Kamis, 11 Mei 2017

adab berpakaian bagi wanita



Adab berpakaian bagi wanita
Tulisan ini hasil copas dari kawan santri, insya Allah mereka ikhlas karena tujuan dakwah
ويجب على المرأة في حال الخروج التزام الستر الشرعي لا تظهر شيئاً من جسدها غير الوجه والكفين لأن في كشف شيء مما أوجب الله ستره تعريضاً للفتنة والتطلع إليها قال تعالى: {ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى} [الأحزاب:33/33]. ومن التبرج: المشي بتكسر وحركات مثيرة ومن التبرج أيضاً أن تلبس المرأة ثوباً رقيقاً يصف ما تحته قال صلّى الله عليه وسلم : «صنفان من أهل النار لم أرهما بعد: نساء كاسيات عاريات مائلات مميلات[1] على رؤوسهن أمثال أسنمة البخت المائلة[2] لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا. ورجال معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس» (رواه مسلم) وقال عليه الصلاة والسلام أيضاً : «أيما امرأة استعطرت فخرجت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية» (رواه الحاكم) .والتزام المرأة البيت لا بمعنى حبسها فيه أو التضييق عليها هو خير شيء للمرأة قال عليه الصلاة والسلام: «إن المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان وأقرب ما تكون من رحمة ربها وهي في قعر بيتها» (رواه الترميذي) وهو يدل على وجوب الستر وعدم إظهار المرأة شيئاً من بدنها وأن في الخروج العمل على إغواء الشياطين لها وإغراء الرجال بها حتى تقع الفتنة.
Dan diwajibkan bagi wanita saat keluar rumahnya untuk menetapi penutup yang syar’i yang tidak menampakkan sesutu dari tubuhnya selain wajah dan telapak tangannya karena dalam membuka sesuatu yang diwajibkan oleh Allah untuk menutupnya dapat mengundang fitnah dan menjadi pusat perhatian,Allah berfirman “dan janganlah kalian bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzaab, 33). Di antara yang tergolong tabarruj:

·         Berjalan dengan berlenggak-lenggok dan dengan gerakan yang dapat menimbulkan gairah
·         Memakai pakaian tipis yang dapat menggambarkan anggota tubuh di dalamnya.

Rasulullah SAW bersabda “Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya,wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian dan kaum lelaki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya (yakni para penguasa yang dzalim) dan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Rasulullah juga bersabda “Perempuan yang memakai bau-bauan (wewangian) kemudian ia keluar melintasi kaum lelaki agar mereka tercium bau harumnya maka dia adalah perempuan zina (HR. Al-Hakim dari Abu Musa)

Menetapnya seorang wanita didalam rumah bukan dalam arti memasungnya atau membatasinya lebih baik baginya.Rasulullah SAW bersabda "Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya maka syetanpun berdiri tegak (dirangsang olehnya) dan paling dekatnya ia mendapatkan rahmat Tuhannya saat ia menetapi dalam rumahnya" (HR. Turmudzi dari Ibn Mas’ud).

Dalil-dalil diatas menunjukkan kewajiban menutup aurat, tidak menampakkan sesuatu dari tubuhnya dan saat ia keluar, sungguh ia telah terperdaya oleh bujukan syaitan dan juga memperdayai kaum pria hingga terjadilah fitnah karenanya. [ Al-Fiqh al-Islaam IX/319 ].

ARTI TABARRUJ
تبرج التعريف :1 - التبرج لغة : مصدر تبرج يقال : تبرجت المرأة : إذا أبرزت محاسنها للرجال .وفي الحديث كان يكره عشر خلال منها : التبرج بالزينة لغير محلها والتبرج : إظهار الزينة للرجال الأجانب وهو المذموم . أما للزوج فلا  وهو معنى قوله : لغير محلها .  وهو في معناه الشرعي لا يخرج عن هذا .قال القرطبي في تفسير قوله تعالى : { غير متبرجات بزينة } أي غير مظهراتولا متعرضات بالزينة لينظر إليهن فإن ذلك من أقبح الأشياء وأبعدها عن الحق . وأصل التبرج : التكشف والظهور للعيون . وقال في تفسير قوله تعالى { ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى } حقيقة التبرج : إظهار ما ستره أحسن .قيل : ما بين نوح وإبراهيم عليهما السلام : كانت المرأة تلبس الدرع من اللؤلؤ غير مخيط الجانبين وتلبس الثياب الرقاق ولا تواري بدنها .
TABARRUJ adalah pertunjukkan perhiasan dan berbagai keindahan wanita kepada kaum lelaki, dan yang demikian dilarang sedang bila untuk suami maka tidak. Al-Qurthuby berkata “dengan tidak (bermaksud) bertabarruj dengan perhiasan” (QS. An Nuur ayat 60) artinya tidak menampakkan dan menonjolkan perhiasannya agar menjadi perhatian, yang demikian pernuatan paling hina dan jauh dan kebenaran.

Beliau juga melanjutkan pernyataannya dalam mentafsiri ayat “dan janganlah kalian bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzaab, 33). Hakikat tabarruj adalah menampakkan perkara yang menutupnya lebih baik.Konon wanita dizaman antara Nabi Nuh As. dan Ibrahim As.

Memakai baju zirah dari mutiara dengan tanpa terjahit sisi kanan kirinya, mereka juga biasa memakai pakaian-pakaian tipis yang tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya. [ Al-Mausuu’ah al-Foqhiyyah X/61 ].
وَالْمُرَادُ بِالْفِتْنَةِ الزِّنَا وَمُقَدِّمَاته من النَّظَرِ وَالْخَلْوَة وَاللَّمْسِ وَغَيْرِ ذلك..فَمِنْهَا أَنَّ خُرُوجَهَا مُتَبَرِّجَة أَيْ مُظْهِرَةً لِزِينَتِهَا مَنْهِيٌّ عنه بِالنَّصِّ قال تَعَالَى وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَرَوَى ابن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم قال يَكُونُ في أُمَّتِي رِجَالٌ يَرْكَبُونَ على سُرُجٍ كَأَشْبَاهِ الرِّجَالِ يَنْزِلُونَ على أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ نِسَاؤُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَّاتٌ على رُءُوسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْعِجَافِ الْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ وفي حَدِيثٍ آخَرَ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ وَفِيهِ فَإِنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ من مَسِيرَةِ كَذَا وَلَا يَخْفَى أَنَّ مَجْمُوعَ هذه الصِّفَات لَا تَحْصُلُ لِلْمَرْأَةِ وَهِيَ في بَيْتِهَا بَلْ يَكُونُ ذلك في خُرُوجِهَا من بَيْتِهَا عِنْدَ حُصُولِ هذه الْهَيْئَةِ فيها وَخَوْفِ الِافْتِتَان بها وَلِذَلِكَ شَرَطَ الْعُلَمَاء لِخُرُوجِهَا أَنْ لَا تَكُونَ بِزِينَةٍ وَلَا ذَاتَ خَلَاخِل يُسْمَعُ صَوْتُهَا فَكَيْفَ يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُرَخِّصَ في سَبَبِ اللَّعْنِ وَحِرْمَانُ الْجَنَّةِ بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَالْمَذْهَب الْقَائِلُ بِأَنَّ كُلَّ حَالَةٍ يُخَافُ منها الِافْتِتَان حَرَامٌ يَدُلُّ على أَنَّ التَّبَرُّج حَرَامٌ وَمِنْهَا تَحْرِيمُ نَظَرِ الْأَجَانِب إلَيْهَا وَنَظَرِهَا إلَيْهِمْ كما صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ وَمِنْهَا مُزَاحَمَةُ الرَّجُلِ في الْمَسْجِدِ أو الطَّرِيقِ عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ فإن ذلك حَرَامٌ وَرَوَى أبو دَاوُد من حديث أبي أُسَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سمع رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم يقول وهو خَارِجٌ من الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مع النِّسَاءِ في الطَّرِيقِ فقال النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخَرْنَ فإنه ليس لَكُنَّ أَنْ تُحَفِّفْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ قال فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ بِالْجِدَارِ حتى أَنَّ ثَوْبَهَا لَيَعْلَقُ بِالْجِدَارِ من لُصُوقِهَا بِهِ فَهَذِهِ الْأَحَادِيث دَالَّةٌ على مَنْعِ الْمُزَاحَمَة بين الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ وَالْمَرْأَةِ
[ Al-Fataawa al-Fiqhiyyah al-Kubroo I/203 ].
Wallaahu A'lamu Bis showaab.

Ketahuilah bahwa keluarnya seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.

Ibnu Hibban[58], al-Hakim[59], an-Nasa’i[60], al-Baihaqi[61] meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[62] dari Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية
(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).

At-Tirmidzi[63] dalam bab tetang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:
كل عين زانية والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا
(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.

Hadits terakhir di atas dalam pengertian umum (Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususkan (Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama tersebut. Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.

Hadits pertama di atas diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian”. Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65]:
وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).

Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.

Dengan demikian, orang yang mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if ?!. Adapun penyataan sikap dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak ada gunanya, karena itu tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Musthalah al-Hadits).

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, bahwa suatu ketika seorang perempuan lewat di hadapan Abu Hurairah yang wewangiannya dirasakan oleh beliau, ia bertanya: “Handak kemanakah engkau wahai hamba Tuhan Yang Maha Perkasa?, perempuan tersebut menjawab: “Ke masjid”. Abu Hurairah berkata: “Adakah engkau memakai wewangian untuk itu?”. Ia menjawab: “Iya”. Abu Hurairah berkata: “Kembalilah engkau pulang dan mandilah, sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang keluar menuju masjid sementara wewangiannya menyebar semerbak hingga ia pulang kembali dan mandi”. Hadits ini tidak dinyatakan shahih oleh seorang hafizhpun. Bahkan Ibnu Khuzaimah yang meriwayatkannya berkata: “Jika hadits ini shahih”. [artinya menurut beliau hadits ini tidak shahih].

Dengan demikian hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Yang menjadi sandaran hukum dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah sebelumnya di atas, karena hadits tersebut lebih kuat sanadnya dari pada hadits Ibnu Khuzaimah ini.

Namun demikian makna dua hadits ini dapat dipadukan. Dengan dipahami sebagai berikut: “Jika hadits Ibnu Khuzaimah dinyatakan shahih maka maknanya bukan untuk tujuan mengharamkan memakai minyak wangi bagi kaum perempuan, tapi untuk menyatakan bahwa shalatnya perempuan tersebut tidak diterima [tidak memiliki pahala]. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa perbuatan makruh yang dapat menghilangkan pahala perbuatan [ibadah] yang sedang dilakukan, namun begitu perbuatan [makruh] tersebut bukan sebuah kemaksiatan. Contohnya seperti shalat tanpa adanya khusyu, shalat tetap sah [menggugurkan kewajiban] hanya saja tanpa pahala dan tidak diterima.

Contoh lainnya seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Abu Dawud dengan marfu’[66]: “Siapa yang mendengar orang memanggil [adzan] dan ia tidak memiliki alasan untuk mengikutinya [shalat jama’ah] maka tidak diterima shalatnya [sendiri] yang ia lakukan”. Beberapa sahabat bertanya: “Apakah alasan dalam hal ini?”. Ia menjawab: “Rasa takut atau karena sakit”. Hadits ini bukan berarti orang yang tidak shalat berjama’ah dengan tanpa alasan sebagai pelaku maksiat. Tetapi maknanya orang tersebut telah berlaku perbuatan makruh. Demikian pula dengan hadits Ibnu Khuzaimah di atas bukan dalam pengertian haram memakai wewangian bagi perempuan, tetapi dalam pengertian makruh.

Catatan lainnya; wewangian yang dimakruhkan di sini adalah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh haditsnya menyatakan [وريحها تعصف], dan lafazh [تعصف] untuk bau yang menyengat, tidak digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para ahli bahasa.

Adapun hadits yang berbunyi:
لا تمنعوا إماء الله من مساجد الله ولكن ليخرجن تفلات
(Janganlah kalian melarang para hamba Allah dari kaum perempuan untuk mendatangi masjid-masjid, hanya saja hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian). Hadits inipun dalam pengertian makruh tanzih bila perempuan tersebut memakai wewangian menuju masjid.

Pengakuan sebagain orang bahwa an-Nasa’i meriwayatkan:
فمرت بقوم فوجدوا ريحها ...
Dengan lafazh [فوجدوا]; (…hingga kaum laki-laki medapatkan wanginya…) adalah periwayatan yang tidak shahih. Riwayat yang shahih adalah dengan lafazh [ليجدوا]; (…dengan tujuan agar kaum laki-laki mendapatkan wanginya).

Simak apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn al-Munkadir, berkata: “Suatu saat Asma’ didatangi ‘Aisyah, sementara Zubair (suami Asma’) tidak ada di rumah. Dan ketika Rasulullah masuk ia mendapati wewangian, ia bersabda: “Tidak layak bagi seorang perempuan memakai wewangain di saat suaminya tidak di rumah”. Hadits inipun bukan untuk menunjukan keharaman, karena bila untuk tujuan haram maka akan diterangkan langsung oleh nabi.

Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali dalam karyanya al-Adab as-Syar’iyyah berkata: “Haram bagi seorang perempuan keluar rumah suaminya tanpa mendapatkan izin darinya, kecuali karena dlarurat atau karena kewajian syari’at…”. Pada akhir tulisan ia berkata: “…dan dimakruhkan bagi perempuan memakai wewangain untuk hadir ke masjid atau ke tempat lainnya”.
* * *
Al-Baihaqi dalam dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa di hari iedul fitri Rasulullah keluar rumah, ia shalat dua raka’at, saat itu beliau bersama Bilal, kemudian datang kaum perempuan dan nabi menyuruh mereka semua untuk bersedekah, setelah itu kemudian kaum perempuan tersebut melepaskan apa yang mereka kenakan dari al-Khursh dan as-Sakhab. Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abi al-Walid, dan diriwayatkan Muslim dari Syu’bah”. As-Sakhab adalah sesuatu yang dikenakan dari wewangian. Al-Khursh adalah perhiasan-perhiasan dari emas dan perak. Dalam hadits ini terdapat kebolehan bagi kaum perempuan untuk memakai wewangaian dan berhias, di mana Rasulullah tidak melarang kaum perempuan tersebut untuk mengenakannya.

و قيل ليحي عليه السلام وهو لم يكن له ميل الى امر النساء ما بدء الزنا قال النظر للمراة والتمنى للزنا بالقلب و زنا العين من كبار الصغائر و هو يؤدى الى القرب الى الكبيرة الفاحشة و هو زنا الفرج ومن لم يقدر على غض بصره لم يقدر على حفظ فرجه (عقود اللجين)
Nabi Yahya As telah ditanya apakah permulaan dari zina? Beliau menjawab: memandang perempuan dan ber-angan-angan melakukan zina. Zina mata adalah besar-besarnya dosa kecil, ia akan mendekatkan kepada dosa yg besar yaitu zina farji. Barang siapa yang tidak mampu meredam penglihatannya, maka dia tidak akan mampu menjaga farjinya.




[1] المراد بالكاسيات العاريات: اللاتي يلبسن الثياب الرقيقة التي لا تستر ما تحتها. والمراد بالمائلات المميلات: اللاتي يتمايلن ويتبخترن في مشيهن للافتتان بهن.
[2] البخت: نوع من الإبل المشهورة بكبر سنامها، والمراد أن النساء يعتنين بشعورهن وبعظمنّ ذلك، بلف عمامة أو عصابة أو نفش الشعر ونحوه

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

بسم الله الرحمن الرحيم { وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِن...