Kamis, 11 Mei 2017

Mengulas tentang Ijtihad dan taklid / taqlid



بسم الله الرحمن الرحيم
SEKELUMIT CORETAN TENTANG IJTIHAD DAN TAQLID
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Al-Qur’an dan Hadits adalah dua sumber utama umat Islam dalam mengambil keputusan. Sumber yang paling utama tentu saja al-Qur’an karena ia merupakan wahyu ALLAH Swt. Al-Qur’an merupakan rujukan bagi umat Islam dalam hal apapun. Kaena fungsinya sebagai sumber utama telah menjelaskan segala sesutu, baik itu tentang pedoman dunia maupun akhirat. ALLAH Swt, berfirman dalam surat an-Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَاعَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانا ًلِكُلِّ شَيْء وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل :89)
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89)

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Manahil al-Urfan bahwa di dalam al-Qur’an terdadpat segala peraturan baik tentang kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Didalamnya terdapat undang-undang yang tersusun yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan ALLAH Swt, serta undang-undang yang berkaitan antar sesama manusia dan lingkungan dimana mereka berada.

Akan tetapi al-Qur’an sebagai sumber utama bukan berarti menafikan Hadits, sebab hadits kadang juga berfungsi sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Ayat yang memerintahkan sholat misalnya adalah:
{ وَأَقِمِ الصَّلاة َلِذِكْرِي } [طه:14]
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. “ (Thaha: 14)

Perintah di atas hanya menyebutkan sholat tanpa memberitahu bagaimana cara sholat itu sendiri, kemudian setelah itu barulah dicontohkan oleh Nabi Saw, untuk kemudian beliau memerintahkan kepada umatnya untuk sholat dengan cara sebagaimana yang beliau contohkan. Nabi Saw, bersabda:
صلوا كما رايتموني اصلي
Artinya: “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat”

SUMBER KEDUA: AL-HADITS
Hadits adalah sabda Nabi Saw, tindakan, atau sikap (ketetapan) beliau dalam menanggapi sesuatu yang dilakukan shahabat, yang kesemuanya berkaitan dengan syari’at.Sebab diamnya Nabi Saw, ketika shahabat melakukan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu tersebut diperbolehkan, karena mustahil Nabi Saw, diam ketika ada shahabat melakukan maksiat. Dalil bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam adalah firman ALLAH Swt:

وَمَآآتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْه ُفَانتَهُواْ وَاتَّقُوا ْاللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر: 7]
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)

Dalam tafsir al-Showi, syekh Muhammad bin Ahmad memberi penjelasan bahwa ayat ini mencakup pada segala perintah dan larangan Nabi Saw. Karena beliau tidak akan memerintahkan kecuali dalam kebaikan dan tidak melarang kecuali pada kerusakan dan karena perintah Nabi Saw, adalah perintah ALLAH Swt, dan segala larangan beliau adalah larangan ALLAH Swt.[1]

Selain berfungsi sebagai sumber hukum, Hadits juga berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Manahil al-Urfan:
ثم السنة هي الأصل الثاني للتشريع وهي شارحة للقرآن الكريم مفصلة لمجمله مقيدة لمطلقه مخصصة لعامه مبينة لمبهمه مظهرة لأسراره
{Kemudian as-Sunnah adalah sumber kedua dalam penetapan hukum syariat, ia (sunnah) adalah penjelas bagi al-Qur’an yang mulya, memperinci keglobalannya, menentukan maksud dari ayat-ayat yang bersifat bebas (mutlak), mengkhususkan keumumannya, dan menampakkan/ menjelaskan rahasia-rahasianya (kesamaran).}.[2]

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu:
1.     Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2.    Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl: 44
3.    Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJTIHAD DAN TAQLID
Allah telah berfirman dalam al-Qur’an:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُم ْوَأَتْمَمْت ُعَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً...} (المائدة: 3)
Artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Ayat ini diturunkan pada hari Jum’at atau pada saat haji wada’ yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai risalah terakhir dan penyempurna risalah-risalah terdahulu. Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman utama sudah cukup untuk umat Islam dalam membimbing kehidupan mereka baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.

Artinya tidak perlu ada lagi penambahan dalam syari’at. Akan tetapi kesempurnaan ini bukan malah mengartikan bahwa taqlid dan bermadzhab adalah sebuah kesalahan. Karena ijtihad bukannya menambah syari’at, akan tetapi menggali hukum dari dua sumber syariat. Seiring perkembangan zaman, banyak sekali bermunculan problematika yang tidak sama dengan masa dahulu, dan kesemua problematika kehidupan itu perlu dijawab agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan dosa.

Kalau saja kaum muslimin sepenuh hati melaksanakan ajaran agama maka insya ALLAH, semua akan damai dan tentram. Akan tetapi kenyataan yang ada adalah perbedaan pemahaman dan nafsu menguasai sebagian dari mereka, sehingga tak jarang kondisi ini mengakibatkan konflik. Dan tampaknya faktor nafsu lebih dominan dalam mempengaruhi terjadinya problem internal yang menyebabkan terpecah-pecahnya umat Islam ini. Masing-masing dari mereka mengklaim bahwa merekalah yang benar meski diantara mereka ada yang sekedar membuat sensasi, mencari popularitas, atau memang sengaja ingin memecah belah umat Islam.

Kejadian ini sebenarnya sudah dikabarkan  oleh Nabi Saw, beliau bersabda:
وعن عبدالله بن عمرو قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم - : ((ليأتين على أمتي كما أتى على بني إسرائيل حذوالنعل بالنعل ،حتى إن كان منهم أتى أمه علانية، لكان في أمتي من يصنع ذلك. وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة،
Artinya: “Akan datang atas umatku apa yang datang pada bani isra’il seperti (sebelah) sandal dengan sandal (pasangannya). Sehingga apabila ada diantara mereka (bani isra’il) yang mendatangi ibunya secara terang-terangan, maka akan ada dari umatku yang melakukan seperti itu. Sesungguhnya bani isra’il telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan”

Banyak sekali perbedaan pandangan dalam firqoh-firqoh Islam, akan tetapi selama perbedaan tersebut bersifat furu’iyah hanya sebatas permasalahan nonfundamental maka ia masih dikatakan Islam.

Diantara yang menjadi perdebatan dalam kalangan internal Islam adalah madzhab, taqlid, dan sejenisnya. Maka sebagai seorang Sunny dengan referensi sangat terbatas dan pengetahuan sangat minim saya ingin membuat sedikit coretan tentang taqlid. Sebagai seorang newbie harap maklum jika tulisan tentang taqlid ini hanyalah sekelumit kata dari kulit luar pembahasan yang masih bersifat dasar.

Berbicara mengenai taqlid maka tak bisa lepas dari ijtihad, sebab munculnya taqlid adalah karena adanya ijtihad. Maka dari itu sebelum menulis taqlid, akan ditulis beberapa patah kata mengenai ijtihad.

Ijtihad
Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dan kesungguhan dalam upuya menggali hukum dengan menggunakan dalil-dalil syar’ie yang terperinci.[3]

Orang yang berijtihad dinamakan mujtahid, mujtahid masih terbagi lagi menjadi beberapa macam, namun yang dimaksud dalam tulisan ini hanya mujtahid mutlak, yaitu orang yang memiliki kewenangan untuk mencetuskan hukum dengan langsung berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits. Bagi mereka yang belum bisa mencapai derajat mujtahid, maka mereka harus mengikuti apa yang telah diputuskan oleh mujtahid mengenai hukum-hukum fikih yang terbingkai dalam paket bernama Madzhab. Sedangkan untuk bisa menjadi mujtahid, seseorang harus menguasai beberpa syarat seperti:

1.     Harus hafal al-Qur’an secara sempurna, karena al-Qur’an adalah pedoman utama dalam Islam.
2.    Hafal kurang lebih 500.000 hadits, terutama hadits-hadits ahkam, dengan tujuan agar tidak memutuskan hukum yang melenceng dari syari’at.
3.    3.     Menguasai bahasa Arab dengan cabang-cabang ilmu tentang gramatika Arab yang benar, dalam menguasai bahara Arab ini seakan-akan ia adalah orang Arab itu sendiri. Bahasa Arab yang dimaksud disini adalah bahasa Arab yang masih asli yang belum tercampur bahasa lain (asing) seperti bahasa Arab yang digunakan orang Arab sekarang ini.[4] Bukankah akan sangat konyol jika seseorang mengaku mampu mengambil hukum langsung dari dua sumber tersebut sementara ia tidak mahir ilmu gramatika Arab, apalagi hanya membaca terjemahan.
4.    Benar-benar mengetahui tentang nasikh-mansukh secara sempurna baik dari al-Qur’an maupun Hadits, tujuannya adalah agar ia tidak salah dalam menggunakan dalil. Dalil yang mansukh adalah dalil yang tidak dipakai lagi karena telah diganti dengan yang baru.
5.    Tahu tentang ijma’[5] yang telah dilakukan ulama agar tidak memutuskan hukum yang berlawanan dengan kesepakatan ulama Islam.

Jumlah madzhab yang pernah ada sebenarnya lebih dari 4 dalam satu redaksi kitab yang pernah saya baca, jumlah mujtahid mutlak ada 10. Akan tetapi hanya 4 madzhab yang terus eksis dan terjaga hingga saat ini, yaitu madzhab Imam Malik, Madzhab Imam Syafi’ie, Madzhab Ahmad bin Hambal, dan Madzhab Abu Hanifah.

    Apakah pada masa sekarang ini masih ada orang yang bisa menjadi mujtahid?
Dalam kitab yang berjudul Luzuum Ittiba’ Madzahib al-Arba’ disebutkan bahwa ketikaabad ke-4 hijriah telah berlalu, maka pintu ijtihad telah ditutup. Namun bukan berarti melarang orang-orang sekarang untuk mendapatkan anugerah ALLAH, akan tetapi agar tidak ada orang yang mengaku sebagai mujtahid sedangkan kualitas keilmuwan orang tersebut masih sangat belum layak untuk dikatakan mujtahid. Para mujtahid selain mahir dalam menguasai ilmu agama mereka juga adalah orang-orang yang hatinya bersih, sehingga dalam memutuskan hukum, mereka tidak terpengaruh oleh harta atau jabatan.

Pada masa lalu, peradaban dan ilmu pengetahuan dalam Islam mengalami kemajuan yang luar biasa. Tercatat pada masa Abbasiah adalah masa keemasan umat Islam. Selain itu zaman dahulu juga dekat dengan ke-Nabian. Meski begitu orang-orang terdahulu pun juga dilarang untuk berijtihad jika keilmuwannya belum mencukupi syarat. Apalagi sekarang umat Islam mengalami kemerosotan dalam dunia pendidikan agama, pendidikan umum, dan lebih parah lagi kemerosotan moral.

 Jika zaman dahulu ada nama Ibnu Sina yang bukunya jadi panduan kedokteran dalam beberapa abad di eropa, ada nama Abu Bakar Muhammad al-Rozi yang patungnya di abadikan di salah satu universitas Amerika, ada Jabar bin Hayyan sang ahli matematika, ada Ibnu Hazm ahli biologi dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka tidak hanya mahir dalam dunia pendidikan umum, akan tetapi juga mahir dalam berbagai cabang ilmu agama seperti tafsir, fiqh, tasawwuf, dan lainnya.

Jadi, setiap orang yang belum mencapai derajat mujtahid harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh para mujtahid mutlak dalam kitab-kitab yang telah mereka susun ataupun kitab-kitab yang telah disusun oleh murid-murid mereka. Mengikuti keputusan yang telah ditetapkan mujtahid inilah yang dinamakan taqlid.

Taqlid
Taqlid adalah sebuah istilah atau ungkapan mengenai keikutsertaan pada orang lain dalam perkataan maupn perbuatan dengan tanpa mencari dalilnya. Secara simple taqlid adalah mengikuti apa yang telah difatwakan mujtahid atau ulama dalam permasalahan hukum-hukum agama. Sedangkan dalam kitab Adlwaul Bayan fi Ahkam al-Qur’an bi al-Qur’an diterangkan:
وأماالتقليد في اصطلاح الفقهاء: فهوالأخذ بمذهب الغيرمن غيرمعرفة دليله.
Taqlid dalam istilah fikih adalah: mengikuti pendapat orang lain (ulama mujtahid) dengan tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid bukanlah satu tindakan yang tercela bahkan ia diperintahkan oleh syariat, ALLAH berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِمِنْكُمْ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada ALLAH, dan taatlah kepada Rosul dan ulil amri dari kalian”

Dalam kitab Ahkam al-Qur’an ditafsirkan:
يحتمل أن يراد به الفقهاء والعلماء. ويحتمل أن يراد به الأمراء, وهو الأظهر, لما تقدم من ذكرالعدل في قوله:
{وإذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ الناسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ{.
وقوله: {فَإنْ تَنَازَعْتُمْ فيِ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إلىَ اللهِ والرَّسول}: يدل على أن أولي الأمر هم الفقهاء, لأنه أمر سائرالناس بطاعتهم, وأمر أولي الأمر برد المتنازع فيه إلى كتاب الله, وسنة نبيه عليه السلام, وليس لغيرالعلماء معرفة كيفية الرد إلى الكتاب والسنة.

Dalil ini menunjkkan bahwa ulil amri adalah fuqoha (ahli fiqh), karena ALLAH Swt, memerintahkan kepada segenap manusia untuk mentaati mereka. Dan ALLAH Swt, memerintahkan kepada ulil amri untuk menyelesaikan pertentangan dengan merujuk kepada kitab ALLAH, dan sunnah Rosul-Nya. Dan tidak ada orang selain ulama yang bisa mengetahui bagaimana cara merujuk kepada kitab al-Qur’an dan Hadits.

Dalam kitab Adlwa al-Bayan fi Ahkam al-Qur’an bi al-Qur’an diterangkan:
إن المراد بأولي الأمر العلماء، وأن طاعتهم المامور بها في الآية هي تقليد هم
Yang dimaksud dengan ulil amri adalah ulama. Sedangkan bentuk ketaatan kepada mereka adalah dengan mengikuti mereka selama yang mereka fatwakan tidak untuk bermaksiat kepada ALLAH

Sebagaimana dalam kitab Aysiru al-Tafasir dijelaskan:
والطاعة لأولي الأمر مُقيد بما كان معروفا ًللشرع، أما في غير المعروف فلا طاعة في الاختيار لحديث: "إنما الطاعة في المعروف، و لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق" .
Taat kepada ulil amri berkaitan dengan hal kebajikan dalam syari’at. Adapun selain kebajikan, maka tidak ada kata taat dalam keadaan ikhtiar[6]. Sebagaimana hadits: “Ketaatan itu adalah dalam urusan kebajikan. Dantak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Sang Pencipta”

Inti dari penjelasan diatas adalah bahwa orang muslim yang masih awam harus ikut pada ulama dalam memutuskan masalah-masalah agama. (jangan sok tau mau memutuskan hukum sendiri dari al-Qur’an)

Allah juga berfirman:
{فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ}
Imam Bukhari menjelaskan dalam tafsirnya: hendaknya orang mukmin bertanya pada ahlul Qur’an (yaitu ulama) mengenai hukum-hukum apabila masih belum tahu. Ketika mereka sudah tau tentang fatwa ulama mengenai hukum, lalu mereka mengikutinya itulah yang dinamakan taqlid.
Dalam kitab al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an dinyatakan:
مسألة : لم يختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المراد بقول الله عز وجل : {فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْر ِإِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} أجمعوا على أن الأعمى لابد له من تقليد غيره ممن يثق بميزة بالقبلة إذا أشكلت عليه؛ فكذلك من لاعلم له ولابصر بمعنى مايدين به لابد له من تقليد عالمه ،وكذلك لم يختلف العلماء أن العامة لايجوز لها الفتيا؛ لجهلها بالمعاني التي منها يجوز التحليل والتحريم
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama mengenai larangan bagi orang awam untuk berfatwa karena kebodohannya tentang makna-makna yang memperbolehkan halal dan haram.

Jadi, baik dari an-Nisa: 59, ataupun an-Nahl: 63, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang masih awam dan belum memiliki kapasitas keilmuwan yang mumpuni harus ikut kepada ulama dalam masalah memutuskan hukum agama.

Sebagian orang yang menentang madzhab menafsirkan al-Qur’an dengan pemikiran mereka sendiri, menyalahkan para mujtahid bahkan para sahabat dalam beberapa masalah seperti talak (perceraian), jumlah rakaat shalat tarawih, dan lain sebagainya lalu mereka mewajibkan untuk menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan Hadits, mereka bahkan menggunakan ayat-ayat untuk menentang orang yang bermadzhab dengan memakai ayat yang sebenarnya ditujukan untuk orang-orang kafir.

Jika diteliti lagi sebenarnya tidak ada orang yang tidak bermadzhab. Orang-orang yang mengaku tidak bermadzhab tersebut sejatinya telah bermadzhab pada gurunya untuk tidak bermadzhab. Secara otomatis mereka ikut pada pandangan guru mereka. Nah, bukankah yang lebih baik adalah bermadzhab pada madzhab yang kevalidannya sudah diakui sejak beratus-ratus tahun yang lalu daripada bermadzhab pada mereka yang hanya bermodal omong besar dan berpengetahuan rendah.







[1] Muhammad bin Ahmad, Hasyiyah al-Showi, Beirut Lebanon: Dar al-Kotob) hal.177
[2] Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Urfan, juz 1 (Maktabah Syamilah: al-Ishdar al-Tsani) hal.299
[3] Sa’idu al-Rahman al-Tirahi, Al-Hab al-Matin fi Ittiba’ al-Salaf al-Sholihin, (Istambul Turkey: Hakikat Kitabevi, 2005) 6
[4] Sebagaimana yang kita ktahui bahwa munculnya ilmu nahwu adalah berawal dari kekhawatiran abu al-Aswad a-Du’ali akan rusaknya bahasa Arab, saat puteri beliau salah dalam menggunakan bahasa Arab, hal ini membuat beliau galau sehingga melapor pada Sayidina Ali tentang masalah tersebut. Padahal itu masih zaman kekhalifahan sayyidina Ali Kw. Sedangkan pada saat ini bahasa Arab yang dipakai di Arab sehari-hari sudah pasaran dan jauh dari tata cara berbahasa Arab yang benar yang menggunakan nahwu dan shorrof.
[5] Ijma’ adalah konsensus atau kesepakatan yang dilakukan oleh ulama Islam dalam memutuskan suatu hukum.
[6] Ikhtiar maksudnya adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak merasa berada dalam tekanan yang dapat membuatnya terancam  bahaya. Atau satu kondisi dimana ia dapat bebas memilih untuk berbuat satu tindakan atau tidak, tanpa ada satu halangan yang dibenarkan oleh syariat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

بسم الله الرحمن الرحيم { وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِن...