Kamis, 11 Mei 2017

fiqh - niat dalam Ibadah



بسم الله الرحمن الرحيم

Berikut ini adalah sedikit ulasan dari kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
 ( قال الشَّافِعِيُّ ) وَإِنْ تَيَمَّمَ يَنْوِي نَافِلَةً أو جِنَازَةً أو قِرَاءَةَ مُصْحَفٍ أو سُجُودَ قُرْآنٍ أو سُجُودَ شُكْرٍ لم يَكُنْ له أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ مَكْتُوبَةً حتى ينوى بِالتَّيَمُّمِ الْمَكْتُوبَةَ
Imam Syafi’i berkata: “Apabila seseorang berniat tayammum untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat janazah, membaca al-Qur’an, sujud sahwi, atau sujud sukur, maka ia tidak boleh sholat wajib dengan menggunakan tayammum tersebut. Kecuali ia bertayammum lagi dengan niat tayammum untuk melaksanakan sholat wajib.”
  قال الشَّافِعِيُّ ) وكان على المصلى في كل صَلَاةٍ وَاجِبَةٍ أَنْ يُصَلِّيَهَا مُتَطَهِّرًا وَبَعْدَ الْوَقْتِ وَمُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ وَيَنْوِيَهَا بِعَيْنِهَا وَيُكَبِّرَ فَإِنْ تَرَكَ وَاحِدَةً من هذه الْخِصَالِ لم تُجْزِهِ صَلَاتُهُ ( قال الشَّافِعِيُّ ) وَالنِّيَّةُ لَا تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلَا تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلَّا أَنْ تَكُونَ مع التَّكْبِير
“Imam Syafi’i berkata: orang yang sholat dalam setiap sholat wajibnya harus dalam keadaan suci, waktu sholat sudah tiba, menghadap ke kiblat, dan berniat untuk melaksanakan sholat tersebut. Apabila ia meninggalkan salah satu dari syarat-syarat ini, maka shalat nya tidak cukup (tidak sah). Niat itu tidak boleh menggantikan posisi takbir, dan niat itu tidak diperbolehkan melainkan bersamaan dengan takbir (niat itu harus bersamaan dengan takbiratul ihram)
الأم - (ج 2 / ص 22) ( قال الشَّافِعِيُّ ) وَلَوْ أَدَّى خَمْسَةَ دَرَاهِمَ لَا يَحْضُرُهُ فيها نِيَّةُ زَكَاةٍ ثُمَّ نَوَى بَعْدَ أَدَائِهَا أنها مِمَّا تَجِبُ عليه لم تُجْزِ عنه من شَيْءٍ من الزَّكَاةِ لِأَنَّهُ أَدَّاهَا بِلَا نِيَّةِ فَرْضٍ
Imam Syafi’i berkata: “jika seseorang mengeluarkan uang lima dirham, namun ia tidak berniat untuk mengeluarkan zakat, akan tetapi setelah uang itu ia serahkan baru kemudian ia berniat bahwa uang itu adalah untuk zakat wajibnya, maka zakat tersebut tidak mencukupi (tidak sah) karena ia mengeluarkan uang tersebut tanpa niat melaksanakan kewajiban.”
Tiga cuplikan di atas menjelaskan pengaruh niat pada ibadah yang kita lakukan. Bagi orang yang cerdas, tentu akan paham bahwa tiga artikel di atas menyatakan tanpa niat maka ibadah tidak sah.
Tiga ulasan ini hanya sebagian kecil sekali dari kitab al-Umm yang menjelaskan tentang urgensi niat. dan ini diucapkan oleh as-Syafi’i sendiri. Jadi entah dari mana alasan orang yang mengatakan bahwa mayoritas penganut Syafi’i salah dalam mengartikan niat. Lalu seenaknya mengaskan bahwa niat itu tidak perlu ada. Jadi siapa yang salah?, mayoritas ulama yang berpengetahuan luas yang membimbing kami itu? ataukah orang yang membual dengan berkata bahwa mayoritas ulama tersebut keliru?.
Karena pada apa yang ia katakan 180 derajat bertentangan dengan kenyataan. Hadits atau dalil tentang niat dalam beribadah adalah hadits yang sudah populer yang diriwayatkan oleh enam Imam penyusun kitab Hadits yang terkenal dengan sebutan Sunan as-Sittah. Hadits tentang niat adalah hadits yang telah disepakati kevalidannya yang diriwayatkan diantaranya oleh Bukhari Muslim. Bahkan kitab hadits shohih Bukhori disebut sebagai kitab yang paling terpercaya setelah al-Qur’an. Berikut adalah haditsnya:
أحاديث مختارة من الصحيحين - (ج 1 / ص 2) عن عمر بن الخطاب ( قال : قال رسول الله ( : ( إنما الأعمال بالنيات ، وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه )
Dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh enam Imam Hadits sebagai mana yang tercantum keterangan sebagai berikut:
قوله [ صلى الله عليه و سلم : إنما الأعمال بالنيات ] و هذا حديث صحيح مشهور أخرجه الأئمة الستة و غيرهم من حديث عمر بن الخطاب
Sedangkan sedikit keterangan tentang hadits tersebut dalam kitab Asna al-Mathalib adalah sebagai berikut:
معاني الكلمات : إنما : أداة حصر يؤتى بها للحصر . بالنيات : جمع نية : وهي عزم القلب على فعل الشيء . هجرته : الهجرة الانتقال من بلد الشرك إلى بلد الإسلام . دنيا : حقيقتها ما على الأرض من الهواء والجو مما قبل قيام الساعة .
Menterjemah ulasan di atas akan memakan banyak halaman. Kesimpulan dari ulasan di atas adalah bahwa setiap amal manusia itu tergantung pada niatnya.
Dalam kalangan ulama Syafi’iyah terutama dalam bidang ushul fiqh hadits tersebut menjadi landasan sehingga melahirkan satu kaidah الامور بمقاصدها (setiap perkerjaan itu tergantung niatnya). Dan posisi kaidah ini ada pada urutan pertama dari lima kaidah utama fiqh.
Sekarang beralih pada kitab fiqh. Dalam fiqh sudah masyhur bahwa niat adalah pekerjaan hati yang disertai/bersamaan dengan dimulainya suatu ibadah. Berikut penjelasannya sebagaimana yang tercantum dalam kitab Asna Al-Mathalib.
أسنى المطالب في شرح روض الطالب - (ج 1 / ص 28)
وَحَقِيقَتُهَا لُغَةً الْقَصْدُ وَشَرْعًا قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ وَحُكْمُهَا الْوُجُوبُ كما عُلِمَ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَالْمَقْصُودُ بها تَمْيِيزُ الْعِبَادَةِ عن الْعَادَةِ أو تَمْيِيزُ رُتَبِهَا وَشَرْطُهَا إسْلَامُ النَّاوِي وَتَمْيِيزُهُ وَعِلْمُهُ بِالْمَنْوِيِّ وَعَدَمُ إتْيَانِهِ بِمَا يُنَافِيهَا بِأَنْ يَسْتَصْحِبَهَا حُكْمًا وَوَقْتُهَا أَوَّلُ الْفُرُوضِ كَأَوَّلِ غَسْلِ جُزْءٍ من الْوَجْهِ هُنَا كما سَيَأْتِي وَإِنَّمَا لم يُوجِبُوا الْمُقَارَنَةَ في الصَّوْمِ لِعُسْرِ مُرَاقَبَةِ الْفَجْرِ وَتَطْبِيقِ النِّيَّةِ عليه
Terjemahnya kurang lebih seperti ini “hakikatnya niat secara etimologi adalah al-qashdu (maksud), dan secara terminology syariat, definisinya adalah berniat mengerjakan sesuatu yang disertai dengan pekerjaan/ibadah. Hukumnya adalah wajib sebagaimana yang diketahui. Dan letaknya adalah di hati. Tujuan dari adanya niat adalah sebagai pembeda antara ibadah dan pekerjaan biasa. Syarat sahnya niat adalah, orang yang berniat harus beragama Islam, bisa membedakan dan tahu dengan yang diniati, tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkannya. Dst.
Penjelasan lebih lanjut adalah bahwa niat sebenarnya dilakukan atau diucapkan dalam hati saat awal ibadah dikerjakan, kalau dalam sholat berarti niat diucapkan dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram, kalau dalam wudlu maka niat bersamaan dengan membasuh muka. Sementara pengucapan niat dengan lisan seperti mengucapkan “aku niat berwudlu dst … “ hukumnya hanya sunnah. Karena posisi pengucapan niat melalui lisan adalah sebagai penguat bagi hati. Dan pengucapan niat dengan lisan semestinya adalah dilakukan sebelum pekerjaan pertama ibadah dilaksanakan, berbeda halnya dengan pengucapan niat melalui hati sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Ibadah tanpa niat? Bagaimana jadinya?
1.    Seseorang sebelum sholat dzuhur dan sehabis berwudlu melakukan sholat sunnah, jika tanpa niat, maka sholat apa yang ia lakukan? Sholat sunnah mutlak, sholat sunnah wudlu’, atau sholat sunnah qabliyyah???
2.    Seseorang yang sedang berolah raga jika ia menirukan gerakan sholat diatas sajadah dirumahnya, apakah ia dinamakan sholat?
3.    Seorang pengemis tidak makan, tidak minum, dari subuh hingga maghrib, apakah ia berpuasa?
4.    Sudah kita ketahui kalau seorang yang meninggalkan shalat subuh karena bangun kesiangan, maka ia wajib menggantinya. Nah, jika ia sholatnya jam tujuh pagi apakah ia masih dinamakan shalat subuh tepat waktu, padahal matahari sudah muncul? Lantas apa bedanya sholat subuh jam 7 pagi yang ia lakukan dengan mereka yang sholat jam 5 pagi?
Dari Pertanyaan di atas akan muncul Jawaban, yang membedakannya adalah tujuan/niatnya. Nah, tujuan atau niat inilah yang sudah ditetapkan aturannya oleh para ulama’ sebagaimana penjelasan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penjelasan tentang birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)

بسم الله الرحمن الرحيم { وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِن...