Adab berpakaian
bagi wanita
Tulisan ini hasil
copas dari kawan santri, insya Allah mereka ikhlas karena tujuan dakwah
ويجب
على المرأة في حال الخروج التزام الستر الشرعي لا تظهر شيئاً من جسدها غير الوجه والكفين لأن في كشف شيء مما
أوجب الله ستره تعريضاً للفتنة والتطلع إليها قال تعالى: {ولا تبرجن تبرج الجاهلية
الأولى} [الأحزاب:33/33]. ومن التبرج: المشي بتكسر وحركات مثيرة ومن التبرج أيضاً
أن تلبس المرأة ثوباً رقيقاً يصف ما تحته قال صلّى الله عليه وسلم : «صنفان من أهل النار
لم أرهما بعد: نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات[1]
على رؤوسهن أمثال أسنمة البخت المائلة[2]
لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا. ورجال معهم
سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس» (رواه مسلم) وقال عليه الصلاة
والسلام أيضاً : «أيما
امرأة استعطرت فخرجت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية» (رواه الحاكم)
.والتزام المرأة البيت لا بمعنى حبسها فيه أو التضييق عليها هو خير شيء للمرأة قال
عليه الصلاة والسلام: «إن
المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون من رحمة ربها وهي في قعر
بيتها»
(رواه الترميذي) وهو يدل على وجوب الستر وعدم إظهار المرأة شيئاً من بدنها وأن في
الخروج العمل على إغواء الشياطين لها وإغراء الرجال بها حتى تقع الفتنة.
Dan diwajibkan bagi wanita saat keluar
rumahnya untuk menetapi penutup yang syar’i yang tidak menampakkan sesutu dari
tubuhnya selain wajah dan telapak tangannya karena dalam membuka sesuatu yang
diwajibkan oleh Allah untuk menutupnya dapat mengundang fitnah dan menjadi
pusat perhatian,Allah berfirman “dan janganlah kalian bertabarruj seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzaab, 33). Di antara yang
tergolong tabarruj:
·
Berjalan dengan
berlenggak-lenggok dan dengan gerakan yang dapat menimbulkan gairah
·
Memakai pakaian tipis yang
dapat menggambarkan anggota tubuh di dalamnya.
Rasulullah SAW bersabda “Dua kelompok
termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya,wanita yang kasiyat
(berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup
auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang),
kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak
mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan
demikian dan kaum lelaki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul
manusia dengan cambuknya (yakni para penguasa yang dzalim) dan.” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah)
Rasulullah juga bersabda “Perempuan yang
memakai bau-bauan (wewangian) kemudian ia keluar melintasi kaum lelaki agar
mereka tercium bau harumnya maka dia adalah perempuan zina (HR. Al-Hakim dari
Abu Musa)
Menetapnya seorang wanita didalam rumah bukan
dalam arti memasungnya atau membatasinya lebih baik baginya.Rasulullah SAW
bersabda "Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya
maka syetanpun berdiri tegak (dirangsang olehnya) dan paling dekatnya ia mendapatkan
rahmat Tuhannya saat ia menetapi dalam rumahnya" (HR. Turmudzi dari Ibn
Mas’ud).
Dalil-dalil diatas menunjukkan kewajiban
menutup aurat, tidak menampakkan sesuatu dari tubuhnya dan saat ia keluar,
sungguh ia telah terperdaya oleh bujukan syaitan dan juga memperdayai kaum pria
hingga terjadilah fitnah karenanya. [ Al-Fiqh al-Islaam IX/319 ].
ARTI TABARRUJ
تبرج التعريف :1 -
التبرج لغة : مصدر تبرج يقال : تبرجت المرأة : إذا أبرزت محاسنها للرجال .وفي
الحديث كان يكره عشر خلال منها : التبرج بالزينة لغير محلها والتبرج : إظهار
الزينة للرجال الأجانب وهو المذموم . أما للزوج فلا وهو معنى قوله : لغير محلها . وهو في معناه الشرعي لا يخرج عن هذا .قال
القرطبي في تفسير قوله تعالى : { غير متبرجات بزينة } أي غير مظهراتولا متعرضات
بالزينة لينظر إليهن فإن ذلك من أقبح الأشياء وأبعدها عن الحق . وأصل التبرج :
التكشف والظهور للعيون . وقال في تفسير قوله تعالى { ولا تبرجن تبرج الجاهلية
الأولى } حقيقة التبرج : إظهار ما ستره أحسن .قيل : ما بين نوح وإبراهيم عليهما
السلام : كانت
المرأة تلبس الدرع من اللؤلؤ غير مخيط الجانبين وتلبس الثياب الرقاق ولا تواري
بدنها .
TABARRUJ adalah pertunjukkan perhiasan dan
berbagai keindahan wanita kepada kaum lelaki, dan yang demikian dilarang sedang
bila untuk suami maka tidak. Al-Qurthuby berkata “dengan tidak (bermaksud)
bertabarruj dengan perhiasan” (QS. An Nuur ayat 60) artinya tidak menampakkan
dan menonjolkan perhiasannya agar menjadi perhatian, yang demikian pernuatan
paling hina dan jauh dan kebenaran.
Beliau juga melanjutkan pernyataannya dalam
mentafsiri ayat “dan janganlah kalian bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu”. (QS. Al-Ahzaab, 33). Hakikat tabarruj adalah menampakkan perkara
yang menutupnya lebih baik.Konon wanita dizaman antara Nabi Nuh As. dan Ibrahim
As.
Memakai baju zirah dari mutiara dengan tanpa
terjahit sisi kanan kirinya, mereka juga biasa memakai pakaian-pakaian tipis
yang tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya. [ Al-Mausuu’ah al-Foqhiyyah
X/61 ].
وَالْمُرَادُ
بِالْفِتْنَةِ الزِّنَا وَمُقَدِّمَاته من النَّظَرِ وَالْخَلْوَة وَاللَّمْسِ
وَغَيْرِ ذلك..فَمِنْهَا أَنَّ خُرُوجَهَا مُتَبَرِّجَة أَيْ مُظْهِرَةً
لِزِينَتِهَا مَنْهِيٌّ عنه بِالنَّصِّ قال تَعَالَى وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَرَوَى ابن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم قال يَكُونُ في أُمَّتِي رِجَالٌ يَرْكَبُونَ على
سُرُجٍ كَأَشْبَاهِ الرِّجَالِ يَنْزِلُونَ على أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ
نِسَاؤُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَّاتٌ على رُءُوسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْعِجَافِ الْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ وفي حَدِيثٍ آخَرَ مَائِلَاتٌ
مُمِيلَاتٌ وَفِيهِ فَإِنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ
رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ من مَسِيرَةِ كَذَا وَلَا يَخْفَى أَنَّ
مَجْمُوعَ هذه الصِّفَات لَا تَحْصُلُ لِلْمَرْأَةِ وَهِيَ في بَيْتِهَا بَلْ
يَكُونُ ذلك في خُرُوجِهَا من بَيْتِهَا عِنْدَ حُصُولِ هذه الْهَيْئَةِ فيها
وَخَوْفِ الِافْتِتَان بها وَلِذَلِكَ شَرَطَ الْعُلَمَاء لِخُرُوجِهَا أَنْ لَا
تَكُونَ بِزِينَةٍ وَلَا ذَاتَ خَلَاخِل يُسْمَعُ صَوْتُهَا فَكَيْفَ يَجُوزُ
لِأَحَدٍ أَنْ يُرَخِّصَ في سَبَبِ اللَّعْنِ وَحِرْمَانُ الْجَنَّةِ بِالْقُرْآنِ
وَالسُّنَّةِ وَالْمَذْهَب الْقَائِلُ بِأَنَّ كُلَّ حَالَةٍ يُخَافُ منها
الِافْتِتَان حَرَامٌ يَدُلُّ على أَنَّ التَّبَرُّج حَرَامٌ وَمِنْهَا تَحْرِيمُ
نَظَرِ الْأَجَانِب إلَيْهَا وَنَظَرِهَا إلَيْهِمْ كما صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ
وَمِنْهَا مُزَاحَمَةُ الرَّجُلِ في الْمَسْجِدِ أو الطَّرِيقِ عِنْدَ خَوْفِ
الْفِتْنَةِ فإن ذلك حَرَامٌ وَرَوَى أبو دَاوُد من حديث أبي أُسَيْدٍ
الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سمع رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم يقول وهو
خَارِجٌ من الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مع النِّسَاءِ في الطَّرِيقِ فقال
النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخَرْنَ فإنه ليس لَكُنَّ أَنْ
تُحَفِّفْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ قال فَكَانَتْ
الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ بِالْجِدَارِ حتى أَنَّ ثَوْبَهَا لَيَعْلَقُ بِالْجِدَارِ
من لُصُوقِهَا بِهِ فَهَذِهِ الْأَحَادِيث دَالَّةٌ على مَنْعِ الْمُزَاحَمَة بين
الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ وَالْمَرْأَةِ
[ Al-Fataawa al-Fiqhiyyah al-Kubroo I/203 ].
Wallaahu A'lamu Bis showaab.
Ketahuilah bahwa keluarnya seorang perempuan
dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan menutup aurat
hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan
tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum
laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.
Ibnu Hibban[58], al-Hakim[59], an-Nasa’i[60],
al-Baihaqi[61] meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai
minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[62] dari Abi Musa al-‘Asy’ari
dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
أيما امرأة استعطرت
فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian
lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang
pelaku zina).
At-Tirmidzi[63] dalam bab tetang kemakruhan
keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa
al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
كل عين زانية والمرأة
إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan
perempuan jika ia memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia
yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.
Hadits terakhir di atas dalam pengertian umum
(Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh
[ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususkan
(Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang
umum (Mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus
(Muqayyad), sebagai mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan
(Ijma’) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan
kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun
dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan
keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan
hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia
berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan
kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari
kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk
guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-isterinya
berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.
Hadits pertama di atas diriwayatkan oleh
an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab tersebut
dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian”. Bab tersebut
dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum perempuan memakai minyak
wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika diungkapkan secara mutlak maka
yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i.
Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65]:
وفاعل المكروه لم
يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak
disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan
melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).
Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah
seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini juga diambil
oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab menyatakan bahwa lafazh
“makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”.
Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh
tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.
Dengan demikian, orang yang mengharamkan
keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah
di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun
(al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if ?!. Adapun penyataan sikap
dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak ada gunanya, karena itu
tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Musthalah
al-Hadits).
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di hadapan Abu Hurairah
yang wewangiannya dirasakan oleh beliau, ia bertanya: “Handak kemanakah engkau
wahai hamba Tuhan Yang Maha Perkasa?, perempuan tersebut menjawab: “Ke masjid”.
Abu Hurairah berkata: “Adakah engkau memakai wewangian untuk itu?”. Ia
menjawab: “Iya”. Abu Hurairah berkata: “Kembalilah engkau pulang dan mandilah,
sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima shalat
seorang perempuan yang keluar menuju masjid sementara wewangiannya menyebar
semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi”. Hadits ini tidak dinyatakan
shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah yang meriwayatkannya
berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut beliau hadits ini tidak
shahih].
Dengan demikian hadits ini tidak dapat
dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini adalah
hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat sanadnya
dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.
Namun demikian makna dua hadits ini dapat
dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu Khuzaimah
dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamkan memakai minyak
wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya perempuan
tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaimana diketahui
bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilangkan pahala perbuatan
[ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh] tersebut bukan
sebuah kemaksiatan. Contohnya seperti shalat tanpa adanya khusyu, shalat tetap
sah [menggugurkan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan tidak diterima.
Contoh lainnya seperti hadits Ibnu ‘Abbas
yang diriwayatkan Abu Dawud dengan marfu’[66]: “Siapa yang mendengar orang
memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk mengikutinya [shalat
jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia lakukan”. Beberapa
sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”. Ia menjawab: “Rasa takut atau
karena sakit”. Hadits ini bukan berarti orang yang tidak shalat berjama’ah
dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat. Tetapi maknanya orang tersebut
telah berlaku perbuatan makruh. Demikian pula dengan hadits Ibnu Khuzaimah di
atas bukan dalam pengertian haram memakai wewangian bagi perempuan, tetapi
dalam pengertian makruh.
Catatan lainnya; wewangian yang dimakruhkan
di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh haditsnya
menyatakan [وريحها
تعصف], dan lafazh
[تعصف] untuk bau yang menyengat, tidak
digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana hal ini telah
dijelaskan oleh para ahli bahasa.
Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله
من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah kalian melarang para hamba Allah
dari kaum perempuan untuk mendatangi masjid-masjid, hanya saja hendaklah mereka
keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian). Hadits inipun dalam pengertian
makruh tanzih bila perempuan tersebut memakai wewangian menuju masjid.
Pengakuan sebagain orang bahwa an-Nasa’i
meriwayatkan:
فمرت بقوم فوجدوا
ريحها ...
Dengan
lafazh
[فوجدوا]; (…hingga kaum laki-laki
medapatkan wanginya…) adalah periwayatan yang tidak shahih. Riwayat yang shahih
adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan tujuan agar kaum laki-laki mendapatkan
wanginya).
Simak apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadir, berkata: “Suatu saat Asma’ didatangi
‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan ketika
Rasulullah masuk ia mendapati wewangian, ia bersabda: “Tidak layak bagi seorang
perempuan memakai wewangain di saat suaminya tidak di rumah”. Hadits inipun
bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram maka akan
diterangkan langsung oleh nabi.
Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali dalam
karyanya al-Adab as-Syar’iyyah berkata: “Haram bagi seorang perempuan keluar
rumah suaminya tanpa mendapatkan izin darinya, kecuali karena dlarurat atau
karena kewajian syari’at…”. Pada akhir tulisan ia berkata: “…dan dimakruhkan
bagi perempuan memakai wewangain untuk hadir ke masjid atau ke tempat lainnya”.
* * *
Al-Baihaqi dalam dalam Sunan-nya meriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah keluar rumah, ia shalat
dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal, kemudian datang kaum perempuan dan
nabi menyuruh mereka semua untuk bersedekah, setelah itu kemudian kaum
perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari al-Khursh dan
as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab
Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatkan Muslim dari Syu’bah”. As-Sakhab
adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh adalah
perhiasan-perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat kebolehan
bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana Rasulullah
tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakannya.
و
قيل ليحي عليه السلام وهو لم يكن له ميل الى امر النساء ما بدء الزنا قال النظر
للمراة والتمنى للزنا
بالقلب و زنا العين من كبار الصغائر و هو يؤدى الى القرب الى الكبيرة الفاحشة و هو
زنا الفرج ومن لم يقدر على غض بصره لم يقدر على حفظ فرجه (عقود
اللجين)
Nabi Yahya As telah ditanya apakah permulaan
dari zina? Beliau menjawab: memandang perempuan dan ber-angan-angan melakukan
zina. Zina mata adalah besar-besarnya dosa kecil, ia akan mendekatkan kepada
dosa yg besar yaitu zina farji. Barang siapa yang tidak mampu meredam
penglihatannya, maka dia tidak akan mampu menjaga farjinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar