بسم الله
الرحمن الرحيم
SEKELUMIT CORETAN TENTANG IJTIHAD DAN TAQLID
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Al-Qur’an dan Hadits adalah
dua sumber utama umat Islam dalam mengambil keputusan. Sumber yang paling utama
tentu saja al-Qur’an karena ia merupakan wahyu ALLAH Swt. Al-Qur’an merupakan
rujukan bagi umat Islam dalam hal apapun. Kaena fungsinya sebagai sumber utama
telah menjelaskan segala sesutu, baik itu tentang pedoman dunia maupun akhirat.
ALLAH Swt, berfirman dalam surat an-Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَاعَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانا ًلِكُلِّ شَيْء وَهُدًى
وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل :89)
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89)
Sebagaimana yang dijelaskan
dalam kitab Manahil al-Urfan bahwa di dalam al-Qur’an terdadpat segala
peraturan baik tentang kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Didalamnya terdapat
undang-undang yang tersusun yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan ALLAH
Swt, serta undang-undang yang berkaitan antar sesama manusia dan lingkungan
dimana mereka berada.
Akan tetapi al-Qur’an
sebagai sumber utama bukan berarti menafikan Hadits, sebab hadits kadang juga
berfungsi sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Ayat yang memerintahkan sholat
misalnya adalah:
{ وَأَقِمِ الصَّلاة
َلِذِكْرِي } [طه:14]
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. “ (Thaha: 14)
Perintah di atas hanya
menyebutkan sholat tanpa memberitahu bagaimana cara sholat itu sendiri,
kemudian setelah itu barulah dicontohkan oleh Nabi Saw, untuk kemudian beliau
memerintahkan kepada umatnya untuk sholat dengan cara sebagaimana yang beliau
contohkan. Nabi Saw, bersabda:
صلوا كما رايتموني اصلي
Artinya: “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat”
SUMBER KEDUA: AL-HADITS
Hadits adalah sabda Nabi
Saw, tindakan, atau sikap (ketetapan) beliau dalam menanggapi sesuatu yang
dilakukan shahabat, yang kesemuanya berkaitan dengan syari’at.Sebab diamnya
Nabi Saw, ketika shahabat melakukan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu tersebut
diperbolehkan, karena mustahil Nabi Saw, diam ketika ada shahabat melakukan
maksiat. Dalil bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam adalah
firman ALLAH Swt:
وَمَآآتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْه
ُفَانتَهُواْ وَاتَّقُوا ْاللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر: 7]
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Dalam tafsir al-Showi,
syekh Muhammad bin Ahmad memberi penjelasan bahwa ayat ini mencakup pada segala
perintah dan larangan Nabi Saw. Karena beliau tidak akan memerintahkan kecuali
dalam kebaikan dan tidak melarang kecuali pada kerusakan dan karena perintah
Nabi Saw, adalah perintah ALLAH Swt, dan segala larangan beliau adalah larangan
ALLAH Swt.[1]
Selain berfungsi sebagai
sumber hukum, Hadits juga berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an, sebagaimana
yang dijelaskan dalam kitab Manahil al-Urfan:
ثم السنة هي الأصل الثاني للتشريع وهي شارحة للقرآن الكريم مفصلة
لمجمله مقيدة لمطلقه مخصصة لعامه مبينة لمبهمه مظهرة لأسراره
{Kemudian
as-Sunnah adalah sumber kedua dalam penetapan hukum syariat, ia (sunnah) adalah
penjelas bagi al-Qur’an yang mulya, memperinci keglobalannya, menentukan maksud
dari ayat-ayat yang bersifat bebas (mutlak), mengkhususkan keumumannya, dan
menampakkan/ menjelaskan rahasia-rahasianya (kesamaran).}.[2]
Fungsi Hadits
terhadap Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu:
1. Menguatkan dan
menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. Menguraikan dan
merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang
umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang
dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an
sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl: 44
3. Menetapkan dan mengadakan
hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah
merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya
seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan
burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi
laki-laki.
IJTIHAD DAN TAQLID
Allah telah berfirman dalam al-Qur’an:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُم ْوَأَتْمَمْت ُعَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً...} (المائدة: 3)
Artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Ayat ini diturunkan pada
hari Jum’at atau pada saat haji wada’ yang menyatakan bahwa Islam telah
sempurna. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai risalah
terakhir dan penyempurna risalah-risalah terdahulu. Al-Qur’an dan Hadits
sebagai pedoman utama sudah cukup untuk umat Islam dalam membimbing kehidupan
mereka baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.
Artinya tidak perlu ada
lagi penambahan dalam syari’at. Akan tetapi kesempurnaan ini bukan malah
mengartikan bahwa taqlid dan bermadzhab adalah sebuah kesalahan. Karena ijtihad
bukannya menambah syari’at, akan tetapi menggali hukum dari dua sumber syariat.
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali bermunculan problematika yang tidak
sama dengan masa dahulu, dan kesemua problematika kehidupan itu perlu dijawab
agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan dosa.
Kalau saja kaum muslimin
sepenuh hati melaksanakan ajaran agama maka insya ALLAH, semua akan damai dan
tentram. Akan tetapi kenyataan yang ada adalah perbedaan pemahaman dan nafsu
menguasai sebagian dari mereka, sehingga tak jarang kondisi ini mengakibatkan
konflik. Dan tampaknya faktor nafsu lebih dominan dalam mempengaruhi terjadinya
problem internal yang menyebabkan terpecah-pecahnya umat Islam ini.
Masing-masing dari mereka mengklaim bahwa merekalah yang benar meski diantara
mereka ada yang sekedar membuat sensasi, mencari popularitas, atau memang
sengaja ingin memecah belah umat Islam.
Kejadian ini sebenarnya
sudah dikabarkan oleh Nabi Saw, beliau bersabda:
وعن عبدالله بن عمرو قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم - :
((ليأتين على أمتي كما أتى على بني إسرائيل حذوالنعل بالنعل ،حتى إن كان منهم أتى
أمه علانية، لكان في أمتي من يصنع ذلك. وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين
ملة، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة،
Artinya: “Akan datang atas umatku apa yang datang pada bani
isra’il seperti (sebelah) sandal dengan sandal (pasangannya). Sehingga apabila
ada diantara mereka (bani isra’il) yang mendatangi ibunya secara
terang-terangan, maka akan ada dari umatku yang melakukan seperti itu. Sesungguhnya
bani isra’il telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan”
Banyak sekali perbedaan
pandangan dalam firqoh-firqoh Islam, akan tetapi selama perbedaan tersebut
bersifat furu’iyah hanya sebatas permasalahan nonfundamental maka ia masih
dikatakan Islam.
Diantara yang menjadi
perdebatan dalam kalangan internal Islam adalah madzhab, taqlid, dan
sejenisnya. Maka sebagai seorang Sunny dengan referensi sangat terbatas dan
pengetahuan sangat minim saya ingin membuat sedikit coretan tentang taqlid.
Sebagai seorang newbie harap maklum jika tulisan tentang taqlid ini hanyalah
sekelumit kata dari kulit luar pembahasan yang masih bersifat dasar.
Berbicara mengenai taqlid
maka tak bisa lepas dari ijtihad, sebab munculnya taqlid adalah karena adanya
ijtihad. Maka dari itu sebelum menulis taqlid, akan ditulis beberapa patah kata
mengenai ijtihad.
Ijtihad
Ijtihad adalah mengerahkan
kemampuan dan kesungguhan dalam upuya menggali hukum dengan menggunakan dalil-dalil
syar’ie yang terperinci.[3]
Orang yang berijtihad
dinamakan mujtahid, mujtahid masih terbagi lagi menjadi beberapa macam, namun
yang dimaksud dalam tulisan ini hanya mujtahid mutlak, yaitu orang yang
memiliki kewenangan untuk mencetuskan hukum dengan langsung berlandaskan pada
al-Qur’an dan Hadits. Bagi mereka yang belum bisa mencapai derajat mujtahid,
maka mereka harus mengikuti apa yang telah diputuskan oleh mujtahid mengenai
hukum-hukum fikih yang terbingkai dalam paket bernama Madzhab. Sedangkan untuk
bisa menjadi mujtahid, seseorang harus menguasai beberpa syarat seperti:
1. Harus
hafal al-Qur’an secara sempurna, karena al-Qur’an adalah pedoman utama dalam
Islam.
2. Hafal
kurang lebih 500.000 hadits, terutama hadits-hadits ahkam, dengan tujuan agar
tidak memutuskan hukum yang melenceng dari syari’at.
3. 3.
Menguasai bahasa Arab dengan cabang-cabang ilmu tentang gramatika Arab yang
benar, dalam menguasai bahara Arab ini seakan-akan ia adalah orang Arab itu
sendiri. Bahasa Arab yang dimaksud disini adalah bahasa Arab yang masih asli
yang belum tercampur bahasa lain (asing) seperti bahasa Arab yang digunakan
orang Arab sekarang ini.[4] Bukankah akan sangat konyol
jika seseorang mengaku mampu mengambil hukum langsung dari dua sumber tersebut
sementara ia tidak mahir ilmu gramatika Arab, apalagi hanya membaca terjemahan.
4. Benar-benar
mengetahui tentang nasikh-mansukh secara sempurna baik dari al-Qur’an maupun
Hadits, tujuannya adalah agar ia tidak salah dalam menggunakan dalil. Dalil
yang mansukh adalah dalil yang tidak dipakai lagi karena telah diganti dengan
yang baru.
5. Tahu
tentang ijma’[5] yang telah dilakukan ulama
agar tidak memutuskan hukum yang berlawanan dengan kesepakatan ulama Islam.
Jumlah madzhab yang pernah
ada sebenarnya lebih dari 4 dalam satu redaksi kitab yang pernah saya baca,
jumlah mujtahid mutlak ada 10. Akan tetapi hanya 4 madzhab yang terus eksis dan
terjaga hingga saat ini, yaitu madzhab Imam Malik, Madzhab Imam Syafi’ie, Madzhab
Ahmad bin Hambal, dan Madzhab Abu Hanifah.
Apakah
pada masa sekarang ini masih ada orang yang bisa menjadi mujtahid?
Dalam kitab yang berjudul
Luzuum Ittiba’ Madzahib al-Arba’ disebutkan bahwa ketikaabad ke-4 hijriah telah
berlalu, maka pintu ijtihad telah ditutup. Namun bukan berarti melarang
orang-orang sekarang untuk mendapatkan anugerah ALLAH, akan tetapi agar tidak
ada orang yang mengaku sebagai mujtahid sedangkan kualitas keilmuwan orang
tersebut masih sangat belum layak untuk dikatakan mujtahid. Para mujtahid
selain mahir dalam menguasai ilmu agama mereka juga adalah orang-orang yang
hatinya bersih, sehingga dalam memutuskan hukum, mereka tidak terpengaruh oleh
harta atau jabatan.
Pada masa lalu, peradaban
dan ilmu pengetahuan dalam Islam mengalami kemajuan yang luar biasa. Tercatat
pada masa Abbasiah adalah masa keemasan umat Islam. Selain itu zaman dahulu
juga dekat dengan ke-Nabian. Meski begitu orang-orang terdahulu pun juga
dilarang untuk berijtihad jika keilmuwannya belum mencukupi syarat. Apalagi
sekarang umat Islam mengalami kemerosotan dalam dunia pendidikan agama,
pendidikan umum, dan lebih parah lagi kemerosotan moral.
Jika zaman dahulu ada nama Ibnu Sina yang
bukunya jadi panduan kedokteran dalam beberapa abad di eropa, ada nama Abu
Bakar Muhammad al-Rozi yang patungnya di abadikan di salah satu universitas
Amerika, ada Jabar bin Hayyan sang ahli matematika, ada Ibnu Hazm ahli biologi
dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka tidak hanya mahir dalam dunia
pendidikan umum, akan tetapi juga mahir dalam berbagai cabang ilmu agama
seperti tafsir, fiqh, tasawwuf, dan lainnya.
Jadi, setiap orang yang
belum mencapai derajat mujtahid harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh
para mujtahid mutlak dalam kitab-kitab yang telah mereka susun ataupun
kitab-kitab yang telah disusun oleh murid-murid mereka. Mengikuti keputusan
yang telah ditetapkan mujtahid inilah yang dinamakan taqlid.
Taqlid
Taqlid adalah sebuah
istilah atau ungkapan mengenai keikutsertaan pada orang lain dalam perkataan maupn
perbuatan dengan tanpa mencari dalilnya. Secara simple taqlid adalah mengikuti
apa yang telah difatwakan mujtahid atau ulama dalam permasalahan hukum-hukum
agama. Sedangkan dalam kitab Adlwaul Bayan fi Ahkam al-Qur’an bi al-Qur’an
diterangkan:
وأماالتقليد في اصطلاح الفقهاء: فهوالأخذ بمذهب الغيرمن غيرمعرفة دليله.
Taqlid dalam istilah fikih
adalah: mengikuti pendapat orang lain (ulama mujtahid) dengan tanpa mengetahui
dalilnya.
Taqlid bukanlah satu
tindakan yang tercela bahkan ia diperintahkan oleh syariat, ALLAH berfirman
dalam surat An-Nisa ayat 59:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِمِنْكُمْ
Artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman taatlah kalian kepada ALLAH, dan taatlah kepada Rosul dan ulil
amri dari kalian”
Dalam kitab Ahkam al-Qur’an
ditafsirkan:
يحتمل أن يراد به الفقهاء والعلماء. ويحتمل أن يراد به الأمراء, وهو
الأظهر, لما تقدم من ذكرالعدل في قوله:
{وإذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ الناسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ{.
وقوله: {فَإنْ
تَنَازَعْتُمْ
فيِ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إلىَ اللهِ والرَّسول}: يدل على أن أولي الأمر هم الفقهاء, لأنه أمر سائرالناس
بطاعتهم, وأمر أولي الأمر برد المتنازع فيه إلى كتاب الله, وسنة نبيه عليه السلام,
وليس لغيرالعلماء معرفة
كيفية
الرد إلى الكتاب
والسنة.
Dalil ini menunjkkan bahwa ulil amri adalah fuqoha (ahli fiqh),
karena ALLAH Swt, memerintahkan kepada segenap manusia untuk mentaati mereka.
Dan ALLAH Swt, memerintahkan kepada ulil amri untuk menyelesaikan pertentangan
dengan merujuk kepada kitab ALLAH, dan sunnah Rosul-Nya. Dan tidak ada orang
selain ulama yang bisa mengetahui bagaimana cara merujuk kepada kitab al-Qur’an
dan Hadits.
Dalam kitab Adlwa al-Bayan
fi Ahkam al-Qur’an bi al-Qur’an diterangkan:
إن المراد بأولي الأمر العلماء، وأن طاعتهم المامور بها في الآية هي
تقليد هم
Yang dimaksud dengan ulil amri adalah ulama. Sedangkan bentuk
ketaatan kepada mereka adalah dengan mengikuti mereka selama yang mereka
fatwakan tidak untuk bermaksiat kepada ALLAH.
Sebagaimana dalam kitab
Aysiru al-Tafasir dijelaskan:
والطاعة لأولي الأمر
مُقيد بما كان معروفا ًللشرع، أما في غير المعروف فلا طاعة في الاختيار لحديث: "إنما الطاعة في
المعروف، و لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق" .
Taat kepada ulil amri berkaitan dengan hal kebajikan dalam
syari’at. Adapun selain kebajikan, maka tidak ada kata taat dalam keadaan
ikhtiar[6].
Sebagaimana hadits: “Ketaatan itu adalah dalam urusan kebajikan. Dantak ada
ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Sang Pencipta”
Inti dari penjelasan diatas
adalah bahwa orang muslim yang masih awam harus ikut pada ulama dalam
memutuskan masalah-masalah agama. (jangan sok tau mau memutuskan hukum sendiri
dari al-Qur’an)
Allah juga berfirman:
{فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لا تَعْلَمُونَ}
Imam Bukhari menjelaskan
dalam tafsirnya: hendaknya orang mukmin bertanya pada ahlul Qur’an (yaitu
ulama) mengenai hukum-hukum apabila masih belum tahu. Ketika mereka sudah tau
tentang fatwa ulama mengenai hukum, lalu mereka mengikutinya itulah yang
dinamakan taqlid.
Dalam kitab al-Jami’
al-Ahkam al-Qur’an dinyatakan:
مسألة : لم يختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المراد بقول الله عز وجل :
{فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْر ِإِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} أجمعوا على أن الأعمى
لابد له من تقليد غيره ممن يثق بميزة بالقبلة إذا أشكلت عليه؛ فكذلك من لاعلم له
ولابصر بمعنى مايدين به لابد له من تقليد عالمه ،وكذلك لم يختلف العلماء أن
العامة لايجوز لها الفتيا؛ لجهلها بالمعاني التي منها يجوز التحليل والتحريم
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama mengenai larangan bagi
orang awam untuk berfatwa karena kebodohannya tentang makna-makna yang
memperbolehkan halal dan haram.
Jadi, baik dari an-Nisa:
59, ataupun an-Nahl: 63, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang masih
awam dan belum memiliki kapasitas keilmuwan yang mumpuni harus ikut kepada
ulama dalam masalah memutuskan hukum agama.
Sebagian orang yang
menentang madzhab menafsirkan al-Qur’an dengan pemikiran mereka sendiri,
menyalahkan para mujtahid bahkan para sahabat dalam beberapa masalah seperti
talak (perceraian), jumlah rakaat shalat tarawih, dan lain sebagainya lalu
mereka mewajibkan untuk menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan Hadits,
mereka bahkan menggunakan ayat-ayat untuk menentang orang yang bermadzhab dengan
memakai ayat yang sebenarnya ditujukan untuk orang-orang kafir.
Jika diteliti lagi
sebenarnya tidak ada orang yang tidak bermadzhab. Orang-orang yang mengaku
tidak bermadzhab tersebut sejatinya telah bermadzhab pada gurunya untuk tidak
bermadzhab. Secara otomatis mereka ikut pada pandangan guru mereka. Nah,
bukankah yang lebih baik adalah bermadzhab pada madzhab yang kevalidannya sudah
diakui sejak beratus-ratus tahun yang lalu daripada bermadzhab pada mereka yang
hanya bermodal omong besar dan berpengetahuan rendah.
[1] Muhammad bin Ahmad, Hasyiyah al-Showi,
Beirut Lebanon: Dar al-Kotob) hal.177
[2] Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Urfan,
juz 1 (Maktabah Syamilah: al-Ishdar al-Tsani) hal.299
[3] Sa’idu al-Rahman al-Tirahi, Al-Hab al-Matin
fi Ittiba’ al-Salaf al-Sholihin, (Istambul Turkey: Hakikat Kitabevi, 2005)
6
[4] Sebagaimana yang kita ktahui bahwa munculnya
ilmu nahwu adalah berawal dari kekhawatiran abu al-Aswad a-Du’ali akan rusaknya
bahasa Arab, saat puteri beliau salah dalam menggunakan bahasa Arab, hal ini
membuat beliau galau sehingga melapor pada Sayidina Ali tentang masalah
tersebut. Padahal itu masih zaman kekhalifahan sayyidina Ali Kw. Sedangkan pada
saat ini bahasa Arab yang dipakai di Arab sehari-hari sudah pasaran dan jauh
dari tata cara berbahasa Arab yang benar yang menggunakan nahwu dan shorrof.
[5] Ijma’ adalah konsensus atau kesepakatan yang
dilakukan oleh ulama Islam dalam memutuskan suatu hukum.
[6] Ikhtiar maksudnya adalah suatu kondisi dimana
seseorang tidak merasa berada dalam tekanan yang dapat membuatnya
terancam bahaya. Atau satu kondisi dimana ia dapat bebas memilih untuk
berbuat satu tindakan atau tidak, tanpa ada satu halangan yang dibenarkan oleh
syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar