بسم الله الرحمن الرحيم
Surat Luqman terdiri dari 34 ayat,
termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Ash Shaffaat.
Dinamai Luqman karena pada ayat 12 disebutkan bahwa Luqman telah
diberi oleh Allah nikmat dan ilmu pengetahuan, oleh sebab itu dia bersyukur
kepadaNya atas nikmat yang diberikan itu. Dan pada ayat 13 sampai 19 terdapat
nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya. Ini adalah sebagai isyarat daripada
Allah supaya setiap ibu bapak melaksanakan pula terhadap anak-anak mereka
sebagai yang telah dilakukan oleh Luqman.Dalam surah ini yang memiliki asbabun
nuzul hanya 2 ayat yaitu ayat 6 dan ayat 27.
Dalam ayat yang ke-12 hingga ke-15
terdapat penjelasan dari ALLAH Swt, tentang Luqman yang telah diberikan hikmah oleh ALLAH Swt, perintah untuk patuh
pada kedua orang tua, dan perintah untuk tidak menyekutukan ALLAH Swt.
وَلَقَدْ
آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan
hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa
yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. " (QS. Luqman: 12)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
ALLAH Swt, Memberikan hikmah kepada hambanya yang sholih bernama Luqman. Hikmah
tersebut adalah pengetahuan tentang agama, selamat dalam berfikir, dan benar
dalam berucap. ALLAH Swt, memerintahkan kepadanya untuk bersyukur atas nikmat
yang telah dikaruniakan kepadanya, karena barang siapa yang bersyukur kepada
Tuhannya maka manfaat dari syukur itu akan kembali kepada sang hamba. Sedangkan
bagi orang yang mengingkari nikmat yang telah dikaruniakan ALLAH Swt, maka
sesungguhnya ALLAH Swt, tidak butuh pada syukur sang hamba tersebut, Dia tidak
Memerlukan syukur itu, karena seluruh pujian adalah milik ALLAH Swt, dalam
situasi apapun.[1][1]
ALLAH Swt, tidak akan merugi apabila
seandainya tidak ada dari hamba-Nya yang bersyukur sama sekali, dan ALLAH Swt,
juga tidak akan bertambah Agung apabila seluruh hamba-Nya bersyukur. ALLAH Swt,
dengan segala sifat kesempurnaan-Nya tidak membutuhkan tambahan dan tak akan
berkurang sedikitpun, justru sebaliknya setiap hamba membutuhkan ALLAH Swt.
Menurut an-Nuhas dia (Luqman) adalah
Luqman bin Ba’auro bin Nahur bin Tarih dan Tarih ini adalah Azar ayah Nabi
Ibrahim as. Menurut as-Suhaili dia adalah Luqman bin Anqo’ bin Sarwan. Ada juga
yang berpendapat bahwa beliau adalah putra Azar dan hidup selama seribut tahun
dan masih hidup pada zaman Nabi Dawud as, dan Nabi Dawud as, berguru kepadanya.
Luqman al-Hakim berfatwa sebelum terutusnya Nabi Dawud as, dan ketika Nabi
Dawud sudah terutus maka Luqman menghentikan fatwanya karena menganggap cukup
atas apa yang disampaikan Nabi Dawud as.[2][2]
Menurut Sa’id bin al-Musayyib,
Luqman adalah orang Sudan yang berkulit hitam, lebih lanjut dalam kitab Tafsir
Ibnu Katsir, Sa’id bin al-Musayyib menyebutkan bahwa Luqman adalah salah satu
dari tiga orang kulit hitam pilihan bersama Bilal bin Rabbah dan Mahja’ budak
sayyidina Umar bin al-Khattab. Ada yang berpendapat bahwa Luqman al-hakim
adalah Nabi, pendapat yang benar menurut kitab al-Jami li Ulumil Qur’an, beliau
adalah seorang hamba yang diberikan hikmah oleh ALLAH Swt, dan hamba yang
banyak bertafakkur, beliau seorang tukang kayu, memiliki beberapa anak namun
semuanya meninggal namun beliau tidak menangisinya.
Diantara akhlak beliau yang beliau
sebutkan ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya sebagaimana yang
tercantum dalam kitab tafsir Ibnu Katsir adalah beliau menjaga pandangan mata,
menjaga lisan, menjaga diri dari makanan haram, menjaga kemaluan (dari
berzina), berkata jujur, menepati janji, memulyakan tamu, menjaga (menghormati)
tetangga sehingga beliau bisa menjadi demikian (bisa menjadi mulya)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ
لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(13)
“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."
Dari ayat ini ALLAH Swt, Mengabarkan wasiat
yang diberikan Luqman kepada anaknya yang bernama Tsaron, dalam kitab tafsir
al-Baghowi disebutkan bahwa nama anaknya adalah An’am, pendapat lain juga ada
yang menyebutkan bahwa nama anaknya adalah Asykam atau Matsan. Luqman al-hakim
memberikan nasehat yang paling baik yang harus diketahui, maka dari itu yang
pertama beliau nasehatkan kepada putranya adalah menyembah ALLAH Swt, dan tidak
menyekutukannya dengan sesuatu apapun.[3][3]
Kesyirikan disebut dzolim karena orang yang
musyrik telah dzolim pada dirinya sendiri. Kesyirikan itu tidak hanya menyembah
kepada selain ALLAH Swt. Kesyirikan juga dapat terjadi bagi mereka apabila
mempercayai ada kekuatan lain yang dapat memberikan manfaat atau mudlorot
selain ALLAH Swt. Maka orang yang memakai jimat, mempercayai tahayyul, pergi ke
dukun, pergi ke kuburan, mempercayai tanggal, nomor, atau hari baik dan buruk
dengan mempercayai bahwa kesemua itu adalah benar bisa terjadi tanpa campur
tangan ALLAH Swt, mereka ini juga bisa dikatakan syirik.
Akan tetapi jika seseorang yang memakai jimat
itu mempercayai bahwa jimat itu tak lebih dari sebuah benda namun yang
memberikan manfaat dan mudlorot tetaplah ALLAH Swt, maka jelas tindakan seperti
ini tidak dikatakan syirik. Dari sini juga ada contoh bahwa orang yang minum
obat misalnya, apabila dia sembuh jelas bukan karena obat, namun obat itu hanya
bentuk ikhtiar yang dilakukan. Jika sampai mempercayai obatlah yang bisa
menyembuhkan, ini sama sekali tak ada bedanya dengan kesyirikan yang lain.
Begitu pula orang yang pergi kekuburan apabila hanya tujuan i’tibar, membaca
al-Qur’an, maka tidak dinamakan syirik karena kesemuanya ada dalilnya. Adapun
orang yang membaca al-Qur’an dikuburan tidak ada bedanya dengan membacanya
dirumah yang keduanya sama-sama bernilai pahala jika diniatkan dengan benar.
وَوَصَّيْنَا
الْإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.”
Maksud ayat di atas adalah ALLAH
Swt, Memerintah kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandung si anak
dengan susah payah lalu begitu pula bersusah payah dalam melahirkan, dan ketika
sudah lahir tidak berarti sang ibu sudah terbebas dari kesulitan karena kadang
harus rela bangun malam tatkala sang anak menangis, dan lain sebagainya.
ALLAH Swt, mengingatkan tentang
pendidikan terhadap anak, kesulitan dan kepayahannya, dengan tidak tidur di
malam hari atau siang hari, tujuannya adalah agar sang anak ingat pada kebaikan
yang diberikan sang ibu padanya di masa lalu.[4][4] Sufyan bin Uyainah berkomentar
tentang ayat ini “barang siapa yang sholat lima waktu maka ia benar-benar
bersyukur kepada ALLAH Swt, dan barang siapa yang mendoakan kedua orang tuanya
setelah selesai sholat lima waktu berarti telah bersyukur kepada kedua
orang tuanya.[5][5]
Dalam Islam, setiap muslim
diperintah oleh ALLAH Swt, untuk memulyakan kedua orang tua. Di ayat lain ALLAH
Swt, Berfirman:
{ وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } [الإسراء:23]
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia” (al-Isra: 23)
Menurut para ahli tafsir, ALLAH Swt,
Menyebutkan perintah berbuat baik dengan kedua orang tua setelah perintah untuk
beribadah hanya kepada ALLAH Swt, menunjukkan bahwa kedua orang tua memiliki
hak yang begitu besar atas diri anaknya. Karena kedua orang tua adalah alasan
yang dzohir dengan adanya (eksistensi) si anak dan kehidupannya. Kemudian
ketika kebaikan kedua orang tua kepada anaknya telah mencapai puncaknya yang
demikian besar, maka demikian juga wajib bagi si anak untuk berbuat baik kepada
kedua orang tuanya.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
menyusui anak itu adalah paling lama adalah dua tahun. Dari sini terdapat
pelajaran bahwa jika seorang anak menyusu lebih lama dari waktu tersebut justru
akan berdampak negative pada si anak, begitu pula jika sebaliknya jika sang ibu
enggan menyusui anaknya dengan alasan menjaga bentuk tubuh, ini juga akan
berpengaruh negative pada si ibu. Anak yang menyusu kepada ibunya ternyata
menurut penelitian akan lebih cerdas dari pada bayi yang minum susu sapi.
Begitu pula sang ibu yang asi nya tidak dikeluarkan justru berpotensi
menimbulkan penyakit pada sang ibu tersebut.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ(15)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”
Dari ayat ini bahkan ALLAH Swt,
Memerintahkan untuk tetap berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun mereka
menyekutukan ALLAH Swt. Namun hal ini hanya berlaku untuk berbuat baik yang
tidak berkaitan dengan akidah ataupun maksiat. Karena jika kedua orang tua
memerintah pada si anak untuk berbuat maksiat atau mendurhakai ALLAH Swt, maka
perintah si orang tua ini sama sekali tidak wajib ditaati dengan alasan:
لا طاعة للمخلوق فى معصية الخالق
“Tidak ada istilah patuh pada makhluk untuk
berbuat maksiat kepada Sang Pencipta”
Jadi sebagaimana penjelasan dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir bahwa apabila kedua orang tuamu memerintah kepadamu
untuk menyekutukan ALLAH Swt, maka janganlah engkau patuhi namun hal ini tidak
mencegahmu untuk tetap berbuat baik kepada mereka di dunia. Dalam tafsir
al-Tsa’labi diterangkan bahwa harus ta’at pada hal yang bersifat mubah saja.
Maksudnya tetap berbuat baik kepada kedua orang tua hanya dalam urusan duniawi
atau yang tidak bertentangan dengan akidah apabila kedua orang tuanya adalah
musyrik atau kafir.
Terdapat sebuah riwayat yang
berkaitan dengan ayat ini yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab
al-‘Asyroh dari Abi Utsman al-Hindi mengatakan bahwa Sa’d bin Malik berkata:
وقال: كنت رجلا
برًا بأمي، فلما أسلمت قالت: يا سعد، ما هذا الذي أراك قد أحدثت؟ لَتَدَعَنّ دينك
هذا أو لا آكل ولا أشرب حتى أموت، فَتُعَيَّر بي، فيقال: "يا قاتل أمه".
فقلت: لا تفعلي يا أمَه، فإني لا أدع ديني هذا لشيء. فمكثتْ يومًا وليلة لم تأكل
فأصبحت قد جهدت، فمكثتْ يومًا [آخر] وليلة أخرى لا تأكل، فأصبحتْ قد اشتد جهدها،
فلما رأيت ذلك قلت: يا أمه، تعلمين والله لو كانت لكِ مائة نفس فخَرجت نَفْسا
نَفْسًا، ما تركت ديني هذا لشيء، فإن شئت فكلي، وإن شئت لا تأكلي. فأكلتْ
diturunkan ayat ( الاية… وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا)
tentangku" lalu dia berkata “aku adalah orang yang berbuat baik kepada
ibuku maka ketika aku masuk Islam dia (ibunya) berkata “wahai Sa’d, apa ini
yang aku lihat kau telah melakukan hal yang baru. Sungguh akan kau tinggalkan
agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati” maka
perbuatanku dijelek-jelekkan hingga ada yang berkata “wahai pembunuh ibunya”
lalu aku berkata “janganlah kau lakukan itu wahai ibu, karena sesungguhnya aku
tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk sesuatu apapun” kemudian ibunya diam
sehari semalam tanpa makan, maka dia (si ibu) menjadi bersungguh-sungguh,
kemudian dia diam lagi pada hari dan malam berikutnya tidak makan, maka
kesungguhannya kian mantap.
Ketika aku melihat hal tersebut aku berkata ”wahai
ibuku, ketahuilah demi ALLAH, seandainya kau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa
itu satu persatu keluar, aku tidak akan meninggalkan agamaku karena apapun,
apabila kau mau makanlah dan apabila kau tidak mau maka janganlah makan!” lalu
kemudian dia makan.
Demikianlah dalil yang menunjukkan boleh menentang kedua orang tua
dalam hal yang berkaitan dengan perintah mereka apabila bertentangan dengan
perintah ALLAH Swt. Namun hanya sebatas penolakan atas ajakan, dan tetap
berbuat baik dan menjalin silaturrahim pada keduanya sebatas pada hal bersifat
mubah (yang diperbolehkan). Secara umum keuda orang tua memiliki hak yang besar
atas anaknya, sebagaimana dalam bahasan ‘berbuat baik kepada kedua orang tua’
yang telah saya posting dalam tulisan lain di blog ini.
والله اعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar