Minggu, 21 Mei 2017

Tafsir surah al-Ikhlas



بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam tulisan ini sedikit kutulis mengenai tauhid, dengan tujuan mengenal ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan kemampuan otak manusia. Tingkat pemahaman tauhid ini berbeda dari setiap individu. Semua tergantung pada penguasaannya pada ilmu agama dan juga kedekatannya kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.
Secuil tauhid yang ada dalam tulisan ini adalah tauhid dasar untuk tingkat pemula (sama seperti saya). Dalam belajar ilmu tauhid, tentu saja kita harus memiliki guru yang benar yang dapat membimbing. Bukan hanya belajar dari mbah google dot kom ….
Surah al-Ikhlas
Surah ini dinamakan surah al-Ikhlas yang berarti murni karena umat Islam memurnikan tauhid dalam artian hanya menjadian ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, sebagai sesembahan sehingga menjadikan murninya penganut ajaran Islam. Tidak seperti yahudi yang menyamakan Tuhan dengan makhluk lainnya, dan tidak pula seperti orang-orang Nashrani yang mengatakan bahwa Tuhan itu tiga.[1]
Surat ini terdiri atas 4 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah sesudah surat An-Naas. Dinamakan Al Ikhlas karena surat ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala[2]
Disebutkan bahwa orang-orang musyrikin bertanya pada Rosulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang nasab (ayah, kakek, dll) dari ALLAH Yang Maha Agung, maka kemudian ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, menurunkan surah al-Ikhlas sebagai jawaban atas pertanyaan mereka. Dan sebagian ulama mengatakan justru ayat ini turun ketika ada orang yahudi yang bertanya kepada Rosulullah, dan mereka mengatakan kepada Rosulullah: “ini adalah ALLAH Yang Menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan ALLAH. Maka kemudian turunlah ayat ini sebagai jawaban untuk mereka.[3]
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Karena sesuatu yang beranak akan mewariskan sesuatu kepada generasi setelahnya, dan setiap yang diperanakkan pasti akan mengalami kematian. Sedangkan ALLAH Maha Suci dari semua itu.
{قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ}
هميان الزاد - إباضي *  - (16 / 168)
قال بعضهم الواحد المنفرد لا إله معه والأحد حامع صفات الجلال وهو من وجوب الوجود والقدرة الذاتية والحكمة التامة ولا جسم ولا عرض ولا تحيز ولا شركة ولا يوصف غير الله بالأحد
Setiap apa yang terbesit dalam otak manusia tentang gambaran wujud ALLAH ketika mereka berpikir tentang wujud ALLAH, maka itu bukanlah ALLAH, karena ALLAH Subhanahu wa Ta’ala Dzat Yang Maha Sempurna, tidak akan mampu dijangkau dengan pemikiran otak manusia yang lemah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa الواحد adalah Dzat Tunggal yang tidak ada Tuhan selain Dia. Sedangkan الاحد adalah
تفسير الرازي *  - (17 / 301)
إشارة إلى كونه واحداً ، بمعنى أنه ليس في ذاته تركيب ولا تأليف بوجه من الوجوه
{ الله أَحَدٌ } menunjukkan bahwa ALLAH itu Esa ALLAH itu Satu Yang tidak tersusun dari beberapa bagian dan tidak pula terdiri dari beberapa komponen. Kata-kata tauhid diambil dari kata وحد yang berarti meng-Esa-kan ALLAH. Jadi ketika ada orang yang menyatakan tauhid itu terbagi tiga maka dia telah berpikir secara irasional. Karena Ke-Esa-an ALLAH tidak terbagi-bagi lagi. Dan Rosulullah tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk membagi tauhid.
اللَّهُ الصَّمَدُ lafadz الصمد ini dalam tafsir al-Thabari disebutkan:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي مَعْنَى الصَّمَدِ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ : هُوَ الَّذِي لَيْسَ بِأَجْوَفَ ، وَلاَ يَأْكُلُ وَلاَ يَشْرَبُ.
Para ahli takwil ada yang mengatakan makna al-Shamad adalah tidak memiliki rongga dan tidak makan serta tidak minum. Atau الصمد dapat pula diartikan bahwa ALLAH adalah tempat bersandar seluruh makhluk kepada-Nya[4], sebagaimana penjelasan yang diutarakan oleh Rosulullah ketika ditanya oleh orang nashrani. Dan dalam keterangan lain disebutkan bahwa makna as-Shomad adalah:
{الصَّمَدُ}. : هُوَ السَّيِّدُ الَّذِي قَدِ انْتَهَى سُؤْدَدُهُ[5].
Al-Shomad diartikan dengan Sayyid tertinggi Sayyid sendiri bisa diartikan dengan Tuan/Gusti, kepala, ketua atau atasan, dan الصمد adalah atasan Gusti tertinggi yang tidak ada lagi derajat gusti diatasnya. (maaf jika penjelasannya kurang pas tapi insya ALLAH tidak melenceng, makanya saya tulis kutipan dari tafsir at-Thobari agar pembaca bisa menterjemahnya sendiri).[6]
{لَمْ يَلِدْ} ALLAH Subhanahu wa Ta’ala Tidak melahirkan karena setiap sesuatu yang melahirkan akan mewariskan sesuatu kepada generasi setelahnya, dan ALLAH Tidak binasa, karena setiap sesuatu yang melahirkan pasti akan mengalami kebinasaan.
وَلَمْ يُولَدْ ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak dilahirkan. ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, adalah Dzat Yang Terdahulu Yang tidak akan berubah dan tidak akan binasa. Ketika ALLAH Menyatakan bahwa Dia adalah Qadim (terdahulu), maka mustahil ALLAH dilahirkan, karena pada logikanya setiap yang dilahirkan baru ada setelah sebelumnya tidak ada. Dan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, ada sebelum adanya segala sesuatu karena segala sesuatu adalah ciptaan ALLAH. Dan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak Membutuhkan tempat, sebab jika ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, Membutuhkan tempat maka berarti tempat itu sama Qodimnya dengan ALLAH, dan berarti tempat itu sama dengan ALLAH, sedangkan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, Maha Suci dari Membutuhkan makhluk-Nya.
{وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} para ahli takwil berbeda pendapat dalam menanggapi ayat ini diantara mereka ada yang menyatakan bahwa arti dari ayat ini adalah ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak Memiliki tandingan atau kembaran, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak Membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, ada sebelum adanya segala sesuatu tanpa ada permulaan. Ketika segala sesuatu yang diketahui ataupun tidak diketahui manusia sudah diciptakan oleh ALLAH, Dia (ALLAH) tetap tidak Membutuhkannya. Termasuk tempat, karena ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, bersifat: Qiyamuhu binafsihi (Dzat Yang Berdiri Sendiri dan tidak Membutuhkan apapun dan siapapun). Lantas bagaimana tentang ayat yang menjelaskan bahwa ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, ‘bertempat di atas arsy’ sebagaimana firman ALLAH Subhanahu wa Ta’ala:
{اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ شَفِيعٍ أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ} (السجدة : 3)
Dalam tafsir ar-Razi dijelaskan sebagai berikut:
تفسير الرازي *  - (7 / 114)
أما قوله تعالى : { ثُمَّ استوى عَلَى العرش } فاعلم أنه لا يمكن أن يكون المراد منه كونه مستقراً على العرش ويدل على فساده وجوه عقلية ، ووجوه نقلية .
Adapun firman ALLAH Subhanahu wa Ta’ala “ثُمَّ استوى عَلَى العرشmaka ketahuiah bahwa tidak mungkin yang dimaksud dari ayat ini adalah ALLAH berdiam di atas arsy. Statement ini tidak benar jika ditinjau dari segi akal ataupun dalil yang ada.[7]
Dalam sebuah keterangan lain disebutkan perbedaan pendapat ulama salaf dan ulama khalaf dalam menanggapi ayat-ayat semacam ini. Ulama salaf tidak mau mentakwil ayat-ayat seperti ini namun mereka juga tidak mengartikannya secara harfiah seperti duduk layaknya manusia. Mereka para ulama salaf menyerahkan arti ayat-ayat seperti ini kepada ALLAH Swt, sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH Swt.
Sementara ulama khalaf mentakwil ayat-ayat yang secara dzohir sama seperti manusia ditakwil dengan arti yang pantas untuk keagungan dan kebesaran ALLAH Ta’ala. Seperti kata يد yang diartikan kekuasaan dan istawa’ dengn Menguasai. Takwil ini harus sesuai dengan apa yang pantas dengan ALLAH Swt, tujuan dari pentakwilan ini adalah agar tidak menyerupakan ALLAH Swt, dengan makhluk-Nya.
Jadi ingat! Bahwa paham yang menyerupakan ALLAH Swt, dengan makhluk seperti mempunyai tangan, duduk bersila dan lainnya yang demikian itu adalah paham kaum mujassimah yang jelas tertolak dengan firman ALLAH Swt:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (as-Syuro: 11)
والله اعلم


[1] Jam’u Lathoif al-Tafsir, jilid 2, hal. 170 (maktabah syamilah)
[2] Al-Qur’an Digital v.2.1, Agusutus 2004
[3] Tafsir al-Thabari, jilid 24 hal. 727 (Maktabah Syamilah)
[4] Tafsir al-Razi, juz 17 hal. 293 (Maktabah Syamilah)
[5] Tafsir al-Thabari, juz 12 hal.310 maktabah dar hijr
[6] Intermezzo: terkait masalah sayyid yang jadi kontroversi. Sudah mafhum jika kita menyebut Nabi Muhammad dengan tambahan sayyidina Muhammad, itu memberikan pemahaman bahwa beliau memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, namun tidak lebih tinggi dan tidak serupa dengan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Sebab gelar sayyid bisa diberikan kepada mereka yang memiliki derajat ditengah-tengah masyarakatnya, entah itu dalam urusan duniawi ataupun keagamaan. Contohnya dalam surah Yusuf disebutkan:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
Ayat ini menjelaskan ketika Nabi Yusuf dijebak oleh Siti Zulaikha lalu Nabi Yusuf berusaha lari dan ketika membuka pintu maka sayyidnya (orang yang membeli Nabi Yusuf) sudah berdiri didepan pintu. Selain itu dalam al-Qur’an, ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, juga Menyebut bahwa Nabi Yahya akan menjadi Sayyid. Jadi jika dalam ayat ini menyebut orang yang membeli Nabi Yusuf disebut sebagai sayyid, dan juga ALLAH Menyebut bahwa Nabi Yahya juga menjadi Sayyid maka lebih-lebih lagi Rosulullah tentu jauh lebih pantas sebagaimana sabda beliau sendiri bahwa beliau adalah sayyid bagi anak adam (manusia) di hari kiamat kelak.

[7] Tafsir ar-Razi Juz. 7 Hal. 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

بسم الله الرحمن الرحيم { وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِن...