal sumber kehidupan, seperti juga berbagai
perihal lainnya, dengan menjabarkannya sebagai “rahasia yang belum
terpecahkan”.
19
MENGAPA KEKEBALAN BAKTERI
TERHADAP ANTIBIOTIK BUKANLAH CONTOH PERISTIWA EVOLUSI?
Satu konsep biologi yang
dicoba-sajikan sebagai bukti teori evolusi oleh para evolusionis adalah
kekebalan atau daya tahan bakteri terhadap antibiotik. Banyak sumber
evolusionis menyebutkan bahwa kekebalan terhadap antibiotik adalah sebuah
contoh perkembangan makhluk hidup melalui mutasi yang menguntungkan. Hal serupa
juga dikatakan tentang serangga yang menjadi kebal terhadap insektisida seperti
DDT.
Akan tetapi, kaum evolusionis pun
salah dalam hal ini.
Antibiotik adalah “molekul
pembunuh” yang dihasilkan mikroorganisme untuk melawan mikroorganisme lain. Antibiotik pertama adalah penisilin, yang ditemukan
oleh Alexander Flemming pada 1928. Flemming menyadari bahwa jamur (seringkali
ditemukan seperti bubuk atau benang-benang di permukaan bahan organik sudah
lama – penerj.) menghasilkan molekul yang mematikan bakteri Staphylococcus, dan penemuan ini
merupakan titik balik dalam dunia obat-obatan. Antibiotik yang diambil dari
berbagai organisme digunakan untuk melawan bakteri, dan berhasil.
Tidak lama kemudian, hal baru ditemukan. Seiring
dengan waktu, bakteri mengembangkan kekebalan terhadap antibiotik. Mekanisme
kerjanya adalah sebagai berikut: sebagian besar bakteri yang diberi antibiotik
akan mati, tetapi sebagian lain yang tidak terpengaruh oleh antibiotik
tersebut, akan dengan cepat berkembang biak dan membentuk populasi yang sama dengan
yang sebelumnya. Sehingga, seluruh populasi menjadi kebal terhadap antibiotik.
Para
evolusionis menampilkan hal ini sebagai “evolusi bakteri dengan cara
beradaptasi terhadap lingkungan”.
Akan tetapi, kenyataan sebenarnya jauh berbeda dengan
penafsiran dangkal ini. Salah seorang ilmuwan yang telah melakukan penelitian
mendalam di bidang ini adalah ahli biofisika Israel bernama Lee Spetner, yang
juga dikenal dengan bukunya Not by Chance
yang terbit tahun 1997. Spetner menyatakan, kekebalan bakteri terjadi karena
dua mekanisme; namun tak satu pun dari keduanya merupakan bukti teori evolusi.
Kedua mekanisme ini adalah:
1.
Perpindahan (transfer) gen-gen kekebalan yang sudah ada pada bakteri.
2.
Tumbuhnya kekebalan sebagai akibat hilangnya data genetis karena mutasi.
Mekanisme yang pertama dibahas Profesor Spetner dalam
artikel yang terbit tahun 2001:
Sejumlah mikroorganisme dilengkapi dengan gen-gen yang
memberikan kekebalan terhadap antibiotik-antibiotik ini. Kekebalan ini dapat
berupa kemampuan merombak molekul antibiotik tersebut, atau mengeluarkannya
dari sel … [O]rganisma yang memiliki gen-gen ini dapat memindahkannya ke
bakteri lain, sehingga menjadikan bakteri tersebut kebal juga. Walaupun
mekanisme kekebalan tersebut bersifat khusus terhadap satu antibiotik tertentu,
kebanyakan bakteri patogen telah … berhasil mengumpulkan beberapa perangkat gen
yang memberikan bakteri-bakteri tersebut kekebalan terhadap beberapa jenis
antibiotik.69
Spetner lalu melanjutkan dan berkata bahwa hal ini
bukanlah “bukti yang mendukung evolusi”:
Perolehan kekebalan terhadap antibiotik dengan cara
ini… bukanlah sesuatu yang dapat menjadi contoh dari mutasi yang diperlukan
untuk menjelaskan peristiwa Evolusi… Perubahan genetik yang dapat mendukung
teori ini semestinya tidak hanya menambahkan informasi pada genom bakteri.
Perubahan genetik ini harus pula menambahkan informasi baru pada biokosmos.
Perpindahan gen secara horisontal hanya menyebabkan penyebaran gen-gen yang
sudah ada pada sejumlah spesies.70
Jadi, kita tak dapat berbicara tentang evolusi apa pun
di sini, karena tidak ada informasi genetis baru dihasilkan: yang terjadi
hanyalah informasi genetis yang sudah ada sekedar dipindahkan di antara
bakteri.
Jenis kekebalan yang kedua, yang tercipta sebagai
hasil mutasi, juga bukan contoh evolusi. Spetner menulis:
… [S]uatu mikroorganisme kadang dapat memperoleh
kekebalan terhadap suatu antibiotik melalui penggantian acak sebuah nukleotida…
Streptomisin, yang ditemukan Selman Waksman dan Albert Schatz, dan pertama kali
dilaporkan di tahun 1944, adalah antibiotik yang dapat menjadikan bakteri dapat
memperoleh kekebalan dengan cara itu. Tetapi, walaupun mutasi yang mereka alami
dalam proses ini bersifat menguntungkan bagi mikroorganisme yang diberi
streptomisin, mutasi tersebut tidak dapat menjadi contoh dari jenis mutasi yang
diperlukan untuk mendukung Teori Neo-Darwinian (Neo Darwinian Theory atau NDT). Jenis mutasi yang memunculkan
kekebalan terhadap streptomisin terjadi pada ribosom, dan menghilangkan
kemampuan sel untuk mengenali dan berikatan dengan molekul antibiotik.71
Dalam bukunya Not
by Chance, Spetner mengibaratkan situasi ini dengan gangguan pada hubungan
antara kunci dan lubangnya. Streptomisin, ibarat kunci yang cocok dengan
lubangnya, mencengkeram ribosom suatu bakteri dan menjadikannya tidak aktif.
Mutasi menyebabkan hal sebaliknya, menguraikan ribosom, sehingga streptomisin
tidak dapat menyerang ribosom. Walaupun ini ditafsirkan sebagai “pembentukan
kekebalan bakteri terhadap streptomisin”, bakteri tidaklah diuntungkan, malah
sebaliknya. Spetner menulis:
Perubahan ini, yang terjadi pada permukaan ribosom
mikroorganisme, mencegah molekul streptomisin untuk menempel dan melaksanakan
fungsi antibiotiknya. Ternyata, terurainya ribosom adalah berupa hilangnya
struktur khusus, dan ini berarti hilangnya informasi. Intinya adalah, Evolusi…
tidak dapat dicapai dengan mutasi jenis ini, tak menjadi soal betapa pun
banyaknya. Evolusi tidak dapat terjadi melalui timbunan peristiwa mutasi yang
hanya merombak struktur khusus.72
Singkatnya, sebuah mutasi yang terjadi pada ribosom
bakteri telah menjadikan bakteri tersebut kebal terhadap streptomisin.
Alasannya adalah “rusak atau hilangnya bagian” ribosom akibat mutasi. Jadi,
tidak ada informasi genetis baru yang ditambahkan. Sebaliknya, struktur ribosom
terurai, yang berarti, bakteri menjadi “cacat”. (Juga, telah ditemukan bahwa
ribosom pada bakteri yang telah mengalami mutasi tidak berfungsi penuh seperti
ribosom pada bakteri yang normal.) Karena “cacat” ini mencegah menempelnya
antibiotik pada ribosom, maka terjadilah “kekebalan terhadap antibiotik”.
Akhirnya, tidak terdapat contoh mutasi yang
“mengembangkan informasi genetis”. Para
evolusionis, yang ingin menyajikan kekebalan terhadap antibiotik sebagai bukti
evolusi, telah menangani masalah ini dengan tidak sungguh-sungguh, sehingga
mereka salah.
Sama halnya dengan terjadinya kekebalan serangga
terhadap DDT dan insektisida sejenis. Pada umumnya, gen-gen kekebalan yang
sudah ada, digunakan. Ahli biologi evolusioner, Francisco Ayala mengakui fakta
ini, dan berkata: “Varian genetis yang
dibutuhkan untuk terjadinya kekebalan terhadap jenis pestisida yang paling
bervariasi sekali pun, tampaknya sudah ada dalam setiap populasi yang terkena
senyawa-senyawa buatan manusia ini.”73 Contoh lain yang dijelaskan
dengan mutasi, seperti halnya mutasi ribosom yang telah diceritakan di atas,
adalah fenomena yang menyebabkan “berkurangnya informasi genetis” pada
serangga.
Dalam kasus ini, mekanisme kekebalan pada bakteri dan
serangga tidak bisa dinyatakan sebagai bukti kebenaran teori evolusi. Hal ini
berlaku karena teori evolusi menegaskan bahwa makhluk hidup berkembang melalui
mutasi. Namun, Spetner menjelaskan bahwa kekebalan antibiotik maupun fenomena
biologis lainnya bukanlah isyarat adanya mutasi semacam itu:
Mutasi-mutasi yang diperlukan
bagi terjadinya makro-evolusi belum pernah teramati. Tidak ada mutasi acak –
yang dapat menjadi bukti mutasi yang dibutuhkan Teori Neo-Darwinis – pada
tingkat molekuler, yang telah menambahkan sedikit pun informasi. Pertanyaan
yang saya ajukan adalah: Apakah mutasi yang telah diamati merupakan jenis yang
diperlukan untuk mendukung teori ini? Ternyata jawabnya adalah TIDAK! 74
20
HUBUNGAN APAKAH YANG TERDAPAT
ANTARA PENCIPTAAN DAN ILMU PENGETAHUAN?
Seperti telah ditunjukkan dalam semua pertanyaan
yang telah kami paparkan sejauh ini, teori evolusi benar-benar bertentangan
dengan berbagai penemuan ilmiah. Teori ini, yang lahir pada saat tingkat ilmu
pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, telah digugurkan oleh berbagai penemuan
ilmiah secara berturut-turut.
Kaum evolusionis, yang secara
membabi-buta mendukung teori tersebut, mencari jalan keluar dengan ungkapan
dusta, karena tidak ada lagi dasar ilmiah yang tersisa. Yang paling sering
dilakukan adalah penggunaan ucapan yang seringkali dilontarkan “penciptaan
adalah keyakinan atau iman, jadi bukan bagian dari ilmu pengetahuan”.
Selanjutnya, pernyataan ini menegaskan bahwa evolusi adalah teori ilmiah,
sedangkan penciptaan hanyalah sebuah keyakinan. Namun, pengulangan ucapan “evolusi
adalah ilmiah, sedangkan penciptaan adalah keyakinan” sebenarnya berasal dari
sudut pandang yang salah. Mereka yang terus mengulanginya adalah orang-orang
yang mengacaukan ilmu pengetahuan dengan filsafat materialis. Mereka yakin
bahwa ilmu pengetahuan harus tetap berada dalam batas-batas materialisme, dan
mereka yang tidak materialis tidak berhak membuat pernyataan apa pun. Namun,
ilmu pengetahuan itu sendiri menolak materialisme.
Mengkaji materi tidak sama dengan
menjadi seorang materialis
Marilah, secara singkat, kita tentukan arti
materialisme agar masalah ini dapat kita pelajari dengan lebih rinci.
Materialisme adalah filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Dasar
filsafat ini adalah gagasan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi.
Berdasarkan filsafat materialis, materi sudah ada sejak awal, dan akan selalu
ada untuk selamanya. Tidak ada sesuatu apa pun selain materi. Namun, pernyataan
ini tidaklah ilmiah, karena tidak bisa diuji dalam percobaan dan pengamatan.
Ini hanyalah suatu keyakinan, suatu dogma.
Akan tetapi, dogma ini berbaur
dengan ilmu pengetahuan di abad ke-19, bahkan menjadi landasan berpijak bagi
ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, ilmu pengetahuan tidak harus menerima
materialisme. Ilmu pengetahuan mengkaji alam dan jagat raya, dan hasil kajian
tersebut tidaklah dibatasi oleh penggolongan filsafat apa pun.
Menghadapi hal ini, beberapa
orang materialis sering membela diri dengan sekedar permainan kata. Mereka
berkata, “Materi adalah satu-satunya bahan kajian ilmu pengetahuan, karena itu,
ilmu pengetahuan haruslah bersifat materialis.” Ya, ilmu pengetahuan hanya
mengkaji materi, tetapi “mengkaji materi” adalah hal yang sangat berbeda dengan
“menjadi seorang materialis”. Sebabnya adalah, saat kita mengkaji materi, kita sadar
bahwa materi mengandung pengetahuan dan rancangan yang begitu dahsyat, sehingga
mustahil dihasilkan oleh materi itu sendiri. Kita paham bahwa pengetahuan dan
rancangan tersebut adalah hasil karya sebuah kecerdasan, walaupun kita tidak
bisa melihatnya secara langsung.
Sebagai contoh, bayangkanlah sebuah gua. Kita tidak
tahu apakah gua itu pernah dimasuki orang atau belum. Jika, saat kita memasuki
gua itu, yang ditemukan hanyalah tanah, debu dan batu, dapat kita simpulkan
bahwa di sana
tak ada apa-apa selain materi yang tersebar secara acak. Namun, apabila di
dinding gua terdapat lukisan-lukisan yang bagus dengan warna-warni mengagumkan,
dapat kita duga bahwa ada makhluk cerdas yang pernah masuk di gua itu sebelum
kita. Mungkin kita tidak dapat langsung melihat makhluk itu, tetapi
keberadaannya dapat kita simpulkan dari apa yang dihasilkannya.
Ilmu pengetahuan menentang materialisme
Ilmu pengetahuan mengkaji alam ini dengan cara yang
sama seperti dijelaskan dalam contoh di atas. Jika semua rancangan di alam ini
dapat dijelaskan dengan penyebab-penyebab yang bersifat materi semata, maka
ilmu pengetahuan memperkuat materialisme. Namun, ilmu pengetahuan modern telah
mengungkapkan bahwa di alam ini terdapat suatu rancangan yang tak bisa
dijelaskan dengan penyebab bersifat materi, dan bahwa segenap materi mengandung
suatu rancangan yang diciptakan oleh Sang Pencipta.
Contohnya, semua percobaan dan pengamatan membuktikan
bahwa materi itu sendiri tidak dapat menghasilkan kehidupan. Karena itu,
makhluk hidup pastilah hasil dari sebuah penciptaan metafisik. Semua percobaan
evolusionis ke arah ini berakhir dengan kegagalan. Kehidupan tidak mungkin
diciptakan dari materi tak-hidup. Ahli biologi evolusionis Andrew Scott membuat
pengakuan berikut mengenai masalah tersebut dalam jurnal terkenal New Scientist:
Ambillah sejumlah materi, panaskan sambil diaduk, dan
tunggulah. Itulah Genesis versi modern. Gaya-gaya “dasar”, yakni gravitasi,
elektromagnetisme, serta gaya ikat inti atom
yang kuat dan lemah dianggap sebagai gaya
yang menyempurnakan proses tersebut… Tetapi, seberapa jauhkah kisah yang
disusun sangat baik ini telah benar-benar terbukti, dan seberapa besarkah yang
masih berupa dugaan yang penuh harap? Sebenarnya, mekanisme dari hampir seluruh
tahapan utama, dari zat-zat kimiawi pembentuk, hingga sel-sel yang paling awal
diketahui, masih menjadi bahan persengketaan, atau, kalau tidak, pastilah
merupakan kebingungan yang menyeluruh. 75
Akar kehidupan didasarkan pada dugaan dan perdebatan
karena dogma materialis bersikeras menyatakan bahwa kehidupan merupakan hasil
dari materi. Akan tetapi, fakta-fakta ilmiah menunjukkan bahwa materi tidak
memiliki kekuatan seperti itu. Profesor Fred Hoyle, ahli matematika dan
astronomi yang dianugerahi gelar kebangsawanan untuk sumbangsihnya bagi ilmu
pengetahuan, memberi ulasan berikut tentang hal ini:
Jika terdapat sifat mendasar materi yang
melalui suatu cara dapat mendorong sistem organik mengarah pada terbentuknya
kehidupan, maka keberadaannya haruslah dapat diperlihatkan di laboratorium. Misalnya, seseorang bisa saja menggunakan bak kolam
renang sebagai ganti “ramuan sop purba”. Isilah bak itu dengan zat-zat kimia
non-biologis mana pun yang Anda sukai. Pompakan gas ke atasnya, atau ke
dalamnya, sesuka Anda, dan sinarilah dengan radiasi jenis apa pun yang Anda
kehendaki. Biarkan percobaan ini berlangsung selama setahun, dan lihatlah ada
berapa dari 2000 tersebut (protein yang dibuat dan dihasilkan sel hidup) yang
muncul dalam bak ramuan itu. Saya akan memberi jawabannya, dan ini akan
menghemat waktu, tenaga dan biaya melakukan percobaan secara sungguhan. Anda
tak akan mendapatkan apa pun, selain (mungkin) endapan berlendir terapung yang
terdiri atas asam-asam amino serta zat-zat kimia organik sederhana lainnya.76
Sebenarnya, materialisme sedang menghadapi kesulitan
yang lebih buruk. Materi tak bisa membentuk kehidupan, walaupun diberi waktu
serta digabungkan dengan pengetahuan manusia – apalagi tanpa faktor-faktor
tersebut.
Kebenaran, yang baru saja kita tinjau sekilas adalah
kebenaran bahwa materi itu sendiri tidak dapat merancang dan tidak
berpengetahuan. Namun, jagat raya dan makhluk hidup di dalamnya mengandung
rancangan dan pengetahuan yang luar biasa kompleks. Ini menunjukkan bahwa
rancangan dan pengetahuan dalam jagat raya serta makhluk hidup adalah karya
Pencipta yang memiliki kekuasaan serta pengetahuan yang tak terhingga –
Pencipta yang telah ada sebelum materi itu sendiri ada, serta menguasai dan
mengendalikannya.
Jika kita teliti dengan cermat, inilah kesimpulan yang
ilmiah sepenuhnya. Ini bukanlah “keyakinan”, melainkan kebenaran yang diperoleh
sebagai hasil pengamatan akan jagat raya dan makhluk hidup yang menghuninya.
Karena itulah, pendapat evolusionis “Evolusi adalah ilmiah, sedangkan
penciptaan adalah keyakinan di luar wilayah ilmu pengetahuan” merupakan tipuan
yang dangkal. Memang, pada abad ke-19, materialisme dikacaukan dengan ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan terbawa ke luar jalur oleh dogma materialis.
Namun, perkembangan selanjutnya, di abad ke-20 dan ke-21, telah sepenuhnya
menggugurkan keyakinan kuno itu. Dan, kebenaran penciptaan, yang tadinya terhalang
materialisme, kini pun tampak. Seperti jelas dinyatakan majalah terkenal
Newsweek, dalam edisi 27 Juli 1998-nya yang bersejarah, dengan berita utama
yang berjudul Science Finds God (Ilmu
Pengetahuan Menemukan Tuhan) – di balik penipuan materialis, ilmu pengetahuan
menemukan Tuhan, Pencipta alam semesta dengan segala sesuatu yang ada di
dalamnya.
CATATAN
1.
Francis Crick, Life Itself: Its Origin and Nature,
New York,
Simon & Schuster, 1981, hal. 88
2.
Ali Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Inheritance and
evolution), Meteksan Publishing Co., Ankara,
1984, hal. 39
3.
Homer Jacobson, “Information, Reproduction and the
Origin of Life,” American Scientist, Januari 1955, hal. 121.
4.
Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, hal. 197
5.
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of
Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 25 (penekanan
ditambahkan).
6.
Stephen C. Meyer, P. A. Nelson, dan Paul Chien, The
Cambrian Explosion: Biology’s Big Bang, 2001, hal. 2
7.
Richard Monastersky, “Mysteries of the Orient,”
Discover, April 1993, hal. 40. (penekanan ditambahkan)
8.
Phillip E. Johnson, “Darwinism’s Rules of Reasoning”
dalam Darwinism, Science and Philosophy oleh Buell Hearn, Foundation for
Thoughts and Ethics, 1994, hal. 12. (penekanan ditambahkan)
9.
Ian Anderson, “Who made the Laetoli footprints?” New
Scientists, vol. 98, 12 Mei 1983, hal. 373.
10.
D. Johanson & M. A. Edey, Lucy: The Beginnings
of Humankind, New York:
Simon & Schuster, 1981, hal. 250
11.
R. H. Tuttle, Natural History, Maret 1990, hal.
61-64
12.
D. Johanson, Blake Edgar, From Lucy to Language,
hal. 169
13.
D. Johanson, Blake Edgar, From Lucy to Language,
hal. 173
14.
Boyce Rensberger,
Washington Post, 19 Oktober 1984, hal. A11
15.
“Is This The Face of Our Past,” Discover,
Desember 1997, hal. 97-100
16.
Villee, Solomon dan Davis, Biology, Saunders College
Publishing, 1985, hal.1053
17.
Hominoid Evolution and Climatic Change in Europe, Volume 2, disunting oleh Louis de
Bonis, George D. Koufos, Peter Andrews, Cambridge University Press
18.
Daniel E. Liebermann, “Another face in our family
tree,” Nature, 22 Maret, 2001 (penekanan ditambahkan).
19.
John Whitfield, “Oldest member of human family found”, Nature,
11 Juli 2002
20.
D. L. Parsell, “Skull Fossil From Chad Forces
Rethinking of Human Origins,” National Geographic News, 10 Juli, 2002
21.
John Whitfield, “Oldest member of human family found”, Nature,
11 Juli 2002
22.
The Guardian, 11 Juli 2002
23.
Arda Denkel, Cumhuriyet Bilim Teknik Eki (Bagian
iptek pada surat
kabar Cumhuriyet di Turki), 27 Februari, 1999
24.
G. W. Harper, “Alternatives to Evolution,” School
Science Review, volume 61, September 1979, hal. 26
27. Karen Hopkin, “The Greatest Apes”, New Scientist, vol.
62, nomor 2186, 15 Mei 1999, hal. 27 (penekanan ditambahkan)
28.
Hurriyet, 24 Februari 2000 (penekanan ditambahkan)
29.
Harun Yahya, Darwinism Refuted, hal. 207 – 222
30.
Nature, vol. 382, 1 Agustus, 1996, hal. 401
31.
Carl O. Dunbar, Historical Geology, John Wiley
and Sons, New York,
1961, hal. 310
32.
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate
Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 280-281
33.
L. D. Martin, J.D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk,
vol. 97, 1980, hal. 86
34.
L. D. Martin, J.D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk,
vol. 97, 1980, hal. 86; L. D. Martin, “Origins of the Higher Groups of
Tetrapods,” Ithaca, Comstock Publishing
Association, New York,
1991, hh. 485-540
35.
S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the
Linnaean Society, vol. 69, 1980, hal. 149; A. D. Walker, Geological
Magazine, vol. 117, 1980, hal. 595
36.
A. D. Walker, deskripsi dalam Peter Dodson,
“International Archaeopteryx Conference,” Journal of Vertebrate Paleontology
5(2):177, Juni 1985
37.
Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery
Publishing, 2000, hal. 117
38.
Richard L. Deem, “The Demise of the ‘Birds Are
Dinosaurs’ Theory,” http://www.yfiles.com/dinobird2.html
39.
“Scientists say ostrich study confirms bird ‘hands’
unlike those of dinosaurs,” http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php
40.
“Scientists say ostrich study confirms bird ‘hands’
unlike those of dinosaurs,” http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php
41.
Ann Gibbons, “Plucking the Feathered Dinosaur,” Science,
vol. 278, no. 5341, 14 November 1997, hh. 1229-130
42.
“Forensic Paleontology: The Archaeoraptor Forgery,” Nature,
29 Maret, 2001
43.
Storrs L. Olson “OPEN LETTER TO: Dr. Peter
Raven, Secretary, Committee for Research and Exploration, National
Geographic Society Washington
DC 20036,”
Smithsonian Institution, 1 November 1999.
44.
Tim Friend, “Dinosaur-bird link smashed in fossil
flap,” USA Today, 25 Januari 2000 (penekanan ditambahkan)
45.
G. G. Simpson, W. Beck, An Introduction to Biology,
Harcourt Brace and World, New York, 1965, hal. 241
46.
Ken McNamara, “Embryos and Evolution,” New Scientist,
vol. 12416, 16 Oktober 1999, (penekanan ditambahkan)
47.
Keith S. Thompson, “Ontogeny and Phylogeny
Recapitulated,” American Scientist, vol. 76, Mei/Juni 1988, hal. 273
48.
Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where
Darwin Went Wrong, Ticknor and Fields, New York, 1982, hal. 204
49.
Elizabeth Pennisi, “Haeckel’s Embryos: Fraud
Rediscovered,” Science, 5 September
50.
Elizabeth Pennisi, “Haeckel’s Embryos: Fraud
Rediscovered,” Science, 5 September (penekanan ditambahkan)
51.
Massimo Pigliucci, Rationalists of East
Tennessee Book Club Discussion, Oktober 1997
52.
Evrim Kurami Konferansi (Conference on the Theory of
Evolution), Istanbul
Universitesi Fen Fakultesi (Universitas Istanbul, Jurusan Ekonomi), 3 Juni 1998
53.
Leonard M. S., 1992. Removing third molars: a review
for the general practitioner. Journal of the American Dental Association,
123(2): 77-82
54.
M. Leff, 1993. Hold on to your wisdom teeth. Consumer
reports on Health, 5(8):4-85
55.
Daily T. 1996. Third molar prophylactic extraction: a review and
analysis of the literature. General Dentistry, 44(4):310-320
56.
Evrim Kurami Konferansi (Conference on the Theory of
Evolution), Istanbul
Universitesi Fen Fakultesi (Universitas Istanbul, Jurusan Sains), 3 Juni 1998
57.
http://www.icr.org/creationproducts/creationscienceproducts/Variation_and_Fixity_in_Nature.html (penekanan ditambahkan)
58.
David Raup, “Conflicts Between Darwin and Paleontology,” Bulletin, Field
Museum of Natural History, vol. 50, Januari 1979, hal.24
59.
Charles Darwin, The Origin of Species, 1859,
hal. 313-314, (penekanan ditambahkan)
60.
Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Record,” Proceedings
of the British Geological Association, vol. 87, 1976, hal. 133, (penekanan
ditambahkan).
61.
Science, Philosophy and Religion, A Symposium, diterbitkan oleh Conference on
Science, Philosophy, and Religion in Their Relation to the Democratic Way of
Life, Inc., New York, 1941 (penekanan ditambahkan)
62.
Max Planck, Where Is Science Going?, Allen &
Unwin, 1933, hal. 214, (penekanan ditambahkan)
63.
“Hoyle on Evolution”, Nature, vol. 294, 12
November, 1981, hal. 105
64.
Collin Patterson, “Cladistics,” wawancara Brian Leek,
pewawancara Peter Franz, 4 Maret, 1982, BBC (penekanan ditambahkan)
65.
B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner of Truth Trust,
1988
66.
N. Eldredge dan I. Tattersall, The Myths of Human
Evolution, Columbia University Press, 1982, hal. 59
67.
R. Wesson, Beyond Natural Selection, MIT Press,
Cambridge, MA, 1991, hal. 45
68.
“Human Genome Map Has Scientists Talking About the
Divine” oleh Tom Abate, San Francisco Chronicle, 19 Februari 2001
(penekanan ditambahkan).
69.
Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue:
Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
70.
Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue:
Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
71.
Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue:
Continuing an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
72.
Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue: Continuing
an Exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
73.
Francisco J. Ayala, “The Mechanisms of Evolution,” Scientific
American, vol. 239, September 1978, hal. 64, (penekanan ditambahkan)
74.
Dr. Lee Spetner, “Lee Spetner/Edward Max Dialogue:
Continuing an exchange with Dr. Edward E. Max,” 2001, http://www.trueorigin.org/spetner2.asp
75.
Andrew Scott, “Update on Genesis,” New Scientist,
vol. 106, 2 Mei 1985, hal. 30
76.
Fred Hoyle, The Intelligent Universe, Michael
Joseph, London,
1983, hal. 20-21