بسم
الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah kembali dapat menulis.
Berikut ini saya tulis sedikit bahasan mengenai bid’ah yang jadi perdebatan.
Tulisan ini saya ambil dari beberapa sumber seperti kitab klasik (kitab kuning),
buku-buku, hingga internet tapi secara umum tulisan ini tidak saya katakan copy
paste.
Dalam tulisan ini juga seperti
biasa, saya sertakan teks aslinya agar pembaca bisa membahas sendiri andai ada
terjemah saya yang tak pas dan juga agar pembaca yakin bahwa tulisan ini sesuai
dengan faktanya, tidak seperti sekte w*****i yang suka memalsukan pendapat para
ulama salaf dengan cara memasang terjemahnya saja atau memotong ucapan para
ulama sehingga masyarakat jadi salah paham.
Tujuan mereka tentu saja agar
orang-orang ikut pada firqoh mereka yang berantakan.
Ok! I think its time to begin …
[
عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله تعالى عنه قال : وعظنا رسول الله صلى الله عليه
وآله وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا : يا رسول الله كأنها موعظة
مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز و جل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه
من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا
عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة ] رواه أبو داود والترمذي
وقال : حديث حسن صحيح
Dari
hadits ini muncul diskusi yang awalnya kelihatan kecil, lho!? Lama-lama kok
makin dibesar-besarkan. Hadits ini menjelaskan tentang bid’ah yang kemudian
jadi perdebatan. Akhirnya saya ketularan mau ikut-ikutan nulis, sebagai seorang
pemula yang tidak tahu apa-apa, inilah sekelumit coretan si santri ‘bandel’. Amburadul,
namun semoga tak buruk
untuk dibaca:
BID’AH SECARA LUGHOWI (ETIMOLOGI= BAHASA)
Abu
al-Baqo’ dalam kitab
al-kulliyat menjelaskan bahwa pengertian bid’ah adalah:
عمل
عمل على غير مثال سبق
“Bid’ah adalah setiap perbuatan yang
tidak pernah ada sebelumnya”.
Dapat
kita pahami dari definisi ini bahwa setiap amal yang
tidak ada contoh sebelumnya, maka itu dinamakan bid’ah, baik memiliki dasar
ataupun tidak. Argument ini berdasar pada firman ALLAH Swt:
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ
فَيَكُونُ (117)
“Allah Pencipta langit dan bumi bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan
kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia.” (al-Baqoroh: 117)
Maksud
lafadz
بديع disini
adalah Yang Mengawali dan Yang Menciptakan tanpa ada contoh (sesuatu yang serupa) lain sebelumnya dan tanpa ada
dasar apapun. Keserupaan disini mencakup arti dasar ataupun gambaran. Karena
ALLAH Swt, Menciptakan alam semesta ini dari ‘murni tiada’ lalu menjadi ada
tanpa contoh ataupun gambaran yang serupa dengan alam semesta ini sebelumnya. Sebagaimana
dalam kitab tafsir Al-Khozin:
قوله عز وجل :
{ بديع السموات والأرض } أي خالقها ومبدعها ومنشئها على غير مثال سبق . وقيل : البديع
الذي يبدع الأشياء أي يحدثها مما لم يكن
Dalil yang kedua
adalah firman ALLAH Swt dalam surat al-Ahqof ayat 9:
قل ما كنت بدعا من الرسل
“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama
di antara rasul-rasul” (al-Ahqof: 9)
Dari
sini kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud oleh abul baqo’ tentang ‘tanpa
contoh’ adalah tanpa
dasar dan tanpa ada keserupaan sebelumnya. Jadi kesimpulannya adalah lafadz
bid’ah secara lughowi mencakup arti yang umum.
Bid’ah
ini memiliki cakupan
yang sangat luas sehingga tidak bisa dimutlakkan bahwa segala jenis bid’ah
adalah pasti sesat.
Berikut adalah
hadits yang menyebutkan bahwa setiap bid’ah adalah sesat:
إِنَّ خَيْرَ
اَلْحَدِيثِ كِتَابُ اَللَّهِ, وَخَيْرَ اَلْهَدْيِ هَدْي مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اَلْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ([1]
“Takutlah kalian
pada perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya setiap perkara baru itu
adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”
Menurut
orang yang mengaku sebagai pemerang bid’ah, kata كل
di sini adalah umum tanpa ada takhsis (pengkhususan), tidak mungkin ada bid’ah yang hasanah,
setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pemilahan titik.
Baiklah,
jika mereka benar-benar konsisten menyatakan pendapanya seharusnya manusia
harus kembali ke zaman seperti zaman Rosulullah Saw, secara utuh.
Kemudian
ketika mereka
ditanya tentang hal-hal baru yang berkaitan dengan seputar perkembagnan dunia
modern, baik dibidang teknologi maupun yang lain, apakah termasuk bid’ah yang
sesat karena tiak pernah ada dizaman Rosulullah Saw, maupun salaf, mereka
menjawab tidak termasuk bid’ah sesat, lantaran bid’ah dibagi menjadi dua??????????
What did you say??????? Lebih lanjut mereka berpendapat yakni bid’ah yang
berkaitan dengan agama (semua sesat) dan bid’ah yang berkaitan dengan dunia
(tidak sesat). Sedangkan cakupan bid’ah sesat yang dimaksudkan dalam hadits
Rosulullah Saw, adalah bid’ah yang berkaitan dengan agama. Jelasnya mereka
mengatakan semua bid’ah sesat tetapi tidak dengan bid’ah yang berkaitan dengan
kreasi dan perkembangan yang bersifat duniawi.[2]
Jadi
para peneriak anti bid’ah ini dalam hal yang pertama menentang bid’ah dan
mengatakan seluruh jenis
bid’ah tanpa terkecuali, lalu selanjutnya mereka mengklarifikasi sendiri
menjadi dua yang bertolak belakang dengan jawaban pertama.
Kata-kata كل dalam hadits ini adalah bersifat umum takhsis, tidak semua yang
memakai كل harus seluruhnya, hal ini dibuktikan dengan
ayat-ayat dalam al-Qur’an
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ
حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al-Mu’min: 30)
Dari
ayat ini dapat kita ketahui bahwa ALLAH Swt, menjadikan segala sesuatu yang
hidup berasal dari air, namun buktinya ada makhluk lain yang diciptakan tidak
dari air sebagaimana dalam firman-Nya:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِن مَّارِجٍ مِّن
نَّارٍ
“dan Dia menciptakan jin dari nyala api” (QS. Ar-Rahman:
15)
Dalam ayat ini
menunjukkan jin diciptakan dari api, bukan dari air.
Selanjutnya adalah
ayat ALLAH Swt yang berbunyi:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي
الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ
غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan
bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap
bahtera” (QS. Al-Kahfi: 79)
Dalam
ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Khidir as, merusak kapal orang miskin yang
ia tumpangi bersama Nabi Musa as, agar kapal itu tidak dirampas oleh raja yang
merampas segala kapal yang ada. Kalau seumpama kata كل
yang
ada adalah mencakupi keseluruhan tanpa memandang apakah kapal itu rusak atau tidak, maka buat
apa Nabi Khidir as, harus membocorkan kapal itu.
Lebih
lanjut Imam Nawawi
sebagaimana termaktub dalam kitab Hasyiyah suyuthi menjelaskan:
) وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة (قَالَ
النَّوَوِيّ هَذَا عَامّ مَخْصُوص وَالْمُرَاد غَالِب الْبِدَع
“(setiap bid’ah adalah sesat) Imam Nawawi
berkata bahwa ini adalah bersifat ‘am (umum) makhsus (tertentu), yang dimaksud
adalah bid’ah pada umumnya”[3]
Memang pada dasarnya kita harus
mengikuti apa yang ditetapkan ALLAH Swt, baik dalam Al-Qur’an ataupun Hadits
Nabi Saw, tanpa melakukan tahrif, distorsi, atau mencoba mengelak dari hukum
sebagaimana perbuatan orang yahudi. Akan tetapi, kita juga tidak bisa selalu
mengambil mentah dalil yang ada tanpa melakukan pendekatan dengan dalil lain
yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Seperti conoth hadits Nabi Saw:
لا
يدخل الجنة قاطع الرحم
“Tidak
akan masuk surga, orang yang memutus silaturrahim”
Kalau dipandang secara dzohir, hadits
di atas menyatakan bahwa orang yang memutus silaturrahim tidak akan masuk surga,
padahal maksudnya adalah mereka tidak masuk surga bersama orang-orang yang
duluan masuk surga, bukannya tidak akan masuk surga seperti orang kafir.
Jadi hadits setiap bid’ah adalah sesat
mengandung takhsis sehingga tidak bertentangan dengan kaidah umum dalam Islam.
-
Pembagian bid’ah
Bid’ah menurut mayoritas ulama salaf adalah
terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Bid’ah hasanah: yakni
perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan
dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan.[4]
b. Bid’ah qobihah/ sayyi’ah:
yakni perbuatan baru yang tidak sesuai (bertentangan) dengan sunnah.[5]
Bid’ah
ada membaginya dua macam adapula yang lima namun secara umum bid’ah diklarifikasi menjadi baik dan buruk atau hasanah dan
qobihah. Seperti yang akan dijelaskan nanti Insya ALLAH.
Dalil dari bid’ah hasanah diantaranya adalah:
-
Hadits Rosulullah Saw:
مَا
رَأوهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ قَبِيحًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيحٌ
“Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin maka itu baik di sisi ALLAH Swt, dan apa yang
dianggap oleh mereka jelek, maka di sisi ALLAH Swt, itu jelek” (HR. Ahmad,
al-Hakim, ath-Thobroni, al-Baihaqi, dll)
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara marfu’. Hadits ini juga dijadikan
hujjah ulama dalam ilmu ushul fiqih dan menjadi dalil dari al-adah muhakkamah.
- Hadits Rosulullah Saw:
من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها
وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئًا ومن سن فى الإسلام سنة
سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئًا
(الطيالسى ، وأحمد ، ومسلم ، والترمذى ، والنسائى ، وابن ماجه ، والدارمى ، وأبو
عوانة ، وابن حبان عن جرير)
“Barang
siapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia mendapat pahala dan
pahala (seperti orang yang) melakukan amal itu setelah dirinya tanpa dikurangi
sedikitpun dari pahalanya. Dan barang siapa yang memulai perbuatan buruk dalam
Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya serta dosa (seperti orang yang)
melakukan amal itu setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosanya itu”
(HR. al-Thoyalisi, Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah,
Al-Darimi, Abu Awanah, Ibnu Hibban dari Jarir)
-
Qoul sayyidina Umar ra.
«نِعْمتِ البدعة هذه»
“sebaik-baiknya bid’ah adalah pekerjaan ini
(sholat tarawih)” (HR.
Bukhori, dan Imam Malik dalam kitab Muwattho)
Ulasan
tentang hadits ini:
Para
penentang bid’ah menyatakan bahwa dalil ini tidak bisa dijadikan hujjah karena
sebenarnya sholat tarawih sudah dilakukan oleh Rosulullah Saw, sehingga tidak
merupakan bid’ah. Namun ternyata klaim mereka sangat tergesa-gesa, hal ini
karena sebenarnya ada beberapa pembaharuan yang dibuat oleh sayyidina Umar ra,
sehingga menyebut ide ini sebagai bid’ah namun bid’ah yang baik. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam kitab Jami’ al-Ushul berikut:
قول-
عمر بن الخطاب - رضي الله عنه- في صلاة التراويح: «نِعْمتِ البدعة هذه» لما كانت من أفعال الخير وداخلةً في
حيِّز المدح سمَّاها بدعة ومدحها وهي وإن كان النبيٍّ - صلى الله عليه وسلم - قد صلاها
- إلا أنه تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس عليها فمحافظة عمر عليها وجمعه الناس
لها وندبُهُم إليها بدعة لكنها بدعةٌ محمودة ممدوحة [6].
“Perkataan
sayyidina Umar bin al-Khottob ra, ‘ini adalah sebaik-baik bid’ah’ dalam sholat
tarawih karena
didalamnya terkandung perbuatan baik dan termasuk perbuatan terpuji, beliau
menamakannya dengan bid’ah dan memujinya. Sholat tarawih ini meskipun pernah
dilakukan oleh Rosulullah Saw, akan tetapi kemudian beliau meninggalkannya dan
tidak meneruskannya, dan tidak mengumpulkan para shahabat, maka kemudian
shahabat Umar menjaganya (mengerjakan hingga akhir Romadlon) dan mengumpulkan
masyarakat untuk sholat berjemaah, dan beliau menyunnahkan sholat tarawih ini
adalah termasuk bid’ah akan tetapi bid’ah yang terpuji dan baik”.
Jadi terdapat beberapa kesimpulan
kenapa bisa dikatakan sebaik-baik bid’ah,
sebagai berikut:
1. Rosulullah Saw, tidak pernah menganjurkan shohabatnya untuk
melakukan sholat tarawih secara berjemaah. Bahkan beliau hanya melaksanakan
sholat tarawih beberapa malam saja, lantas beliau tidak melakukan sholat
tarawih di masjid, karena khawatir akan menjadi kewajiban yang memberatkan
umatnya.
2. Rosulullah Saw, tidak pernah mengumpulkan shohabat untuk
melakukan sholat tarawih dengan berjemaah, dan ini berlanjut hingga masa
sayyidina Abu Bakar as-shiddiq ra, sahabat Umar lah yang mengumpulkan shohabat
dan menganjurkan mereka untuk melakukan sholat tarawih secara berjemaah.[7]
-
Bid’ah yang dilakukan shahabat ketika Nabi Saw,
masih hidup:
·
Hadits shahabat Mu’adz bin Jabal
عن
عبد الرحمن بن ابى ليلى قال كان الناس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا
جاء الرجل وقد فاته شيء من الصلاة اشار اليه الناس فصلى ما فاته ثم دخل فى الصلاة
ثم جاء يوما معاذ بن جبل فاشاروا اليه فدخل ولم ينتظر ما قالوا فلما صلى النبي صلى
الله عليه وسلم ذكروا له ذلك فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم سن لكم معاذ. وفى
رواية سيدنا معاذ بن جبل انه قد سن لكم معاذ فهكذا فصنعوا
Diriwayatkan
dari Abdurrahman bin Abi Layla beliau berkata: para shahabat semasa Rosulullah Saw,
apabila datang seorang laki-laki sedangkan ia sudah tertinggal sebagian
sholatnya (dalam berjemaah), maka makmum lain akan memberikan isyarat tentang
berapa roka’at ia tertinggal kemudian ia akan langsung sholat. Kemudian pada
suatu hari Mu’adz bin Jabal datang dan makmum lain memberikan isyarat padanya,
namun ia tidak menunggu apa yang diucapkan makmum lain (ia langsung sholat).
Ketika Rosulullah Saw, telah selesai sholat, para shahabat menuturkan apa yang
telah dilakukan Mu’adz kepada Rosulullah Saw, maka Nabi Saw, berkata kepada
mereka “Mu’adz telah memulai cara yang baik bagi kalian” dalam riwayat lain
disebutkan “sesungguhnya dia (Mu’adz) telah memulai cara yang baik untuk
kalian, maka lakukanlah yang seperti itu” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thabrany dalam kitab al-Kabir, dan al-hafidz
Ibnu Daqiq serta al-hafidz Ibnu Hazm menyebut bahwa hadits ini shohih)
·
Hadits shahabat Bilal bin Rabbah
عن
أبي هريرة رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال لبلال عند صلاة الفجر
( يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة ) . قال ما
عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور
ما كتب لي.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi Saw berkata kepada Bilal ketika sholat
fajar “wahai bilal, ceritakan padaku kebaikan apa yang paling engkau harapkan
pahalanya dalam Islam, karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu
di surga?” Bilal menjawab “tidaklah ada perbuatan baik yang paling aku harapkan
pahalanya adalah aku belum bersuci di waktu siang ataupun malam kecuali aku
melanjutkannya dengan sholat sunnah dua roka’at yang aku tetapkan waktunya”
(HR. Bukhori)
Al-hafidz
Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa hadits ini berfaidah
bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena bilal memperoleh
derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi Saw, membenarkannya. Nabi
belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai
berwudlu atau setiap selesai adzan, akan tetapi bilal melakukannya atas
ijtihadnya sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi Saw.
Ternyata Nabi Saw, membenarkannya dan memberikan kabar gembira tentang
derajatnya di surga, sehingga sholat dua rakaat setiap selesai wudlu menjadi
sunnah bagi seluruh umat.[8]
·
Hadits Ibnu Umar ra.
عَنِ سيدنا
عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ جاء رجل والناس
فى الصلاة فقال حين وصل الى الصف الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة
وأصيلا فلما قضى النبي صلى الله عليه وسلم صلاته من صاحب الكلمات قال الرجل أنا يا
رسول الله والله ما أردت بها إلا الخير قال لقد رأيت أبواب السماء فتحت لهن قال ابن
عمر فما تركتهن منذ سمعتهن.
Diriwayatkan
dari Sayyidina Umar ra. Beliau berkata “datang seorang laki-laki sedangkan para
shahabat lain sedang sholat. Ketika dia sampai di shof dia berkata الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان
الله بكرة وأصيلا
setelah
Nabi Saw, selesai melakukan sholat beliau bertanya “siapa yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi?” seorang laki-laki menjawab “ saya wahai Rosulullah, demi
ALLAH, aku hanya bermaksud baik dengan kalimat-kalimat itu”. Beliau bersabda
“aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka untuk kalimat-kalimat itu.” Maka
Ibnu Umar berkata “tidaklah aku meninggalkannya sejak aku mendengarnya.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Imam
Ahmad)
-
Bid’ah yang dilakukan shahabat sepeninggal
Rosulullah Saw.
·
Penghimpunan al-Qur’an
عن زَيْدَ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ
الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي ، فَقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ
اسْتَحَرَّ [أي : كثر] يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ ، وَإِنِّي
أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ
كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ ، وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ .
قُلْتُ : لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ عُمَرُ : هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ ،
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ ،
وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ . قَالَ زَيْدٌ : قَالَ أَبُو بَكْرٍ
: إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لا نَتَّهِمُكَ ، وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ
الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَتَتَبَّعْ
الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ . قال زيد : فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ
مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ
الْقُرْآنِ . قُلْتُ : كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ : هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ .
فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي
شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا .
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori, at-Tirmidzi, Imam Ahmad, al-Baihaqi, dan
an-Nasa’i dalam kitab al-Kubro.
Awal
kisah dari adanya hadits ini adalah sebelum masa ke khalifahan sayyidina Abu
Bakar ra, al-Qur’an terjaga dalam hafalan para shahabat, tertulis di
lembaran-lembaran dan lain sebagainya dalam keadaan terpisah. Namun pada masa
kekhalifahan Abu Bakar ra, banyak para shahabat yang hafal al-Qur’an syahid di
medan perang melawan orang-orang murtad. Lalu Umar bin al-Khattab mengusulkan
kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, agar mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf,
namun Abu Bakar ra, menyatakan bagaimana bisa melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukan oleh Rosulullah Saw. Namun Umar ra, meyakinkan bahwa hal itu
baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rosulullah Saw.
·
Hadits tentang Adzan Jum’at
كان
النداء يوم الجمعة أوله إذا جلس الإمام على المنبر على عهد النبي صلى الله عليه و
سلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما فلما كان عثمان رضي الله عنه وكثر الناس زاد
النداء الثالث على الزوراء
“Pada
masa Rosulullah Saw, Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at pertama dilakukan setelah
imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin
banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’ (nama pasar di
Madinah)” (HR. Bukhori, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi,
an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, dan Ibnu Huzaimah)
·
Sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat ‘id
حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ سَرِيعٍ ، مَوْلَى عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ ، قَالَ : خَرَجْنَا
مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِهِ ، فَقَالُوا : يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ مَا تَقُولُ فِي الصَّلاةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الإِمَامِ
وَبَعْدَهُ ؟ قَالَ : فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ، ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ
أُخَرُ ، فَسَأَلُوهُ كَمَا سَأَلُوهُ الَّذِينَ كَانُوا قَبْلَهُمْ ، فَمَا رَدَّ
عَلَيْهِمْ ، فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّلاةِ صَلَّى بِالنَّاسِ ،
فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ، ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ، ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ ،
فَقَالُوا : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ هَؤُلاءِ قَوْمٌ يُصَلُّونَ ، قَالَ :
فَمَا عَسَيْتَ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُونِي عَنِ السُّنَّةِ ، فَإِنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا ، فَمَنْ
شَاءَ فَعَلَ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ ، أَتَرَوْنِي أَمْنَعُ أَقْوَامًا يُصَلُّونَ
، فَأَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ يَمْنَعُ عَبْدًا أَنْ يُصَلِّيَ.
)رواه البزار([9]
Hadits yang diriwayatkan oleh
al-Walid bin Sari’ ini menjelaskan tentang ada segolongan orang yang mengadu
kepada sayyidina Umar ra, tentang sebagian shahabat yang melakukan sholat
sunnah sebelum dan sesudah (qobliyah dan ba’diyah) ‘id. Namun sayyidina Umar
ra, tidak menjawabnya, kemudian datang lagi sebagian yang lain dan bertanya
dengan pertanyaan yang sama, namun sayyidina Umar ra, juga tidak menjawab. Ketika
sholat ‘id telah selesai dilaksanakan, khutbah juga telah selesai, maka
sebagian mereka kembali berkata “wahai amirul mu’minin, mereka tadi melakukan
sholat” sayyidina Umar ra menjawab “memang kamu berharap aku akan melakukan
apa? Kau bertanya padaku tentang sunnah karena sesungguhnya Rosulullah Saw,
tidak pernah sholat sebelum dan sesudah sholat ‘id, barang siapa yang mau
melakukan, lakukanlah, dan barang siapa yang mau (untuk tidak sholat)
tinggalkanlah.
Dari
sini dapat diambil pemahaman sayyidina Umar ra tidak menegur karena setiap
sesuatu yang belum dikerjakan oleh Rosulullah saw, belum tentu tercela. Dan
tentunya pemahaman yang diambil oleh sayyidina Umar ra, jelas jauh sangat amat lebih baik dari pada orang-orang seperti
ibn baz, al-utsaimin, ataupun tokoh-tokoh wahhabi lainnya yang senang
menyalahakan orang yang tidak sesuai dengan mereka.
-
Bid’ah yang dilakukan oleh generasi setelah
shahabat
Bid’ah
yang dilakukan setelah generasi shahabat adalah seperti pemberian titik dalam
al-Qur’an. Hal ini dilakukan karena Islam sudah semakin meluas perkembangannya,
sedangkan pada awalnya huruf-huruf al-Qur’an itu ditulis tanpa sambung dan tanpa titik, sehingga akhirnya huruf-hurufnya
disambung lalu kemudian diberi titik.
Pemberian
titik dalam
al-Qur’an pertama kali dilakukan oleh Yahya bin Ya’mur, sebagaimana yang
tercantum dalam kitab Bidayah wa an-Nihayah:
البداية
والنهاية - (ج 9 / ص 88(
يحيى
بن يعمر)، كان قاضي مرو، وهو أول من نقط المصاحف، وكان من فضلاء الناس وعلمائهم وله
أحوال ومعاملات، وله روايات، وكان أحد الفصحاء، أخذ العربية عن أبي الاسود الدؤلي.[10]
Yahya
bin Ya’mur adalah orang pertama yang memberi titik dalam mushaf (al-Qur’an).
Beliau termasuk ulama dan orang mulia di masyarakat..beliau belajar bahasa Arab
dari Abu al-Aswad ad-Du’ali.
Bid’ah
juga dilakukan dalam pembukuan hadits, serta perkembangannya seperti munculnya
ilmu mushtolah al-Hadits.
-
Bid’ah pada masa khalifah Umar bin Abdil Aziz
الجمع بين الصحيحين البخاري ومسلم - (ج 2 / ص 346) الرابع عن عطاء بن يسار عن
أبي سعيد أن رسول الله {صلى
الله عليه وسلم} قال لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه (قد الف كتب
الاحاديث فى عصر عمر بن عبد العزيز ولا اعترض به احد من العلماء)
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim Rosulullah bersabda:
“Janganlah kalian tulis
dariku kecuali al-Qur’an dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an
maka hapuslah” (H.R Bukhori & Muslim)
Dari
hadits di atas Rosulullah melarang para shahabat untuk menulis yang selain
al-Qur’an. Akan tetapi faktanya kitab-kitab hadits disusun pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz dan tidak satupun ulama yang menentangnya.
-
Bid’ah dan pembagiannya menurut para ulama
Mayoritas
ulama membagi bid’ah menjadi dua bahkan lima. Berikut akan ditulis beberapa
komentar ulama mengenai bid’ah. Dan supaya lebih mantap, akan saya coba
mengulas sedikit siapa mereka, agar kita mengetahui kualitasnya dan yakin bahwa
beliau-beliau adalah ulama sejati dan bukan orang yang Cuma pura-pura ulama
seperti sekte w*****i:
a. Imam Syafi’ie
Nama lengkap beliau adalah
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin
Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib.
Saya rasa untuk ulama yang
satu ini tidak perlu dijelaskan lagi kualitas beliau dalam keilmuannya karena
beliaulah pendiri madzhab Syafi’i.
Beliau Imam Syafi’i mengatakan:
وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ أَيْضًا مَا
أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ " الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا
أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة
الضَّلَال ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لَا يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ
مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة " اِنْتَهَى
“Diriwayatkan
oleh al-Baihaqi dalam Manaqib asy-Syafi’i bahwa Imam asy-Syafi’i berkata
perkara baru itu dibagi menjadi dua, yaitu sesuatu yang baru yang bertentangan
dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar, atau Ijma’ maka perkara ini merupakan bid’ah
yang tercela. Sedangkan perkara yang baru dalam kebaikan yang tidak
bertentangan sedikitpun dari keempat sumber tersebut (Al-Qur’an, Sunnah, Atsar,
Ijma’) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”[11]
Imam Syafi’i berkata bahwa
bid’ah itu terbagi menjadi dua yaitu terpuji dan tercela. Apabila sesuai dengan
as-Sunnah maka ia terpuji, dan apabila bertentangan dengan as-Sunnah maka ia
tercela.
b. Imam Nawawi
Beliau adalah al-Imam
al-Hafidz, syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarof bin Mury bin
Hasan bin Husein bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi. Beliau adalah
syeikh dalam madzhab Syafi’i. Beliau
adalah sosok ulama yang gigih menuntut ilmu mulai dari kecil hingga remaja dan
beliau dalam waktu yang relative singkat mampu meraih kecintaan gurunya Abu Ibrahim
Ishaq bin Ahmad al-Maghribi sehingga menjadikan beliau wakil dalam halaqoh
pengajian bila gurunya berhalangan. Dan saya rasa tidak perlu juga untuk
mengulas lebih dalam untuk mengenal kehebatan kualitas dari ulama yang satu
ini, karena semua ahli ilmu pasti tahu pada beliau.
Komentar beliau tentang
bid’ah:
هي
اي البدعة منقسمة الى حسنة و قبيحة
“Bid’ah itu terbagi
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah”[12]
Dalam kitab Tahdzib al-Asma
wa al-Lughoh, Imam Nawawi mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang
baik (hasanah) dan yang buruk (bid’ah qobihah)
c. Syeikh Izzuddin Bin Abdus
Salam
Beliau ini dijuluki
dengan rajanya para ulama’. Nama lengkap beliau adalah Izzuddin bin Abdul Aziz
bin Abil Qosim lahir tahun 578 H. Imam Dzahabi mengatakan: “pada syaikh
Izzuddin inilah pengetahuan madzhab (Syafi’ie) berhenti. Keutamaan yang
mengagumkan ini dibalut dengan perangainya yang zuhud dan juga wara’”.
Mengenai bid’ah, beliau
berkomentar:
البدعة
فعل ما لم يعهد فى عصر رسول الله
Pengertian
sebagaimana yang tercantum dalam kitab masholihul anam, bid’ah adalah segala
jenis pekerjaan yang belum pernah dilakukan pada masa Rosulullah Saw.[13]
Dan beliau juga
berkomentar sebagaimana yang dikutip dalam i’anah al-Thalibin:
إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 271(
ذكر الشيخ الإمام أبو محمد بن عبد
السلام رحمه الله في كتابه
القواعد أن البدع على خمسة أقسام واجبة ومحرمة ومكروهة ومستحبة ومباحة قال ومن أمثلة البدع المباحة
المصافحة عقب الصبح والعصر والله أعلم اه
وقوله واجبة
من أمثلتها تدوين القرآن والشرائع إذا خيف عليها الضياع فإن التبليغ لمن بعدنا من القرون
واجب إجماعا وإهماله حرام إجماعا وقوله ومحرمة من أمثلتها المحدثات من المظالم
كالمكوس وقوله ومكروهة من أمثلتها زخرفة المساجد وتخصيص
ليلة الجمعة بقيام وقوله ومستحبة من أمثلتها فعل صلاة التراويح
بالجماعة وبناء الربط والمدارس وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول وقوله ومباحة
من أمثلتها ما ذكره
“Syeikh
al-Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menuturkan dalam kitabnya al-Qawa’id bahwa
sesungguhnya bid’ah itu terbagi menjadi lima macam: wajib, haram, makruh,
sunnah, dan mubah. Beliau (syeik Abu Muhammad Izzuddin bin Abdis Salam) berkata
‘diantara contoh bid’ah yang mubah adalah berjabat tangan setelah sholat shubuh
dan ashar. WaLLAHu a’lam.”[14]
Ok! Ini adalah statement dari
ulama sekaliber Izzuddin bin Abdissalam yang memiliki ilmu dan kemuliaan. Saya
anggap cukup dengan menterjemah sebagian saja karena itu adalah point inti yang
diperlukan yaitu bahwa bid’ah menurut beliau dibagi menjadi 5.
d.
Ulama Madzhab Maliki
خاتمة" قال القرافي: الأصحاب
متفقون على إنكار البدع نص عليه ابن أبي زيدٍ وغيره، والحق أنها خمسة
أقسامٍ:الأول: من الخمسة بدعة واجبة إجماعًا وهي كل ما تناولته قواعد الوجوب
وأدلته من الشرع كتدوين القرآن والشرائع إذا خيف عليها الضياع فإن تبليغها لمن
بعدنا واجب إجماعًا وإهماله حرام إجماعًا الثاني: بدعة محرمة إجماعًا وهي كل ما
تناولته أدلة التحريم وقواعده كالمكوس وتقديم الجهلاء على العلماء وتولية المناصب
الشرعية بالتوارث لمن لا يصلح لها. الثالث: بدعة مندوبة كصلاة التراويح وإقامة صور
الأئمة والقضاة وولاة الأمور، على خلاف ما كانت عليه الصحابة،
فإن التعظيم في الصدر الأول كان بالدين فلما اختل النظام وصار الناس لا يعظمون إلا
بالصور كان مندوبًا حفظها لظلم الخلق. الرابع: بدعة مكروهة وهي ما تناولتها قواعد
الكراهة كتخصيص الأيام الفاضلة بنوعٍ من العبادات، ومنه الزيادة على القرب
المندوبة كالصاع في صدقة الفطر وكالتسبيح ثلاثًا وثلاثين والتحميد والتكبير
والتهليل فيفعل أكثر مما حده الشارع فهو مكروه حيث أتى به لا لشك لما فيه من
الاستظهار على الشارع، فإن العظماء إذا حدث شيئًا تعد الزيادة عليه قلة أدبٍ، ومن
البدع المكروهة أذان جماعةٍ بصوتٍ واحدٍ. الخامس: بدعة مباحة وهي كل ما تناولته
قواعد الإباحة كاتخاذ المناخل لإصلاح الأقوات واللباس الحسن والمسكن الحسن
وكالتوسعة في لذيذ المأكول والمشروب على ما قاله العز.[15]
“Menurut
al-Qurafi beberapa ashab sepakat dengan mengingkari bid’ah, tapi sebenarnya
adalah sesungguhnya bid’ah dibagi menjadi 5 macam. Yang pertama dari ke-lima
macam itu adalah bid’ah yang wajib. Yaitu setiap bid’ah yang tercakup dalam
qoidah wajib dengan dalil-dalil dari syari’at. Seperti pembukuan al-Qur’an dan
ilmu syari’at apabila dikhawatirkan kemusnahannya, karena menyampaikannya pada
generasi selanjutnya adalah wajib dan menyianyiakannya adalah haram…”
Demikian sekelumit terjemah dari komentar al-Qurafi tentang
pembagian bid’ah yang intinya menurut beliau adalah bid’ah terbagi menjadi lima
macam sesuai dengan hukum, yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Pembagian
bid’ah menjadi lima macam ini juga ternyata diaminkan oleh salah satu gembong
wahabi bernama utsaimin sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Ibda’ fi
kamal al-syar’i wa khotr al-Ibtida’ halaman 18-19 sebagai berikut
للشيخ العثيمن من علماء الوهابية. من القواعد المقررة ان الوسائل لها احكام المقاصد فوسائل المشروع
مشروعة ووسائل غير المشروع غير مشروعة بل وسائل المحروم حرام, فالمدارس وتصنيف
العلم وتأليف الكتب وان كان بدعة لم يوجد فى عهد النبي صلى الله عليه وسلم على هذا
الوجه الا انه ليس مقصدا بل هو وسيلة والوسائل حكم المقاصد, ولهذا لو بنى شخص
مدرسة لتعليم علم محرم كان البناء حراما ولو بنى مدرسة لتعليم علم شرعي كان البناء
مشروعا
Dari
al-Utsaimin salah satu ulama wahabi. Dia mengatakan “diantara kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan adalah bahwa setiap wasilah (perantara) memiliki hukum-hukum
(yang sama) dengan tujuan (asalnya). Setiap perantara untuk melakukan sesuatu
yang disyari’atkan maka hukumnya juga disyari’atkan dan perantara sesuatu yang
tidak disyariatkan juga tidak disyari’atkan. Bahkan perantara untuk melakukan
sesuatu yang haram hukumnya juga haram. Maka madrasah, penyusunan ilmu serta
mengarang kitab, WALAUPUN BID’AH dan tidak ditemukan pada masa
Rosulullah Saw, dari sisi ini tapi ini bukanlah tujuan utama melainkan (ini
adalah) perantara dan setiap perantara memiliki hukum (yang sama) dengan hukum
tujuan awalnya. Maka dari inilah seandainya seseorang membangun madrasah untuk
mengajarkan ilmu yang diharamkan maka hukum membangun bangunan itu adalah
haram. Dan jika madrasah dibangun untuk mengajarkan ilmu syari’at maka bangunan
itu hukumnya masyru’.”
Ok! Sekarang kita tahu bahwa salah satu gembong
wahabi juga akhirnya membagi bid’ah.
Sebenarnya bukan maksud saya untuk mengutip
pernyataan utsaimin, saya jauh lebih percaya pada
ulama salafseperti Imam Syafi’i yang komentar beliau tentang bid’ah sudah
dicantumkan di atas, atau Imam Nawawi, atau ulama lain yang memang kompeten
dalam keilmuannya dan sudah diakui dunia
sejak zaman beliau hingga sekarang. Akan tetapi maksud saya mengutip pendapat
al-utsaimin untuk membungkam lidah mereka yang selalu saja menghina umat Islam
tanpa dalil yang jelas.
Jadi dalam keterangan sumber-sumber di atas, jelaslah
bahwa bid’ah dibagi menjadi lima, bisa wajib seperti contoh pembukuan al-Qur’an
agar dapat disebarkan, bid’ah bisa menjadi sunnah seperti sholat tarawih
berjemaah, atau bisa menjadi haram apabila mengandung unsur-unsur yang
diharamkan.
Sebenarnya wahhabi tidak punya dalil untuk
membuktikan bahwa bid’ah itu termasuk dosa yang paling besar, mereka menyalah
gunakan dalil yang sebenarnya ditujukan untuk orang kafir menjadi untuk orang
yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka sendiri justru membuat bid’ah
dengan menyatakan bahwa tauhid itu dibagi menjadi tiga, yang mana tak ada dalil
dari Al-Qur’an ataupun Sunnah yang mengajarkan seperti itu.
Orang-orang wahhabi cenderung bersifat mau
menang sendiri dan memastikan bahwa kebenaran hanya ada pada mereka tanpa mau
menerima dalil dari orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memvonis
kufur, masuk neraka dan lain sebagainya, padahal kebenaran hanya milik ALLAH
Swt, dan Dia pulalah Yang berhak Menentukan manakah dari hamba-Nya yang harus
masuk neraka dan surga.
Jadi kesimpulan dari tulisan di atas adalah
bahwa semua bid’ah yang dikatakan sesat adalah apabila bid’ah itu bertentangan
dengan syari’at. Akan tetapi apabila tidak bertentangan dengan syari’at dan
mengandung kebaikan, maka bid’ah itu tidaklah dikatakan sesat.
Dalil yang telah dikutip dari beberapa sumber
di atas seyogyanya menjadi bahan renungan untuk tidak membabi buta memvonis
sesat hanya karena tidak tahu dalilnya. Jernihnya hati mudah-mudahan menjadi
jalan mendapat petunjuk ALLAH Swt.
Dengan semua dalil di atas, kini tinggal anda yang memutuskan.
والله
اعلم
[1] Shohih Muslim
hadits no. 867
[2] Nur Hidayat
Muhammad, Benteng Ahlussunnah, Kediri: Nasyrul Ilmi (hal. 108)
[3] Hasyiyah
Suyuthi wa Sanadi, Maktabah Syamilah, Juz 3, Hal: 47
[4] Muhyiddin
Abdusshomad, Hujjah NU, Khalista, Surabaya, 2008, hal: 22
[5] Ushul
al-Iman, Maktabah Syamilah, juz 1 hal. 166.
[6] Jami’ul
Ushul fi Ahadits al-Rosul, Maktabah Syamilah, juz 1, hal: 278
[7] M. Idrus Romli
& M. Syafiq Alaydrus, Kiai NU atau wahhabi yang sesat tanpa sadar,
BinaAswaja, Surabaya: 2012 hal. 8
[8] Tim Bahtsul
Masail PCNU Jember, Membongkar kebohongan mantan kyai NU menggugat sholawat
dan dzikir syirik, Khalista: Surabaya, 2008, hal. 89
[9] Musnad
al-Bazzar, Maktabah Syamilah, Juz 1, hal. 103
[10] Bidayah wa
an-Nihayah,
[11] Al-Kholashoh
fi Syarh Hadits al-Waliy, Juz 1, hal 65. Riwayat senada juga termaktub
dalam kitab Fatawi as-Subki, Juz 2, hal. 108
[12]
Imam Nawawi, dalam kitab Tahdzibul Asma wal Lughot Juz 3 hal. 22
[13] Qowaidul Ahkam
Juz 2 hal, 172.
[14]
I’anah al-Thalibin, Juz. 1 hal. 271
[15] Fawaqih
al-Diwani, Juz 1, hal. 334
Tidak ada komentar:
Posting Komentar