بسم الله الرحمن
الرحيم
Dalam tulisan ini sedikit kutulis
mengenai tauhid, dengan tujuan mengenal ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, sesuai
dengan kemampuan otak manusia. Tingkat pemahaman tauhid ini berbeda dari setiap
individu. Semua tergantung pada penguasaannya pada ilmu agama dan juga
kedekatannya kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.
Secuil tauhid yang ada dalam
tulisan ini adalah tauhid dasar untuk tingkat pemula (sama seperti saya). Dalam
belajar ilmu tauhid, tentu saja kita harus memiliki guru yang benar yang dapat
membimbing. Bukan hanya belajar dari mbah google dot kom ….
Surah al-Ikhlas
Surah ini dinamakan surah
al-Ikhlas yang berarti murni karena umat Islam memurnikan tauhid dalam artian
hanya menjadian ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, sebagai sesembahan sehingga
menjadikan murninya penganut ajaran Islam. Tidak seperti yahudi yang menyamakan
Tuhan dengan makhluk lainnya, dan tidak pula seperti orang-orang Nashrani yang
mengatakan bahwa Tuhan itu tiga.[1]
Surat ini terdiri atas 4 ayat,
termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah sesudah surat An-Naas.
Dinamakan Al Ikhlas karena surat ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala[2]
Disebutkan bahwa orang-orang
musyrikin bertanya pada Rosulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang nasab
(ayah, kakek, dll) dari ALLAH Yang Maha Agung, maka kemudian ALLAH Subhanahu wa
Ta’ala, menurunkan surah al-Ikhlas sebagai jawaban atas pertanyaan mereka. Dan
sebagian ulama mengatakan justru ayat ini turun ketika ada orang yahudi yang
bertanya kepada Rosulullah, dan mereka mengatakan kepada Rosulullah: “ini
adalah ALLAH Yang Menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan ALLAH. Maka
kemudian turunlah ayat ini sebagai jawaban untuk mereka.[3]
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala,
tidak beranak dan tidak diperanakkan. Karena sesuatu yang beranak akan
mewariskan sesuatu kepada generasi setelahnya, dan setiap yang diperanakkan
pasti akan mengalami kematian. Sedangkan ALLAH Maha Suci dari semua itu.
{قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ
الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ}
هميان
الزاد - إباضي * -
(16
/ 168)
قال
بعضهم الواحد المنفرد لا إله معه والأحد حامع صفات الجلال وهو من وجوب الوجود والقدرة
الذاتية والحكمة التامة ولا جسم ولا عرض ولا تحيز ولا شركة ولا يوصف غير الله بالأحد
Setiap
apa yang terbesit dalam otak manusia tentang gambaran wujud ALLAH ketika mereka
berpikir tentang wujud ALLAH, maka itu bukanlah ALLAH, karena ALLAH Subhanahu
wa Ta’ala Dzat Yang Maha Sempurna, tidak akan mampu dijangkau dengan pemikiran
otak manusia yang lemah.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa الواحد adalah Dzat
Tunggal yang tidak ada Tuhan selain Dia. Sedangkan الاحد adalah
تفسير
الرازي * -
(17
/ 301)
إشارة
إلى كونه واحداً ، بمعنى أنه ليس في ذاته تركيب ولا تأليف بوجه من الوجوه
{ الله أَحَدٌ }
menunjukkan bahwa ALLAH itu Esa ALLAH itu Satu Yang tidak tersusun
dari beberapa bagian dan tidak pula terdiri dari beberapa komponen. Kata-kata
tauhid diambil dari kata وحد
yang berarti meng-Esa-kan ALLAH. Jadi ketika ada orang yang
menyatakan tauhid itu terbagi tiga maka dia telah berpikir secara irasional.
Karena Ke-Esa-an ALLAH tidak terbagi-bagi lagi. Dan Rosulullah tidak pernah
mengajarkan kepada kita untuk membagi tauhid.
اللَّهُ
الصَّمَدُ lafadz الصمد
ini dalam tafsir al-Thabari disebutkan:
وَاخْتَلَفَ
أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي مَعْنَى الصَّمَدِ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ : هُوَ الَّذِي
لَيْسَ بِأَجْوَفَ ، وَلاَ يَأْكُلُ وَلاَ يَشْرَبُ.
Para ahli takwil ada yang mengatakan makna al-Shamad adalah tidak
memiliki rongga dan tidak makan serta tidak minum. Atau الصمد dapat pula diartikan bahwa ALLAH adalah tempat bersandar
seluruh makhluk kepada-Nya[4],
sebagaimana penjelasan yang diutarakan oleh Rosulullah ketika ditanya oleh
orang nashrani. Dan dalam keterangan lain disebutkan bahwa makna as-Shomad
adalah:
{الصَّمَدُ}.
: هُوَ السَّيِّدُ الَّذِي قَدِ انْتَهَى سُؤْدَدُهُ[5].
Al-Shomad diartikan dengan Sayyid tertinggi
Sayyid sendiri bisa diartikan dengan Tuan/Gusti, kepala, ketua atau atasan, dan
الصمد adalah atasan Gusti tertinggi yang tidak
ada lagi derajat gusti diatasnya. (maaf jika penjelasannya kurang pas tapi
insya ALLAH tidak melenceng, makanya saya tulis kutipan dari tafsir at-Thobari
agar pembaca bisa menterjemahnya sendiri).[6]
{لَمْ يَلِدْ} ALLAH Subhanahu wa Ta’ala Tidak melahirkan
karena setiap sesuatu yang melahirkan akan mewariskan sesuatu kepada generasi
setelahnya, dan ALLAH Tidak binasa, karena setiap sesuatu yang melahirkan pasti
akan mengalami kebinasaan.
وَلَمْ يُولَدْ ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak
dilahirkan. ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, adalah Dzat Yang Terdahulu Yang
tidak akan berubah dan tidak akan binasa. Ketika ALLAH Menyatakan bahwa Dia
adalah Qadim (terdahulu), maka mustahil ALLAH dilahirkan, karena pada logikanya
setiap yang dilahirkan baru ada setelah sebelumnya tidak ada. Dan ALLAH Subhanahu
wa Ta’ala, ada sebelum adanya segala sesuatu karena segala sesuatu adalah
ciptaan ALLAH. Dan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak Membutuhkan tempat,
sebab jika ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, Membutuhkan tempat maka berarti tempat
itu sama Qodimnya dengan ALLAH, dan berarti tempat itu sama dengan ALLAH,
sedangkan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, Maha Suci dari Membutuhkan makhluk-Nya.
{وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} para ahli
takwil berbeda pendapat dalam menanggapi ayat ini diantara mereka ada yang
menyatakan bahwa arti dari ayat ini adalah ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak Memiliki
tandingan atau kembaran, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tidak
Membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, ada sebelum
adanya segala sesuatu tanpa ada permulaan. Ketika segala sesuatu yang diketahui
ataupun tidak diketahui manusia sudah diciptakan oleh ALLAH, Dia (ALLAH) tetap
tidak Membutuhkannya. Termasuk tempat, karena ALLAH Subhanahu wa Ta’ala,
bersifat: Qiyamuhu binafsihi (Dzat Yang Berdiri Sendiri dan tidak Membutuhkan
apapun dan siapapun). Lantas bagaimana tentang ayat yang menjelaskan bahwa
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, ‘bertempat di atas arsy’ sebagaimana firman ALLAH
Subhanahu wa Ta’ala:
{اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ مَا لَكُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ شَفِيعٍ أَفَلاَ
تَتَذَكَّرُونَ} (السجدة
: 3)
Dalam tafsir ar-Razi dijelaskan sebagai
berikut:
تفسير الرازي * -
(7 / 114)
أما قوله تعالى : { ثُمَّ
استوى عَلَى العرش } فاعلم أنه لا يمكن أن يكون المراد منه كونه مستقراً على العرش
ويدل على فساده وجوه عقلية ، ووجوه نقلية .
Adapun firman ALLAH Subhanahu wa
Ta’ala “ثُمَّ استوى عَلَى العرش” maka
ketahuiah bahwa tidak mungkin yang dimaksud dari ayat ini adalah ALLAH berdiam
di atas arsy. Statement ini tidak benar jika ditinjau dari segi akal ataupun
dalil yang ada.[7]
Dalam sebuah keterangan lain
disebutkan perbedaan pendapat ulama salaf dan ulama khalaf dalam menanggapi
ayat-ayat semacam ini. Ulama salaf tidak mau mentakwil ayat-ayat seperti ini
namun mereka juga tidak mengartikannya secara harfiah seperti duduk layaknya
manusia. Mereka para ulama salaf menyerahkan arti ayat-ayat seperti ini kepada
ALLAH Swt, sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH Swt.
Sementara ulama khalaf mentakwil
ayat-ayat yang secara dzohir sama seperti manusia ditakwil dengan arti yang
pantas untuk keagungan dan kebesaran ALLAH Ta’ala. Seperti kata يد yang diartikan kekuasaan dan istawa’ dengn
Menguasai. Takwil ini harus sesuai dengan apa yang pantas dengan ALLAH Swt,
tujuan dari pentakwilan ini adalah agar tidak menyerupakan ALLAH Swt, dengan
makhluk-Nya.
Jadi ingat! Bahwa paham yang
menyerupakan ALLAH Swt, dengan makhluk seperti mempunyai tangan, duduk bersila
dan lainnya yang demikian itu adalah paham kaum mujassimah yang jelas tertolak
dengan firman ALLAH Swt:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (as-Syuro: 11)
والله
اعلم
[1]
Jam’u Lathoif al-Tafsir, jilid 2, hal. 170 (maktabah syamilah)
[2]
Al-Qur’an Digital v.2.1, Agusutus 2004
[3]
Tafsir al-Thabari, jilid 24 hal. 727 (Maktabah Syamilah)
[4]
Tafsir al-Razi, juz 17 hal. 293 (Maktabah Syamilah)
[5]
Tafsir al-Thabari, juz 12 hal.310 maktabah dar hijr
[6]
Intermezzo:
terkait masalah sayyid yang jadi kontroversi. Sudah mafhum jika kita menyebut
Nabi Muhammad dengan tambahan sayyidina Muhammad, itu memberikan pemahaman
bahwa beliau memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, namun
tidak lebih tinggi dan tidak serupa dengan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Sebab
gelar sayyid bisa diberikan kepada mereka yang memiliki derajat ditengah-tengah
masyarakatnya, entah itu dalam urusan duniawi ataupun keagamaan. Contohnya
dalam surah Yusuf disebutkan:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا
لَدَى الْبَابِ
Ayat ini menjelaskan ketika Nabi
Yusuf dijebak oleh Siti Zulaikha lalu Nabi Yusuf berusaha lari dan ketika
membuka pintu maka sayyidnya (orang yang membeli Nabi Yusuf) sudah berdiri
didepan pintu. Selain itu dalam al-Qur’an, ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, juga
Menyebut bahwa Nabi Yahya akan menjadi Sayyid. Jadi jika dalam ayat ini
menyebut orang yang membeli Nabi Yusuf disebut sebagai sayyid, dan juga ALLAH
Menyebut bahwa Nabi Yahya juga menjadi Sayyid maka lebih-lebih lagi Rosulullah
tentu jauh lebih pantas sebagaimana sabda beliau sendiri bahwa beliau adalah
sayyid bagi anak adam (manusia) di hari kiamat kelak.
[7]
Tafsir ar-Razi Juz. 7 Hal. 114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar