بسم الله الرحمن الرحيم
Berikut ini adalah sedikit ulasan dari kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَإِنْ
تَيَمَّمَ يَنْوِي نَافِلَةً أو جِنَازَةً أو قِرَاءَةَ مُصْحَفٍ أو سُجُودَ
قُرْآنٍ أو سُجُودَ شُكْرٍ لم يَكُنْ له أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ مَكْتُوبَةً حتى ينوى
بِالتَّيَمُّمِ الْمَكْتُوبَةَ
Imam Syafi’i berkata:
“Apabila seseorang berniat tayammum untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat
janazah, membaca al-Qur’an, sujud sahwi, atau sujud sukur, maka ia tidak boleh
sholat wajib dengan menggunakan tayammum tersebut. Kecuali ia bertayammum lagi
dengan niat tayammum untuk melaksanakan sholat wajib.”
قال الشَّافِعِيُّ ) وكان على
المصلى في كل صَلَاةٍ وَاجِبَةٍ أَنْ يُصَلِّيَهَا مُتَطَهِّرًا وَبَعْدَ
الْوَقْتِ وَمُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ وَيَنْوِيَهَا بِعَيْنِهَا وَيُكَبِّرَ
فَإِنْ تَرَكَ وَاحِدَةً من هذه الْخِصَالِ لم تُجْزِهِ صَلَاتُهُ ( قال
الشَّافِعِيُّ ) وَالنِّيَّةُ لَا تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلَا تَجْزِيهِ
النِّيَّةُ إلَّا أَنْ تَكُونَ مع التَّكْبِير
“Imam Syafi’i berkata:
orang yang sholat dalam setiap sholat wajibnya harus dalam keadaan suci, waktu
sholat sudah tiba, menghadap ke kiblat, dan berniat untuk melaksanakan sholat
tersebut. Apabila ia meninggalkan salah satu dari syarat-syarat ini, maka
shalat nya tidak cukup (tidak sah). Niat itu tidak boleh menggantikan posisi
takbir, dan niat itu tidak diperbolehkan melainkan bersamaan dengan takbir
(niat itu harus bersamaan dengan takbiratul ihram)
الأم - (ج 2 / ص 22) ( قال
الشَّافِعِيُّ ) وَلَوْ أَدَّى خَمْسَةَ دَرَاهِمَ لَا يَحْضُرُهُ فيها نِيَّةُ
زَكَاةٍ ثُمَّ نَوَى بَعْدَ أَدَائِهَا أنها مِمَّا تَجِبُ عليه لم تُجْزِ عنه من
شَيْءٍ من الزَّكَاةِ لِأَنَّهُ أَدَّاهَا بِلَا نِيَّةِ فَرْضٍ
Imam Syafi’i berkata: “jika
seseorang mengeluarkan uang lima dirham, namun ia tidak berniat untuk
mengeluarkan zakat, akan tetapi setelah uang itu ia serahkan baru kemudian ia
berniat bahwa uang itu adalah untuk zakat wajibnya, maka zakat tersebut tidak
mencukupi (tidak sah) karena ia mengeluarkan uang tersebut tanpa niat melaksanakan
kewajiban.”
Tiga cuplikan di atas
menjelaskan pengaruh niat pada ibadah yang kita lakukan. Bagi orang yang
cerdas, tentu akan paham bahwa tiga artikel di atas menyatakan tanpa niat maka
ibadah tidak sah.
Tiga ulasan ini hanya sebagian kecil sekali dari kitab al-Umm
yang menjelaskan tentang urgensi niat. dan ini diucapkan oleh as-Syafi’i
sendiri. Jadi entah dari mana alasan orang yang mengatakan bahwa mayoritas
penganut Syafi’i salah dalam mengartikan niat. Lalu seenaknya mengaskan bahwa
niat itu tidak perlu ada. Jadi siapa yang salah?, mayoritas ulama yang
berpengetahuan luas yang membimbing kami itu? ataukah orang yang membual dengan
berkata bahwa mayoritas ulama tersebut keliru?.
Karena pada apa yang ia
katakan 180 derajat bertentangan dengan kenyataan. Hadits atau dalil tentang
niat dalam beribadah adalah hadits yang sudah populer yang diriwayatkan oleh
enam Imam penyusun kitab Hadits yang terkenal dengan sebutan Sunan as-Sittah.
Hadits tentang niat adalah hadits yang telah disepakati kevalidannya yang diriwayatkan
diantaranya oleh Bukhari Muslim. Bahkan kitab hadits shohih Bukhori disebut
sebagai kitab yang paling terpercaya setelah al-Qur’an. Berikut adalah
haditsnya:
أحاديث مختارة من الصحيحين -
(ج 1 / ص 2) عن عمر بن الخطاب ( قال : قال رسول الله ( : ( إنما الأعمال بالنيات ،
وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ،
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه )
Dalam kitab al-Asybah wa
al-Nadzair disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh enam Imam Hadits
sebagai mana yang tercantum keterangan sebagai berikut:
قوله [ صلى الله عليه و سلم :
إنما الأعمال بالنيات ] و هذا حديث صحيح مشهور أخرجه الأئمة الستة و غيرهم من حديث
عمر بن الخطاب
Sedangkan sedikit
keterangan tentang hadits tersebut dalam kitab Asna al-Mathalib adalah sebagai
berikut:
معاني الكلمات : إنما : أداة
حصر يؤتى بها للحصر . بالنيات : جمع نية : وهي عزم القلب على فعل الشيء . هجرته : الهجرة الانتقال من
بلد الشرك إلى بلد الإسلام . دنيا : حقيقتها ما على الأرض من الهواء والجو مما قبل
قيام الساعة .
Menterjemah ulasan di atas
akan memakan banyak halaman. Kesimpulan dari ulasan di atas adalah bahwa setiap
amal manusia itu tergantung pada niatnya.
Dalam kalangan ulama
Syafi’iyah terutama dalam bidang ushul fiqh hadits tersebut menjadi landasan
sehingga melahirkan satu kaidah الامور بمقاصدها (setiap perkerjaan itu tergantung niatnya). Dan posisi kaidah
ini ada pada urutan pertama dari lima kaidah utama fiqh.
Sekarang beralih pada kitab
fiqh. Dalam fiqh sudah masyhur bahwa niat adalah pekerjaan hati yang
disertai/bersamaan dengan dimulainya suatu ibadah. Berikut penjelasannya
sebagaimana yang tercantum dalam kitab Asna Al-Mathalib.
أسنى المطالب في شرح روض الطالب - (ج 1 / ص 28)
وَحَقِيقَتُهَا لُغَةً
الْقَصْدُ وَشَرْعًا قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ وَحُكْمُهَا
الْوُجُوبُ كما عُلِمَ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَالْمَقْصُودُ بها تَمْيِيزُ
الْعِبَادَةِ عن الْعَادَةِ أو تَمْيِيزُ رُتَبِهَا وَشَرْطُهَا إسْلَامُ
النَّاوِي وَتَمْيِيزُهُ وَعِلْمُهُ بِالْمَنْوِيِّ وَعَدَمُ إتْيَانِهِ بِمَا
يُنَافِيهَا بِأَنْ يَسْتَصْحِبَهَا حُكْمًا وَوَقْتُهَا أَوَّلُ الْفُرُوضِ
كَأَوَّلِ غَسْلِ جُزْءٍ من الْوَجْهِ هُنَا كما سَيَأْتِي وَإِنَّمَا لم يُوجِبُوا
الْمُقَارَنَةَ في الصَّوْمِ لِعُسْرِ مُرَاقَبَةِ الْفَجْرِ وَتَطْبِيقِ
النِّيَّةِ عليه
Terjemahnya kurang lebih
seperti ini “hakikatnya niat secara etimologi adalah al-qashdu (maksud), dan
secara terminology syariat, definisinya adalah berniat mengerjakan sesuatu yang
disertai dengan pekerjaan/ibadah. Hukumnya adalah wajib sebagaimana yang
diketahui. Dan letaknya adalah di hati. Tujuan dari adanya niat adalah
sebagai pembeda antara ibadah dan pekerjaan biasa. Syarat sahnya niat adalah,
orang yang berniat harus beragama Islam, bisa membedakan dan tahu dengan yang
diniati, tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkannya. Dst.
Penjelasan lebih lanjut
adalah bahwa niat sebenarnya dilakukan atau diucapkan dalam hati saat awal
ibadah dikerjakan, kalau dalam sholat berarti niat diucapkan dalam hati
bersamaan dengan takbiratul ihram, kalau dalam wudlu maka niat bersamaan dengan
membasuh muka. Sementara pengucapan niat dengan lisan seperti mengucapkan “aku
niat berwudlu dst … “ hukumnya hanya sunnah. Karena posisi pengucapan niat
melalui lisan adalah sebagai penguat bagi hati. Dan pengucapan niat dengan
lisan semestinya adalah dilakukan sebelum pekerjaan pertama ibadah
dilaksanakan, berbeda halnya dengan pengucapan niat melalui hati sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas.
Ibadah tanpa niat?
Bagaimana jadinya?
1.
Seseorang sebelum sholat dzuhur dan sehabis berwudlu melakukan
sholat sunnah, jika tanpa niat, maka sholat apa yang ia lakukan? Sholat sunnah
mutlak, sholat sunnah wudlu’, atau sholat sunnah qabliyyah???
2.
Seseorang yang sedang berolah raga jika ia menirukan gerakan
sholat diatas sajadah dirumahnya, apakah ia dinamakan sholat?
3.
Seorang pengemis tidak makan, tidak minum, dari subuh hingga
maghrib, apakah ia berpuasa?
4.
Sudah kita ketahui kalau seorang yang meninggalkan shalat subuh
karena bangun kesiangan, maka ia wajib menggantinya. Nah, jika ia sholatnya jam
tujuh pagi apakah ia masih dinamakan shalat subuh tepat waktu, padahal matahari
sudah muncul? Lantas apa bedanya sholat subuh jam 7 pagi yang ia lakukan dengan
mereka yang sholat jam 5 pagi?
Dari Pertanyaan di atas
akan muncul Jawaban, yang membedakannya adalah tujuan/niatnya. Nah, tujuan atau
niat inilah yang sudah ditetapkan aturannya oleh para ulama’ sebagaimana
penjelasan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar