Rabu, 24 Mei 2017

tafsir - surah Luqman 12-15




بسم الله الرحمن الرحيم

Surat Luqman terdiri dari 34 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Ash Shaffaat. Dinamai Luqman karena pada ayat 12 disebutkan bahwa Luqman telah diberi oleh Allah nikmat dan ilmu pengetahuan, oleh sebab itu dia bersyukur kepadaNya atas nikmat yang diberikan itu. Dan pada ayat 13 sampai 19 terdapat nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. Ini adalah sebagai isyarat daripada Allah supaya setiap ibu bapak melaksanakan pula terhadap anak-anak mereka sebagai yang telah dilakukan oleh Luqman.Dalam surah ini yang memiliki asbabun nuzul hanya 2 ayat yaitu ayat 6 dan ayat 27. 

Dalam ayat yang ke-12 hingga ke-15 terdapat penjelasan dari ALLAH Swt, tentang Luqman yang telah diberikan  hikmah oleh ALLAH Swt, perintah untuk patuh pada kedua orang tua, dan perintah untuk tidak menyekutukan ALLAH Swt.

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. " (QS. Luqman: 12)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ALLAH Swt, Memberikan hikmah kepada hambanya yang sholih bernama Luqman. Hikmah tersebut adalah pengetahuan tentang agama, selamat dalam berfikir, dan benar dalam berucap. ALLAH Swt, memerintahkan kepadanya untuk bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya, karena barang siapa yang bersyukur kepada Tuhannya maka manfaat dari syukur itu akan kembali kepada sang hamba. Sedangkan bagi orang yang mengingkari nikmat yang telah dikaruniakan ALLAH Swt, maka sesungguhnya ALLAH Swt, tidak butuh pada syukur sang hamba tersebut, Dia tidak Memerlukan syukur itu, karena seluruh pujian adalah milik ALLAH Swt, dalam situasi apapun.[1][1]

ALLAH Swt, tidak akan merugi apabila seandainya tidak ada dari hamba-Nya yang bersyukur sama sekali, dan ALLAH Swt, juga tidak akan bertambah Agung apabila seluruh hamba-Nya bersyukur. ALLAH Swt, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya tidak membutuhkan tambahan dan tak akan berkurang sedikitpun, justru sebaliknya setiap hamba membutuhkan ALLAH Swt.

Menurut an-Nuhas dia (Luqman) adalah Luqman bin Ba’auro bin Nahur bin Tarih dan Tarih ini adalah Azar ayah Nabi Ibrahim as. Menurut as-Suhaili dia adalah Luqman bin Anqo’ bin Sarwan. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau adalah putra Azar dan hidup selama seribut tahun dan masih hidup pada zaman Nabi Dawud as, dan Nabi Dawud as, berguru kepadanya. Luqman al-Hakim berfatwa sebelum terutusnya Nabi Dawud as, dan ketika Nabi Dawud sudah terutus maka Luqman menghentikan fatwanya karena menganggap cukup atas apa yang disampaikan Nabi Dawud as.[2][2]

Menurut Sa’id bin al-Musayyib, Luqman adalah orang Sudan yang berkulit hitam, lebih lanjut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Sa’id bin al-Musayyib menyebutkan bahwa Luqman adalah salah satu dari tiga orang kulit hitam pilihan bersama Bilal bin Rabbah dan Mahja’ budak sayyidina Umar bin al-Khattab. Ada yang berpendapat bahwa Luqman al-hakim adalah Nabi, pendapat yang benar menurut kitab al-Jami li Ulumil Qur’an, beliau adalah seorang hamba yang diberikan hikmah oleh ALLAH Swt, dan hamba yang banyak bertafakkur, beliau seorang tukang kayu, memiliki beberapa anak namun semuanya meninggal namun beliau tidak menangisinya.

Diantara akhlak beliau yang beliau sebutkan ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya sebagaimana yang tercantum dalam kitab tafsir Ibnu Katsir adalah beliau menjaga pandangan mata, menjaga lisan, menjaga diri dari makanan haram, menjaga kemaluan (dari berzina), berkata jujur, menepati janji, memulyakan tamu, menjaga (menghormati) tetangga sehingga beliau bisa menjadi demikian (bisa menjadi mulya)

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(13)
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."

Dari ayat ini ALLAH Swt, Mengabarkan wasiat yang diberikan Luqman kepada anaknya yang bernama Tsaron, dalam kitab tafsir al-Baghowi disebutkan bahwa nama anaknya adalah An’am, pendapat lain juga ada yang menyebutkan bahwa nama anaknya adalah Asykam atau Matsan. Luqman al-hakim memberikan nasehat yang paling baik yang harus diketahui, maka dari itu yang pertama beliau nasehatkan kepada putranya adalah menyembah ALLAH Swt, dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.[3][3]

Kesyirikan disebut dzolim karena orang yang musyrik telah dzolim pada dirinya sendiri. Kesyirikan itu tidak hanya menyembah kepada selain ALLAH Swt. Kesyirikan juga dapat terjadi bagi mereka apabila mempercayai ada kekuatan lain yang dapat memberikan manfaat atau mudlorot selain ALLAH Swt. Maka orang yang memakai jimat, mempercayai tahayyul, pergi ke dukun, pergi ke kuburan, mempercayai tanggal, nomor, atau hari baik dan buruk dengan mempercayai bahwa kesemua itu adalah benar bisa terjadi tanpa campur tangan ALLAH Swt, mereka ini juga bisa dikatakan syirik.

Akan tetapi jika seseorang yang memakai jimat itu mempercayai bahwa jimat itu tak lebih dari sebuah benda namun yang memberikan manfaat dan mudlorot tetaplah ALLAH Swt, maka jelas tindakan seperti ini tidak dikatakan syirik. Dari sini juga ada contoh bahwa orang yang minum obat misalnya, apabila dia sembuh jelas bukan karena obat, namun obat itu hanya bentuk ikhtiar yang dilakukan. Jika sampai mempercayai obatlah yang bisa menyembuhkan, ini sama sekali tak ada bedanya dengan kesyirikan yang lain. Begitu pula orang yang pergi kekuburan apabila hanya tujuan i’tibar, membaca al-Qur’an, maka tidak dinamakan syirik karena kesemuanya ada dalilnya. Adapun orang yang membaca al-Qur’an dikuburan tidak ada bedanya dengan membacanya dirumah yang keduanya sama-sama bernilai pahala jika diniatkan dengan benar.

وَوَصَّيْنَا الْإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Maksud ayat di atas adalah ALLAH Swt, Memerintah kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. 

Ibunya telah mengandung si anak dengan susah payah lalu begitu pula bersusah payah dalam melahirkan, dan ketika sudah lahir tidak berarti sang ibu sudah terbebas dari kesulitan karena kadang harus rela bangun malam tatkala sang anak menangis, dan lain sebagainya.

ALLAH Swt, mengingatkan tentang pendidikan terhadap anak, kesulitan dan kepayahannya, dengan tidak tidur di malam hari atau siang hari, tujuannya adalah agar sang anak ingat pada kebaikan yang diberikan sang ibu padanya di masa lalu.[4][4] Sufyan bin Uyainah berkomentar tentang ayat ini “barang siapa yang sholat lima waktu maka ia benar-benar bersyukur kepada ALLAH Swt, dan barang siapa yang mendoakan kedua orang tuanya setelah selesai sholat lima waktu berarti telah bersyukur kepada kedua orang  tuanya.[5][5]

Dalam Islam, setiap muslim diperintah oleh ALLAH Swt, untuk memulyakan kedua orang tua. Di ayat lain ALLAH Swt, Berfirman:

{ وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } [الإسراء:23]
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (al-Isra: 23)

Menurut para ahli tafsir, ALLAH Swt, Menyebutkan perintah berbuat baik dengan kedua orang tua setelah perintah untuk beribadah hanya kepada ALLAH Swt, menunjukkan bahwa kedua orang tua memiliki hak yang begitu besar atas diri anaknya. Karena kedua orang tua adalah alasan yang dzohir dengan adanya (eksistensi) si anak dan kehidupannya. Kemudian ketika kebaikan kedua orang tua kepada anaknya telah mencapai puncaknya yang demikian besar, maka demikian juga wajib bagi si anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. 

Dalam ayat ini disebutkan bahwa menyusui anak itu adalah paling lama adalah dua tahun. Dari sini terdapat pelajaran bahwa jika seorang anak menyusu lebih lama dari waktu tersebut justru akan berdampak negative pada si anak, begitu pula jika sebaliknya jika sang ibu enggan menyusui anaknya dengan alasan menjaga bentuk tubuh, ini juga akan berpengaruh negative pada si ibu. Anak yang menyusu kepada ibunya ternyata menurut penelitian akan lebih cerdas dari pada bayi yang minum susu sapi. Begitu pula sang ibu yang asi nya tidak dikeluarkan justru berpotensi menimbulkan penyakit pada sang ibu tersebut.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ(15)

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”

Dari ayat ini bahkan ALLAH Swt, Memerintahkan untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun mereka menyekutukan ALLAH Swt. Namun hal ini hanya berlaku untuk berbuat baik yang tidak berkaitan dengan akidah ataupun maksiat. Karena jika kedua orang tua memerintah pada si anak untuk berbuat maksiat atau mendurhakai ALLAH Swt, maka perintah si orang tua ini sama sekali tidak wajib ditaati dengan alasan:

لا طاعة للمخلوق فى معصية الخالق
 “Tidak ada istilah patuh pada makhluk untuk berbuat maksiat kepada Sang Pencipta”

Jadi sebagaimana penjelasan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir bahwa apabila kedua orang tuamu memerintah kepadamu untuk menyekutukan ALLAH Swt, maka janganlah engkau patuhi namun hal ini tidak mencegahmu untuk tetap berbuat baik kepada mereka di dunia. Dalam tafsir al-Tsa’labi diterangkan bahwa harus ta’at pada hal yang bersifat mubah saja. Maksudnya tetap berbuat baik kepada kedua orang tua hanya dalam urusan duniawi atau yang tidak bertentangan dengan akidah apabila kedua orang tuanya adalah musyrik atau kafir.

Terdapat sebuah riwayat yang berkaitan dengan ayat ini yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab al-‘Asyroh dari Abi Utsman al-Hindi mengatakan bahwa Sa’d bin Malik berkata: 

وقال: كنت رجلا برًا بأمي، فلما أسلمت قالت: يا سعد، ما هذا الذي أراك قد أحدثت؟ لَتَدَعَنّ دينك هذا أو لا آكل ولا أشرب حتى أموت، فَتُعَيَّر بي، فيقال: "يا قاتل أمه". فقلت: لا تفعلي يا أمَه، فإني لا أدع ديني هذا لشيء. فمكثتْ يومًا وليلة لم تأكل فأصبحت قد جهدت، فمكثتْ يومًا [آخر] وليلة أخرى لا تأكل، فأصبحتْ قد اشتد جهدها، فلما رأيت ذلك قلت: يا أمه، تعلمين والله لو كانت لكِ مائة نفس فخَرجت نَفْسا نَفْسًا، ما تركت ديني هذا لشيء، فإن شئت فكلي، وإن شئت لا تأكلي. فأكلتْ

diturunkan ayat ( الايةوَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا) tentangku" lalu dia berkata “aku adalah orang yang berbuat baik kepada ibuku maka ketika aku masuk Islam dia (ibunya) berkata “wahai Sa’d, apa ini yang aku lihat kau telah melakukan hal yang baru. Sungguh akan kau tinggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati” maka perbuatanku dijelek-jelekkan hingga ada yang berkata “wahai pembunuh ibunya” lalu aku berkata “janganlah kau lakukan itu wahai ibu, karena sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk sesuatu apapun” kemudian ibunya diam sehari semalam tanpa makan, maka dia (si ibu) menjadi bersungguh-sungguh, kemudian dia diam lagi pada hari dan malam berikutnya tidak makan, maka kesungguhannya kian mantap.

Ketika aku melihat hal tersebut aku berkata ”wahai ibuku, ketahuilah demi ALLAH, seandainya kau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa itu satu persatu keluar, aku tidak akan meninggalkan agamaku karena apapun, apabila kau mau makanlah dan apabila kau tidak mau maka janganlah makan!” lalu kemudian dia makan.

Demikianlah dalil yang menunjukkan boleh menentang kedua orang tua dalam hal yang berkaitan dengan perintah mereka apabila bertentangan dengan perintah ALLAH Swt. Namun hanya sebatas penolakan atas ajakan, dan tetap berbuat baik dan menjalin silaturrahim pada keduanya sebatas pada hal bersifat mubah (yang diperbolehkan). Secara umum keuda orang tua memiliki hak yang besar atas anaknya, sebagaimana dalam bahasan ‘berbuat baik kepada kedua orang tua’ yang telah saya posting dalam tulisan lain di blog ini.

والله اعلم







[1][1] Tafsir Al-Muyassir juz 7 hal. 256
[2][2] Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an juz 14 hal. 58
[3][3] Tafsir Ibnu Katsir, juz 4 hal. 413
[4][4] Tafsir Ibnu Katsir, Juz 6 hal. 336
[5][5] Tafsir al-Baghowi juz. 6 hal. 287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

بسم الله الرحمن الرحيم { وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِن...